SURABAYA - Partai Keadilan Sejahtera menilai gerakan Islam di Indonesia sangat berbeda dengan yang terjadi di Timur Tengah, khususnya Mesir bahwa negara menjadikan gerakan tersebut sebagai musuh dan juga sebaliknya.
"Di Indonesia yang terjadi adalah harmoni, gotong royong, karena yang menjadi dasar adalah budaya. Bukan siapa yang menang dan siapa yang kalah," kata Presiden PKS Anis Matta dalam keterang tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Minggu.
Pernyataan Anis tersebut diungkapkan dalam diskusi dengan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Surabaya, pada Minggu.
Acara tersebut bertajuk Diskusi Gerakan dan pemikiran islam kontemporer : perbandingan gerakan Islam Timur Tengah dan Islam Asia Tenggara yang dihadiri sejumlah aktvis HMI Suarabaya dan beberapa Pengurus Besar (PB) HMI asal Surabaya.
Anis menjelaskan masyarakat Indonesia yang majemuk dan wilayahnya yang sangat luas menyadarkan bangsa ini betapa banyak perbedaan diantara mereka. Oleh karena itu menurut dia, masyarakat Indonesia mencoba mencari titik temu dari kemajemukan tersebut.
"Karena itu apapun idiologinya dan apapun perbedaannya, mereka mencoba mencari persamaannya dan kemudian menggabungkannya. Ini namanya harmoni, gotong royong," tegasnya.
Hal itu menurut Anis berbeda dengan masyarakat Timur Tengah yang homogen, yakni suku Arab yang biasa hidup nomaden. Dia menjelaskan masyarakat Timur Tengah biasa menyelesaikan persoalan dengan cara berperang sehingg muncul istilah siapa menang dan siapa yang kalah
"Ini merupakan cara berpikir kelompok Islamis, sekuler maupun militer di Mesir. Karenanya kemudian yang terjadi adalah benturan," ujarnya.
Kelompok-kelompok sekuler yang kalah dalam pemilu di Mesir, menurut Anis tidak sabar untuk menunggu pemilu berikutnya. Dia menegaskan bahwa kelompok- kelompok tersebut menggoda militer dan kemudian terjadi kudeta.
Anis meramalkan kudeta tidak akan berhasil, bukan karena kelompok Ikhwanul Muslimin akan terus melakukan perlawanan, tetapi karena ketidakstabilan politik membuat ekonomi rakyat tambah sulit.
Dalam konteks Indonesia, Anis menjelaskan dinamikanya berbeda, baik kelompok sekuler, Islam maupun militer karena basis budayanya adalah gotong royong. Karena itu menurut dia ketiga kelompok itu mencoba mengurangi berbagai perbedaan dan kemudian mencoba menggabung-gabungkannya.
Dia menilai saat ini sangat sulit untuk membedakan partai Islam maupun nasionalis, pengelompokan kiri dan kanan. Namun menurut dia yang ada adalah bergerak ke tengah.
"Partai-partai nasionalis menjadi relijius dan partai agama menjadi lebih terbuka," katanya. Dengan tesis semacam itu, Anis meyakini tidak akan pernah terjadi benturan yang keras antar idiologi di Indonesia, seperti halnya di Mesir sekarang.
"Militer di Indonesia tidak pernah ada tradisi kudeta. Kalau mereka mau masuk ke dalam kekuasaan, mereka pensiun dan membentuk partai politik. Syarat-syarat dan tahapan demokrasi semua mereka ikuti," ujarnya. (ROL)