Oleh Ria Sanusi
Pagi ini tanpa sengaja saya melihat sebuah tautan yang terdapat dalam akun FB seorang teman. Agak tersentak juga saat membaca judulnya : "Konspirasi Penghancuran PKS Sudah Mulai "Brutal" Dari Isu Korupsi Sampai Soal Ujian SMK" . Langsung saya buka dan baca detil. Dan saya pun semakin tersentak begitu usai membacanya. Sempat tertegun beberapa saat seraya menarik nafas panjang. Marah, kesal dan sedih berkecamuk memenuhi rongga dada. Maka lahirnya tulisan ini adalah sebagai bentuk dari rasa keprihatinan saya terhadap fungsi dan mutu pendidikan kita.
Dalam UUD 1945 (versi Amandemen), Pasal 31 (3) tentang tujuan dari Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa, "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang."
Dan jabarannya dituangkan dalam Undang-Undang No. 20/2003, Pasal 3 disebutkan bahwa, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."
Berdasarkan amanat UUD 1945 dan UU No. 3/2003 diatas, dapat disimpulkan bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mengedepankan iman dan taqwa, dimana nantinya diharapkan dapat melahirkan generasi yang memiliki akhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri, berjiwa demokratis serta bertanggung jawab. Dengan kata lain, pendidikan merupakan salah satu sarana/alat untuk membentuk manusia menjadi individu yang berkarakter kuat sekaligus berbudi luhur, sehingga mampu mengemban tugas dalam rangka menyebarkan nilai-nilai kebaikan (amar ma'ruf nahi munkar) di mana saja dia berada.
Hubungan Politik dan Pendidikan
Ibarat dua buah mata uang, hubungan antara politik dengan dunia pendidikan sangat erat dan tak bisa dipisahkan satu sama lain. Tak dapat dipungkiri pula bahwa pendidikan seringkali dipakai oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai "alat politik" guna menyampaikan dan mewujudkan tujuan/harapan/ambisi-nya, baik itu kepada kawan maupun lawan politik mereka.
Disini hubungan antara keduanya bukan hanya sekedar hubungan saling mempengaruhi, namun juga sebagai hubungan fungsional. Dimana proses pengajaran yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan dimanfaatkan sebagai sarana untuk men-transformasi dan mensosialisasikan pikiran (sikap) politik dari orang-orang yang memiliki kepentingan di dalamnya.
Bagi sebagian orang, lembaga pendidikan memang merupakan alat yang cukup efektif untuk mempengaruhi orang lain agar mau baik secara sukarela maupun terpaksa, mengikuti langkah dan keinginannya. Banyak catatan sejarah yang menceritakan bagaimana lembaga pendidikan dalam proses perjalanannya mampu memainkan perannya secara signifikan dalam percaturan politik dunia. Di Indonesia saja, kita bisa menemui beberapa nama tokoh pendidikan yang juga sekaligus seorang politikus. Sebut saja KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asyari, Dewi Sartika, Kartini, M. Hatta, M. Natsir, Amin Rais dan beberapa nama penting lainnya, merupakan barisan orang-orang yang pada awalnya aktif dalam dunia pendidikan, tapi kemudian terjun ke dalam dunia politik pada jamannya masing-masing.
Lantas yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah salah jika lembaga (sekolah) dijadikan sebagai "alat politik?" Menurut saya, sejauh tidak menyimpang dari fungsi dan tujuan pendidikan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam konsitusi, pada hakikatnya hal ini tidaklah menjadi persoalan. Sebab melalui proses pendidikan inilah kita bisa memberikan dan melakukan pembelajaran politik kepada orang lain, yang dalam hal ini adalah para anak didik kita. Akan tetapi, manakala proses pengajaran yang dilakukan oleh sebuah lembaga pendidikan dimanfaatkan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mencuci otak (brain washing) dan mendoktrinasi para siswa (anak didik), inilah yang kemudian tak bisa dibenarkan dan perlu diluruskan
Seperti yang terjadi pada saat Ujian Kenaikan Kelas (UKK) untuk tingkat XI SMK di Kabupaten Bogor baru-baru ini. Di dalam soal nomor 50 pelajaran Bahasa Indonesia, dimana materi yang dijadikan soalnya adalah kasus penyitaan mobil Ustadz Luthfi Hasan Ishaaq oleh KPK. Menurut pandangan Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (DPP PKS) Aboebakar Alhabsy, soal ujian ini penuh kejanggalan, sangat tendensius bahkan kental aroma politis. Bagaimana mungkin ini bisa menjadi soal UKK dan lolos dari pantauan Diknas setempat? Siapakah aktor pengecut yang bermain di balik "topeng" pendidikan ini?
Saya tidak perlu menjawabnya dan membahasnya lebih lanjut. Karena pihak PKS sendiri sudah menyerahkan masalah ini kepada kuasa hukumnya. Yang menjadi kerisauan dan penyesalan saya adalah ternyata dunia pendidikan kita pun tak luput dari tekanan (intimidasi) oleh pihak-pihak tertentu yang "tidak bertanggung jawab". Betapa dunia pendidikan kita telah dicemari oleh tangan-tangan kotor para politikus jahat. Betapa dunia pendidikan kita fungsinya telah dirusak sedemikian rupa oleh mereka yang rakus akan jabatan dan kekuasaan. Yaaa...inilah cermin dari dunia pendidikan yang kita tak bisa menutup mata, telinga dan hati kita darinya...
Disini saya cuma ingin mengajak, mari selamatkan dunia pendidikan kita. Mari selamatkan anak didik kita yang masih bersih, polos dan merupakan harapan bangsa ini, dari pengaruh serta sikap arogansi orang-orang yang ingin menghalalkan berbagai cara guna memuluskan ambisi dan nafsu mereka. SAVE OUR WORLD EDUCATION...!!!
Wallahu a'lam bishshawab...
____
:: PKS PIYUNGAN | BLOG PARTAI KEADILAN SEJAHTERA ::
Klik Download App BB | Klik Download App Android
Klik Download App BB | Klik Download App Android