Dwi Budiyanto
Jogja
“Sejak dulu kami menyepakati,” demikian tulis Imam Ahmad ibn Hambal, “jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya.”
Tidak menghina orang baik itu perkara yang wajar adanya. Akan tetapi, tidak menghina mereka yang (sedang) tergelincir dosa butuh kesungguhan juga. Ini bukan pekerjaan sederhana. Betapa sering kita memperolok orang lain yang sedang terpeleset dan berperkara. Mengejek mereka sambil memicingkan sebelah mata. Alih-alih menginstrospeksi diri, kita malah menyibukkan diri untuk menjadikan mereka yang tergelincir dalam kekhilafan sebagai bahan gunjingan. Maka, sekali lagi, betapa sering kita dengan sikap jumawa mempertanyakan, “Kok bisa dia berbuat sekerdil itu?” Seakan kita merasa sangat yakin bahwa kita akan mampu melampaui ujian serupa. Sungguh, hanya kepada Allah kita memohon pada Allah agar mengistiqamahkan hati kita dalam ketaatan kepada-Nya.
Ketika seseorang menghina saudaranya yang tergelincir kesalahan, pada saat bersamaan ia sedang menggelincirkan diri pada kesalahan yang bersebab kesombongan. Jumawa bahwa dirinya lebih baik. Sungguh perkataan Sufyan bin Uyainah patut kita renungkan. “Siapa yang kemaksiatannya terletak pada syahwat, maka taubat bisa diharapkan darinya. Sebab Adam a.s. bermaksiat karena keinginan syahwat, ia bertaubat lalu diampuni. Sementara jika kemaksiatannya terletak pada kibr (kesombongan), maka aku khawatir is sebagai orang yang dilaknat. Iblis bermaksiat karena kesombongan karenanya ia dilaknat.” Begitulah yang terjadi, ketika seseorang menghina saudaranya yang tertimpa kesalahan, ia sendiri tidak menyadari bahwa penghinaan yang dilakukannya adalah kesalahan yang lebih parah. Apa yang diperoleh dari menghina? Pahala dari Allah berupa jaminan surgakah? Atau bertumpuknya keburukan dan kehinaan diri? Alangkah indah manakala kita bersibuk menelisik diri daripada menguliti saudara sendiri.
Suatu hari Sufyan bin Al-Hashin duduk berbincang dengan Iyas bin Mu’awiyah. Ketika melintas seorang anak muda, Sufyan menuturkan keburukan anak muda itu. Iyas bin Mu’awiyah lalu mencergahnya dan mengatakan, “Diamlah wahai Sufyan, apakah engkau pernah terlibat dalam pertempuran melawan Romawi?” Sufyan menjawab tidak pernah. Kembali Iyas bin Mu’awiyah bertanya pada Sufyan bin Al-Hashin. “Kalau begitu pernahkah engkau ikut dalam perang melawan pasukan Tatar?” Kembali Sufyan menjawab tidak sambil menggelengkan kepala. “Orang Romawi dan orang Tatar selamat dari keburukan lisanmu,” demikian kata Iyas bin Mu’awiyah, “tapi, seorang Muslim cedera karena lisanmu!” Sungguh ada banyak hal yang patut dibanahi dari diri kita hari-hari ini. Ketika media mempermudah jangkauan untuk mengetahui ruang-ruang pribadi seseorang, seringkali kita menjadi latah untuk mengomentari. Kita pun menjadi tak sadar sedang digiring ke arah tradisi pergunjingan yang tiada manfaat. Kita mendadak menjadi gampang mencela dan mudah dibuat kecewa pada hal-hal yang tidak terlalu penting. Betapa hal-hal demikian sangat menguras energi dan mudah membelokkan orientasi; dari semangat beramal ke arah hasrat pergunjingan. Na’udzubiLlahi min dzalik.
Alangkah menusuk nasihat Ibnu Athaillah As-Sakandary. “Betapa banyak kemaksiatan yang mewariskan rasa hina dan rendah di hadapan Allah ta’ala,” tuturnya. Beliau lalu melanjutkan, “Sungguh, itu lebih baik dari ketaatan yang mewariskan sikap merasa mulia dan sombong.” Begitulah kearifan sikap dinasihatkan pada kita. Agama ini melarang seseorang untuk mencaci dan menghina orang yang melakukan kesalahan. Pada yang berdosa saja kita tak boleh mencelanya, apalagi pada mereka yang kesalahannya belum diputuskan benar tidaknya. Puncak tertinggi dari masyarakat Muslim adalah menegakkan hukum sesuai yang dituntukan Allah, dan bukan menyibukkannya dengan cacian dan hinaan.
Bukankah kita tak mengetahui jalan cerita kehidupan seseorang? Bukankah telah bertabur banyak tauladan, mereka yang pernah tergelincir dalam kekhilafan, ternyata mampu menuntaskan kehidupannya dalam kebaikan. Yunus pernah terjerat khilaf. Ketika ia berdakwah di Ninawa dan yang ia temukan hanyalah pembangkangan. Hilanglah sabarnya. Ia pergi meninggalkan Ninawa sebelum diperintakan-Nya. Sang Nabi ‘mutung’. Lalu, ia ditelan ikan. Setelahnya ia menginsyafi seluruh kesalahannya dengan doa (Qs. al-Anbiyaa’ [21]: 87). Ia tak lagi dalam hina. Yunus bertabur kemuliaan. Kisah hidupnya menjadi teladan, maka Quran mengisahkan.
Sungguh, tak akan terhina orang yang dimuliakan Allah karena taubatnya setelah khilaf. Tak akan mulia orang yang dihinakan Allah bersebab jumawa yang ditempuhnya dalam taat.
Pada mereka yang keluarganya sedang didera ujian, doakan semoga lekas terurai masalah. Jangan memperolok dan menghinakannya. Kita tak berharap ujian serupa ditimpakan atas diri kita. Begitu pula pada mereka yang gagal menghadapi ujian kehidupan dari Allah, kita panjatkan doa agar Allah menyayangi mereka yang berusaha memperbaiki diri. Berdoa pula agar kita istiqamah dalam ketaatan kepada-Nya, lalu menuntaskan tugas hidup kita dengan khusnul khatimah. []
*Penulis: @dwiboediyanto on twitter
:: PKS PIYUNGAN | BLOG PARTAI KEADILAN SEJAHTERA ::
Klik Download App BB | Klik Download App Android
Klik Download App BB | Klik Download App Android