Mesir adalah negara yang agamis. Ketika melakukan kudeta, As-Sisi tidak lupa dengan hal ini. Dia melibatkan para pemuka keagamaan dalam memuluskan agendanya.
Setelah tertekan dengan demonstrasi besar-besaran di Rab’ah, Nahdha, dan tempat-tempat yang lain, As-Sisi menggunakan kekuatan fatwa untuk membubarkannya. Mulai dari fatwa larangan mendemo pemerintah yang sah, hingga fatwa membolehkan membunuh para demonstran.
Mungkin banyak orang bertanya-tanya, mengapa ulama sekaliber Syeikhul Azhar dan mantan mufti bisa diperalat mereka? Shabir Masyhur dalam situs elsyaab.org Ahad 25 Agustus kemarin menulis sebuah artikel berjudul “Paus Al-Azhar, Seorang Sekular Bikinan Perancis”
Di awal artikelnya, Shabir mempertanyakan keanehan nama imam dan syeikh bagi Dr. Ahmad Thayyib, “Beliau digelari imam akbar, tapi tidak pernah mengimami shalat. Beliau juga digelari syeikh akbar, tapi tidak pernah khutbah. Oleh karena itu, sebenarnya beliau adalah seorang sekular yang diimpor dari Perancis lalu diberi pakaian Al-Azhar dan disebut sebagai seorang Syeikhul Azhar.”
Shabir juga mempertanyakan keberadaan Ath-Thayib di Perancis, “Ketika masih muda dan segar, beliau dikirim ke Perancis. Tinggal di rumah sebuah keluarga Perancis. Hanya Allah swt. yang Tahu apakah keluarga itu baik-baik atau sebaliknya.”
Shabir membuat sebuah analisis sederhana tentang belajar di negeri non Islam, “Beliau belajar di Universitas Sorbonne. Yang mengajarinya tentang Islam adalah profesor-profesor Kristen dan atheis. Aku bertanya, bisakah seorang Kristen diajari agamanya orang seorang ulama muslim bisa diangkat menjadi paus? Bisakah seorang paus bisa mengenal Kristen mereka melalui pengajaran para ulama muslim yang memang tidak mengimani akidah kristen mereka? Seperti itulah Ath-Thayib, mengenal Islam dari para pemikir Kristen, yang mereka menganggap Islam sebagai sebuah bid’ah hasil rekaan Muhammad.”
Setelah itu, Shabir menyinggung tentang gerak politik Ath-Thayib, “Beliau bergabung dengan Partai Nasional Demokrat, yang merupakan partai sekular. Beliau sama sekali tidak mengenakan pakaian kebesaran Al-Azhar sekembalinya dari Perancis. Tapi begitu didaulat menjadi seorang mufti, beliau langsung mengenakannya karena sekadar mempertimbangkan sisi kepantasan. Begitupun setelah dipindahkan menjadi pemimpin lembaga Al-Azhar, beliau langsung melepaskan kembali pakaiannya, dan melaporkan daftar panjang mahasiswa yang kontra dengan Mubarak.”
Terakhir, Shabir mempertanyakan paradoksi fatwa politik Ath-Thayib, “Di masa rejim Mubarak, beliau mengharamkan demonstrasi dan protes melawan Mubarak. Ketika Mubarak jatuh, beliau mengumumkan diri bersama revolusi. Di masa Presiden Mursi, beliau membolehkan demonstrasi melawan seorang pemimpin muslim yang dipilih oleh rakyatnya. Lalu memfatwakan bolehnya menggulingkan beliau untuk digantikan oleh seorang pemimpin sekular. Setelah kudeta dilakukan, beliau kembali mengatakan bahwa demonstrasi melawan pemerintah adalah haram.” (msa/dkw/elsyaab)
*sumber: dakwatuna