Kebengisan Bangkit di Tengah-Tengah Kita
Oleh: Fahmi Huwaedi
Kolomnis Mesir
Penulis mengingatkan akan kebengisan yang tengah bangkit di tengah-tengah kita. Jika kita tidak segera menghentikannya, maka tak satupun selamat dari kekejamannya. Dan selanjutnya, semua wilayah Mesir akan menjadi korbannya.
(1)
Penulis ingin berbicara soal pidato kebencian dan seruan balas dendam yang bertujuan untuk menakuti orang lain dan untuk membasminya. Bukan sekedar menyingkirkan namun juga mencabut dan melarang hak orang lain untuk hidup secara mulia. Terlebih-lebih lagi hak untuk bisa menghirup udara dan bereksistensi. Serta sejumlah kata provokatif dan menyudutkan yang memenuhi media massa Mesir sekarang ini.
Penulis ingin berbicara tentang tepuk tangan dan sorakan atas penggunaan kekerasan, ketidakpedulian atas berbagai pembantaian yang terjadi, membiarkan dan meremehkan terhadap darah yang ditumpahkan serta mencela para korbannya. Menuduh para korban itu sebagai teroris, memprovokasi pembunuhan, ingin menumbangkan penguasa dan memata-matai negara bekerjasama dengan pihak musuh.
Penulis heran, semua aksi provokatif di atas dilakukan melalui mimbar-mimbar umum. Baik itu melalui surat kabar, channel televisi dan acara-acara televisi. Terkadang juga menggunakan jalur hukum melalui dakwaan kejaksaan. Disamping penggunaan milisi-milisi bersenjata yang keluar dari barak-baraknya menyerang siapa saja di daratan Mesir. Tidak peduli, apakah orang itu baik atau berhati mulia.
Dalam kondisi seperti itu, muncul seruan untuk rekonsiliasi nasional, perdamaian nasional, komitmen dengan multipartai, menghormati pendapat orang lain, solusi damai bagi perbedaan politik yang ada. Seakan seruan-seruan itu berubah menjadi kelemahan yang dituduhan kepada yang berani menyuarakannya dan menjadi alasan untuk melakukan kampanye hitam.
Bahkan, seruan rekonsiliasi nasional yang itu merupakan cara paling sukses dalam kerja politik, kini ditentang melalui tulisan-tulisan dan dialog-dialog televisi yang tak terhitung lagi banyaknya.
Penulis sendiri membaca cemoohan bagi para penyeru seruan itu pernah dilansir oleh salah satu harian umum dengan judul “Abukum abu musolahah!” yang berarti, dalam dialek Mesir, bapak kamu terlaknat begitu juga rekonsiliasi yang Anda serukan itu. Itu berarti, penyeru rekonsiliasi, tidak hanya dicemooh dan dihina namun terlaknat kedua orang tuanya.
(2)
Harian Mesir, Al Ahram, Ahad (25/8) mengutip ucapan juru bicara Presiden Mesir, Ahmad al Muslimani yang mengatakan bahwa kebencian di masyarakat Mesir sangat membahayakan keamanan nasional. Ucapan yang penting walaupun pihak koran tidak mempublikasikan konteks yang sebenarnya. Namun, teman kita ini tidak menjelaskan kepada kita, kenapa kampanye kebencian baru digulirkan sekarang ini? Siapa dibelakangnya? Siapa yang bertanggungjawab?
Benar memang, mimbar yang dijadikan kampanye di atas itu bukan yang dicurigai dan wajah-wajah yang ditampilkan bukanlah orang-orang yang tidak terhormat dan tidak baik. Akan tetapi yang terpenting sekali adalah memberikan sorotan atas latarbelakang kondisi terkini agar kita tahu siapa orang yang paling berkepentingan dalam penayangan seperti itu dan yang suka menanam fitnah di tengah-tengah masyarakat. Sehingga menyebabkan perpecahan internal dan masyarakat tidak mampu untuk bangkit, apalagi untuk maju. Ini merupakan target akhir setiap bahaya yang akan mengancam keamanan nasional bagi setiap negara.
Kebengisan dalam kondisi ini tidak hanya membidik musuhnya saja, namun akan bisa meracuni udara dan mengotori pandangan umum. Karena dengan begitu, akan mengizinkan para warga sipil biasa berubah menjadi orang-orang bengis kecil dan bom waktu yang bercampur dengan kebencian. Hal ini akan mendorong terbentuknya milisi-milisi bersenjata di masyarakat yang saling berseteru satu dengan yang lainnya. Dan merubah tanah air yang satu menjadi barak-barak militer yang saling berperang satu dengan lainnya. Barak yang satu ingin menghabisi barak yang lain, dan begitu sebaliknya.
Yang bahayanya tidak boleh dianggap remeh juga adalah keberlangsungan situasi dan kondisi ini merupakan kegagalan penguasa (militer) sekarang ini dalam menjaga kesatuan nasional. Sekaligus meyakinkan betapa mereka tidak mampu menjaga keberagaman dan kemajemukan dalam negara.
Ada sebuah lingkaran gelap melatarbelakangi munculnya kebengisan ini. Hal itu jika kita memahami akan peran mimbar-mimbar yang dipakai itu dan kita tahu akan sesuatu tentang kemaslahatan yang ingin dicapai. Kita juga tahu akan kebenaran adanya beberapa kelompok yang mensuplai racun dan mengkampanyekan kedengkian dan kebencian secara bersama-sama. Maka hubungan antara mereka dengan aparat keamanan, yang kembali menggeliat akhir-akhir ini, akan terus menjadi pertanyaan yang sering dishare di jejaring sosial.
Pertanyaan-pertanyaan di atas menimbulkan sebuah stigma bahwa kelompok-kelompok yang melindungi kebengisan dan sekaligus mensuplainya, memiliki kaitan historis dengan aparat keamanan tersebut. Dengan pemaparan pada titik tekan masalah ini akan menjelaskan kepada kita, apakah aksi kampanye kebengisan itu merupakan bagian dari kebijakan negara? Atau hal itu demi kepentingan pihak-pihak yang memiliki kepentingan khusus? Atau apakah itu satu titik, yang menyatukan kepentingan dua pihak tersebut?
(3)
Bukan rahasia lagi bahwa target akhir kampanye ini adalah minimal, menghabisi Ikhwan secara total. Dan secara maksimal, menghabisi kelompok Islam.
Target ini yang sudah diteriakkan dengan terang-terangan selama sepekan terakhir ini. Sebagian teriakan itu tidak segan-segan lagi menyebutkan bahwa “Jamaah Ikhwan” sudah habis riwayatnya. Teriakan lain menekankan bahwa Ikhwan mendapatkan pukulan telak yang mendepaknya dari sejarah (Mesir) tanpa bisa kembali lagi. Teriakan ketiga menjelaskan bahwa masyarakat (Mesir) sudah muak serta teriakan-teriakan lain yang berbicara tentang apa yang mereka harapkan dan bukan apa yang sudah terjadi.
Benar, Ikhwan banyak melakukan kesalahan dan popularitasnya menurun drastis di Mesir. Benar juga, beberapa gerakan Islam, di fase-fase terakhir ini, perannya membuat orang menjauh dan bukan mendekat. Namun benar juga, dalam sepanjang sejarah, belum pernah terjadi gerakan keagamaan yang memiliki popularitas dari kelompok Islam dan non Islam, berakhir disebabkan oleh keputusan atau tindakan keamanan apapun.
Dan ketika gerakan Islam di sebuah negara yang karakternya agamis, seperti Mesir contohnya, maka pembubarannya secara total akan menjadi hal yang mustahil adanya.
Pendapat ini bukan pendapat pribadi penulis, akan tetapi pendapat setiap peneliti yang obyektif, yang tahu akan ilmu politik, atau ilmu sosial dan sejarah. Pendapat itu juga disuarakan oleh sejumlah majalah Barat dan harian Arab juga harian-harian Mesir lainnya.
Memang gerakan Islam bisa melemah, kemudian menurun dan hilang dari peredaran. Itu yang pernah ditegaskan dalam sejarah agama-agama bagi kaum muslimin. Namun hal itu terjadi melalui pendangkalan pemikiran secara bertahap atau bertentangan dengan pokok-pokok ajaran agama atau bertentangan dengan fitrah manusia. Dan itu belum pernah terjadi melalui keputusan penguasa atau melalui kampanye intimidasi dan operasi keamanan.
Upaya besar yang kita saksikan hari-hari ini untuk membenarkan pembubaran Ikhwan, termasuk didalamnya klaim bahwa kontak senjata dengan Ikhwan itu sama seperti perang baru melawan teroris. Jika sepuluh persennya saja digunakan untuk mendorong Ikhwan mengkaji ulang kesalahan-kesalahannya dan memperbaiki hubungan dengan masyarakat berikut lembaga-lembaganya. Maka hal itu lebih bermanfaat jika digunakan untuk merealisasikan kemaslahatan utama bagi negara. Ditambah lagi soal jeleknya prediksi dan ungkapan saat menggunakan istilah perang terhadap teroris, yang dimaksudkan demi untuk menyenangkan keinginan Barat.
Nyanyian yang sama selalu dipakai Amerika dalam memerangi apa yang mereka sebut dengan teroris. Targetnya pun belum pernah terealisasikan walaupun sudah bergulir sejak sekitar puluhan tahun lalu. Ditambah lagi, banyak orang yang menilai bahwa Amerika hanya mampu memperlebar jaringan teroris dan tidak bisa membasminya.
Penulis tahu bahwa disana ada daftar panjang tuduhan kepada Ikhwan, baik itu di masa Dr. Muhammad Morsi atau pasca-kudeta 3 Juli, yang harus segera dieksekusi agar para petingginya bisa diadili seadil-adilnya.
Penulis tidak tahu, apakah hal itu bisa dilakukan sekarang ini atau tidak? Padahal kita belum mendengar suara mereka terhadap tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepada mereka. Padahal setiap apa yang kita dapatkan informasi hingga sekarang, masih dalam bentuk laporan pihak keamanan. Yang dari laporan itu kemudian dijadikan pijakan pengadilan via media massa dan televisi.
(4)
Berbeda atas apa yang dibayangkan oleh mayoritas orang dan apa yang mereka harapkan, permasalahan itu sudah mulai dan belum berakhir. Atau minimal, persoalan itu sudah mulai masuk ke ranah baru yang lebih berbahaya.
Sebab apa yang terjadi selama bulan Juli lalu susah untuk dilupakan atau dengan mudah untuk dihapus dari halaman sejarah.
Penulis tidak memiliki bahan untuk berbicara tentang peristiwa pengrusakan yang terjadi. Khususnya pembakaran gereja, penyerangan ke pos-pos polisi, aksi-aksi pembunuhan dan penyiksaan yang dibicarakan oleh media massa. Padahal, kalau dibandingkan dengan masa Dr. Morsi, peristiwa-peristiwa kejahatan itu jarang terjadi. Sebab peristiwa-peristiwa kriminal itu tidak dilakukan penyelidikan dan penyidikan sehingga kita tidak tahu siapa pelaku sebenarnya. Sebab apa yang kita ketahui sekarang ini hanya klaim-klaim pihak aparat keamanan dan pihak media massa saja. Lebih mengedepankan kebijakan pengucilan dan pemberangusan daripada mengungkap kebenaran.
Kebengisan yang bangkit di tengah-tengah kita tugasnya selalu berdarah-darah sejak bulan Juli lalu. Itu terbukti dalam rangkaian pembantaian yang terjadi, total yang meninggal dunia ada tiga ribu orang dan puluhan ribu luka-luka. Tujuh ribu diantarannya luka berat dan sebagian lainnya luka-luka berat sekali, menjurus ke kematian.
Angka itu yang dirilis resmi oleh Ikatan Dokter Mesir. Dan menurut mereka, angka itu bisa bertambah. Sebab ada korban meninggal dan luka-luka yang tidak dikenal jati dirinya.
Sesuai apa yang dipahami oleh penulis, disana ada tekanan pihak keamanan kepada rumah sakit-rumah sakit untuk tidak memberikan informasi yang sebenarnya tentang jumlah yang meninggal dan yang luka-luka.
Isu berdarah ini, kini dilakukan pendokumenan atau pencatatan. Ada yang mengatakan kepada penulis bahwa dokumen itu penuh dengan informasi-informasi penting dan hal-hal yang mengejutkan. Sebuah fakta yang harus dibarengi dengan penyidikan netral agar publik tahu betapa dahsyatnya kebengisan yang terjadi di saat itu.
Penulis tidak berbicara soal vonis kepada mereka yang bertanggungjawab atas pembantaian-pembantain tersebut. Terlebih lagi, bahwa isu itu beranjau yang susah untuk dibuka dalam waktu sekarang ini. Penulis akan membiarkannya kepada sejarah, mudah-mudahan sejarah lebih obyektif dan lebih adil. Akan tetapi penulis ingin berbicara soal betapa derasnya darah yang ditumpahkan pada fase tersebut.
Tentu, tak satupun berharap tumpahnya darah ini membawa babak baru dalam kekerasan yang akan membawa kita kepada kondisi Aljazair di tahun 90-an abad lalu. Namun tak satupun orang bisa menjamin hal itu tidak akan terjadi. Tak satupun bisa menolak bahwa kebengisan akan melahirkan kebengisan baru. Yang menurut hemat penulis, hal itu masih dalam rahim untuk sekarang ini.
Yang lebih dahsyat lagi, ada yang pura-pura lupa akan isu itu dan mencoba menafikannya. Sebab penulis tidak melihat adanya upaya untuk mencarikan solusinya dan mencegahnya dari dampak negatif yang akan bisa mengancam keamanan nasional. Hal ini yang akan membawa kita kepada kondisi buta yang penuh dengan keburukan, baik itu ada dalam benak kita atau hilang dari benak kita.
Secara resmi pihak kepresidenan mengumumkan bahwa mereka akan membentuk tim pencari fakta atas peristiwa pembantaian di depan gedung paspampres. Namun hingga kini tim itu belum juga dibentuk.
Dalam peta jalan yang diumumkan oleh Letjen Abdul Fattah As Sisi pada tanggal 3 Juli lalu, bahwa ia mengumumkan pembentukan komisi tinggi untuk rekonsiliasi nasional beranggotakan tokoh-tokoh yang diterima oleh semua kalangan dan mewakili semua elemen masyarakat. Walaupun sudah lebih dari 50 hari sejak pengumuman itu, namun hingga kini komisi itu belum juga terbentuk.
Penulis tidak memiliki tafsiran atas dilupakannya masalah ini. Tapi penulis berharap agar hal itu tidak dilatarbelakangi oleh tekanan kelompok garis keras yang ada di pemerintahan yang sering mengedepankan cara-cara represif daripada cara-cara damai dan santun.
Sampai terkuaknya kebenaran dalam masalah ini, maka kebengisan akan terus membesar dan bertambah bengis. Maka tidak heran jika akan muncul kebuasan lain yang memenuhi hutan, yang sekarang ini, kita menjadi salah satu penghuninya.***
*Diterkemahkan oleh Amrozi M Rais dari Aljazeera
(http://www.aljazeera.net/opinions/pages/73a285a1-d140-4472-9144-c169b9051f4a)
Fahmi Huwaidi is an Egyptian columnist.
A "moderate Islamist".
He has been called "probably the most widely read Islamic political analyst"
(wikipedia)