Beginilah Kita Meyakini Allah






Dwi Budiyanto
Jogja


***

Orang-orang yang beriman pada Allah memiliki keyakinan yang kuat bahwa apapun yang menimpa dirinya merupakan skenario terbaik yang ditentukan Allah ta’ala. Orang lain bisa saja menganggap kegagalan atau pun keterpurukan, tapi tidak halnya dengan keyakinan mereka yang beriman. Setiap skenario Allah bagi kita, insya Allah, merupakan kebaikan. Itu kita yakini sepenuhnya, meskipun Allah tidak sekalipun membeberkan alur ceritanya. Inilah yang dapat kita pelajari dari perjalanan hidup para nabi. Mereka jalani hidup dengan keyakinan.

Yusuf a.s. misalnya, tak secuilpun mengetahui alur cerita hidup yang akan dijalaninya. Ia menjadi tenang bukan karena mengetahui detail tiap episode kehidupannya. Ia menjadi tenang karena keyakinan yang kuat pada Allah. Perhatikanlah kisahnya. Betapa episode hidupnya selalu berupa ujian demi ujian. Dalam usianya yang masih belia, Yusuf harus berhadapan dengan konspirasi kedengkian saudara-saudaranya (Qs. Yusuf: 7). Anak itu dimasukkan ke dasar sumur. Sebuah cover story-pun diciptakan agar meyakinkan sang ayah bahwa Yusuf mati. Rekayasa fakta dan bukti pun digelar. “Mereka datang dengan membawa baju gamisnya dengan darah palsu (Qs. Yusuf: 15-18).

Ibnu Katsir dalam “Qishashul Anbiya” mengisahkan bahwa saudara-saudara Yusuf lupa mengoyak baju Yusuf. Mereka hanya melumurinya dengan darah palsu. “Oleh karena itu,” jelas Ibnu Katsir, “bahaya sebuah kedustaan adalah lupa!” Barangkali dalam bahasa kita: cacat sebuah konspirasi adalah ‘ketidakcermatan’ merangkai fakta dan menghadirkan bukti. Sekali lagi, Yusuf tak pernah mengetahui alur cerita hidupnya setelah itu. Ia hanya yakin Allah pasti akan berikan jalan keluar.

Ketika setelahnya, ia ditemukan para musafir bernama Malik bin Za’ar dan Nuwait bin Madyan, seperti diungkapkan Ibnu Abbas, lalu dijual kepada Athfiir bin Rauhib (sebagaimana disebutkan Ibnu Ishaq), Yusuf sendiri tak mengetahui pasti alur kisah hidupnya. Bahwa kelak ia akan didera oleh konspirasi berbalut asmara dan akhirnya berujung pada kehidupannya di istana, sama sekali tak pernah diketahuinya. Yang ada hanya keyakinan bahwa akhir dari seluruh cerita itu adalah kebaikan. Itulah sebabnya, alangkah anggunnya kita untuk tidak menilai orang lain dari sepotong episode hidupnya yang belum tentu berakhir, apalagi men-justifikasinya dengan label-label keburukan. Kita tak pernah mengetahui skenario utuh yang dirancang Allah ta’ala.

Begitu pula kalau kita cermati kehidupan Musa a.s. Semua cerita hidupnya tidak ada yang kebetulan. Semua berada dalam rencana Allah ta’ala. Ujian, fitnah, kegagalan, atau bentuk lainnya adalah episode dalam kehidupan, sebagaimana juga episode itu akan bercerita tentang kesuksesan, kebahagiaan, kenyamanan, dan sebagainya. Kita hanya meyakini bahwa selama seseorang berada dalam keimanan, setiap momentum dan peristiwa yang menimpanya, hanya akan berujung kebaikan.

Maka, kisah tentang Yusuf di atas, memasuki episode yang menggembirakan. Sang raja berkata, “Sesungguhnya kamu (mulai hari ini) menjadi orang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.” (Qs. Yusuf: 54-57).

Wa kadzalika makkannaa liyuusufa fil ardli – Dan, demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir.

Yusuf a.s. berpisah dengan ayahnya ketika berusia 17 tahun. Perpisahan selama delapan puluh tahun. Waktu yang sangat panjang dari episode ujian hingga kesuksesan. Masa yang sangat riskan bagi tumbuhnya putus asa, terutama bagi yang lemah iman.

Maka mari kita renungkan doa Nabi Yusuf a.s. : “Ya Tuhanku, pencipta langit dan bumi. Engkaulah pelindungku di dunia dan akherat. Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dna gabungkanlah aku dengan orang-orang salih.” (Qs. Yusuf: 99-101). []


*Penulis: @dwiboediyanto on twitter



:: PKS PIYUNGAN | BLOG PARTAI KEADILAN SEJAHTERA :: 
Klik Download App BB | Klik Download App Android
Baca juga :