Oleh Ustadz Musyafa AR
***
Di zaman Rasulullah SAW, setelah para sahabat nabi – radhiyallahu ‘anhum – tertarbiyah untuk ikhlash lillahi ta’ala dengan tarbiyah yang sangat baik, lalu tibalah musim haji, beberapa sahabat nabi menjadi “agak terganggu” saat hendak pergi haji sambil berdagang guna memanfaatkan musim haji, mereka khawatir, jangan-jangan hajinya menjadi tidak ikhlash, tidak lillahi ta’ala, karena niat hajinya tercampur dengan niat berdagang mencari keuntungan, mencari dunia.
Allah SWT Maha Mengetahui isi hati hamba-Nya. Mengetahui “kegalauan” para sahabat ini, Allah SWT menurunkan Firman-Nya:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ
"Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu." (Q.S. Al-Baqarah: 198).
Intinya, pergi haji dengan niat berhaji (ukhrawi), yang tercampur dengan niat berdagang (duniawi), menurut ayat ini, tidaklah mengapa (laisa ‘alaikum junahun).
Para ulama’ mengatakan: Kata kunci dari diperbolehkan atau tidaknya kasus-kasus seperti ini adalah pada maksud asasi, adakah maksud asasi itu duniawi ataukah ukhrawi?
Hal yang mirip dengan kasus berhaji plus berdagang ini adalah menuntut ilmu; bolehkah menuntut ilmu dengan niatan dan maksud ukhrawi, hanya saja tercampur dengan niatan duniawi?
Jika maksud asasi dari menuntut ilmu ini adalah ukhrawi, namun tercampur dengan maksud duniawi, insyaAllah tidak mengapa.
Juga berlaku untuk amalan-amalan lain yang semisal.
Terkait dengan hal ini para ulama berkata:
فَرْقٌ بَيْنَ مَنْ يَأْخُذُ الدُّنْيَا لِيَتَفَرَّغَ لِعَمَلِ الْآخِرَةِ، وَبَيْنَ مَنْ يَعْمَلُ عَمَلَ الْآخِرَةِ لِيَأْخُذَ الدُّنْيَا، فَتَأَمَّلْ، فَإِنَّهُ مَوْضِعُ الزَّلَلِ
"Beda jauh antara seseorang yang mengambil dunia demi fokus untuk kerja akhirat dan antara seseorang yang melakukan pekerjaan akhirat untuk mengambil dunia. Harap perbedaan ini direnungkan dalam-dalam, sebab, masalah ini adalah tempat banyak orang tergelincir."