"Kapan Golput Menang?"

Oleh Akmal Sjafril

Setelah gegap-gempita Pilgub Jabar dan Sumut berlalu, muncullah berbagai analisis seputar proses demokrasi yang baru dijalankan. Dari kelompok yang bersikap skeptis – bahkan apatis – kepada parpol dan sistem yang berlaku di negeri ini, sebuah pernyataan mengemuka: Golput telah menang!

Kata “Golput” atau “Golongan Putih” sering dipakai orang pada era Orde Baru. Ada suasana yang khas pada masa-masa itu yang menyebabkan nama ini terasa pas untuk digunakan. Salah satunya adalah identifikasi diri para peserta pemilu pada masa itu dengan warna-warna tertentu, dan peserta pemilunya hanya tiga (dengan sendirinya, warnanya pun cuma tiga). Partai Persatuan Pembangunan (PPP) identik dengan warna hijau, Golongan Karya (Golkar) identik dengan warna kuning, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) identik dengan warna merah.

Begitu identiknya para peserta pemilu dengan tiga warna itu, sehingga di musim kampanye pun orang terpaksa berpikir masak-masak hendak mengenakan baju apa ketika keluar rumah. Kalau hari itu jadwal kampanye PDI, misalnya, rasanya was-was kalau jalan-jalan pakai baju kuning. Fanatisme partai pun berujung pada fanatisme warna. Begitu pentingnya masalah warna ini, sampai-sampai Megawati Soekarnoputri – ketika menjabat sebagai Presiden menggantikan Gus Dur – sangat sering terlihat mengenakan setelan pakaian berwarna merah dengan berbagai variasi model dan coraknya.

Dalam suasana seperti itulah, di mana rakyat selama bertahun-tahun hanya boleh memilih satu di antara tiga warna, muncul kelompok ‘baru’ yang menyebut dirinya ‘golongan tanpa warna’, meskipun akhirnya mereka memilih sendiri warna putih sebagai representasinya. Maka muncullah nama “Golput”, sebagai semacam tandingan atas golongan hijau, kuning dan merah tadi.

Sejak era reformasi, masih banyak partai yang mengidentifikasi dirinya melalui warna, meskipun sudah tidak menjadi ‘kewajiban’ lagi. Warna biru, misalnya, identik dengan Partai Amanat Nasional (PAN) atau Partai Demokrat (PD). Warna merah masih identik dengan PDI-Perjuangan (PDIP). Warna kuning masih ‘milik’ Golkar, sedangkan warna kuning yang agak berbeda (agak dekat ke jingga) digunakan oleh Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Warna hijau sudah banyak sekali yang menggunakan, yaitu dari partai-partai Islam selain Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Yang disebut terakhir ini malah anomali. Sebab, meski logonya menggunakan warna hitam dan kuning, ternyata yang lebih dominan dalam pakaian dan asesoris kader-kader PKS justru putih. Untuk warna kedua setelah putih, PKS bersikap ‘luwes’ dengan warna-warna lainnya. Dalam Pilgub Jabar 2013 tempo hari, misalnya, warna yang digunakan oleh kandidat dari PKS adalah putih dan merah.

Kembali pada klaim ‘kemenangan Golput’, kita dapat menjadikan Pilgub Jabar 2013 sebagai studi kasus. Sebuah lembaga survei mengatakan bahwa sekitar 35% warga Jabar yang berhak memilih tidak menggunakan hak pilihnya. Sementara itu, perolehan suara pasangan Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar – sebagai pemenang Pilgub – tidak sampai jumlah itu. Artinya, jumlah Golput lebih banyak daripada jumlah pemilih Aher-Deddy. Tapi apakah dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa Golput telah menang dalam Pilgub Jabar?

Jika kita amati, ada beberapa kesalahan logika yang mendasari pengambilan kesimpulan ini. Pertama, kesalahan dalam mendudukkan Golput sebagai ‘lawan’ dari kandidat Aher-Deddy. Jika logika yang demikian digunakan, maka seolah-olah ‘jika tidak memilih Aher-Deddy pastilah ia Golput’. Padahal, kenyataannya, yang tidak Golput dihadapkan pada lima pilihan, dan kandidat Aher-Deddy hanya satu dari kelima pilihan tersebut. Dengan demikian, ‘lawan’ atau pembanding yang tepat untuk Golput sesungguhnya bukan salah satu dari kelima kandidat tersebut, melainkan keseluruhannya. Dengan demikian, kita seharusnya menyebutkan bahwa ada sekitar 35% yang Golput, namun masih ada 65% yang non-Golput. Artinya, Golput-lah yang sebenarnya kalah telak.

Kedua, jika kita menganalisis secara lebih mendalam lagi ketimbang yang sudah dilakukan pada paragraf sebelumnya, kita pun akan menyadari bahwa Golput sebagai satu golongan sebenarnya adalah sebuah ‘ilusi’. Pada hakikatnya, Golput bukanlah satu golongan, melainkan banyak golongan yang kebetulan membuat keputusan yang di atas permukaan terlihat sama, yaitu keputusan untuk tidak memilih (dalam hal ini, tidak memilih pada Pilgub Jabar). Meski pada tataran perbuatannya sama, bukan berarti motifnya sama pula.

Mereka yang tidak memilih bisa jadi memiliki banyak alasan yang berbeda. Ada yang tidak memilih karena menganggap berdemokrasi itu haram. Ada pula yang tidak memilih karena sedang dirawat di rumah sakit. Ada yang mendapat musibah pada hari pencoblosan, sehingga tidak bisa memilih. Ada yang sudah bersikap apatis kepada semua parpol, ada yang tidak apatis pada parpol, namun tidak menemukan satu kandidat pun yang dianggapnya cocok untuk dipilih. Mungkin ada juga yang dulunya habis-habisan mendukung kandidat tertentu, namun apa dinyana kandidat yang didukungnya tidak diloloskan oleh KPU. Karena itu, ia memutuskan untuk tidak memilih saja. Ada juga yang secara kebetulan sudah memiliki agenda lain yang sudah dipastikan sejak jauh-jauh hari, dan kebetulan agenda itu jatuh pada hari pencoblosan, sehingga ia tidak bisa memilih. Yang terakhir ini terjadi pada penulis sendiri. Dan, tentu saja, ada juga golongan yang tidak memilih karena memang tidak peduli. Tidak semuanya menganggap Pilgub itu penting, bukan?

Jelaslah bahwa Golput – meski disebut demikian – bukanlah satu golongan. Dengan demikian, Golput sebenarnya tidak mudah untuk dijadikan bahan analisis, sebab motif dan pendapat mereka berbeda-beda. Lain halnya dengan mereka yang memilih, yang sudah menentukan pilihannya dengan jelas.

Dari perspektif kedua ini pun, agaknya kita tidak bisa mengatakan bahwa Golput telah menang. Andai pun ingin mengatakan demikian, tidaklah jelas ke mana kemenangan itu akan disematkan, sebab Golput terdiri dari banyak golongan.

Selanjutnya, kita pun dapat mengatakan bahwa Golput yang 35% itu tidak mungkin dinyatakan sebagai pemenang, sebab ia tidak membawa pengaruh yang pasti pada kemenangan atau kekalahan kandidat yang bertarung di Pilgub. Setelah Pilgub pun, Golput harus berjuang keras untuk menyampaikan aspirasinya, sebab mereka tidak punya perwakilan di mana-mana. Bisa saja mereka berdemonstrasi kelak untuk menyampaikan pendapat, namun semua orang pun tahu bahwa demonstrasi memiliki dimensinya sendiri yang berlainan lagi dengan Pilgub. Lagi pula, siapa yang bilang bahwa mereka yang Golput di suatu Pilkada kelak akan kompak menyuarakan aspirasinya? Dengan logika tersebut, lagi-lagi, kita tidak menemukan bukti ‘kemenangan Golput’.

Yang lebih mengenaskan lagi, menurut penulis, adalah ketika sekelompok aktivis Islam mereduksi Golput menjadi ‘anti demokrasi’, atau yang disingkatnya menjadi golongan Andem. Menurutnya, karena jumlah Golput di Pilgub Jabar sudah lebih besar daripada jumlah pemilih Aher-Deddy, ini membuktikan ‘kemenangan dakwahnya’ sendiri, yaitu dakwah yang mengumandangkan sikap anti demokrasi.

Sudah barang tentu, analisis ini jauh lebih lemah lagi daripada yang sebelum-sebelumnya. Sebab, mensubstitusi Golput dengan Andem sudah jelas tidak tepat. Sebab, sekali lagi, Golput bukanlah satu golongan. Mereka yang tidak memilih belum tentu anti demokrasi, melainkan bisa jadi karena beberapa alasan yang sudah disebutkan di atas. Bahkan mungkin ada pula yang tidak memilih karena menganggap Pilgub Jabar justru tidak demokratis (bagaimana pun, kemungkinan itu ada!). Lebih parah lagi jika fenomena banyaknya Golput ini dianggap sebagai hasil dari ‘dakwah anti demokrasi’. Pasalnya, yang tidak memilih belum tentu anti demokrasi, yang anti demokrasi pun belum tentu dilandasi oleh alasan-alasan agama, dan mereka pun belum tentu Muslim. Berapa banyak warga Non-Muslim yang tidak memilih? Apakah pilihan mereka ini adalah hasil dari kerja ‘dakwah anti demokrasi’? Berapa banyak Muslim yang tidak memilih karena tidak peduli? Apakah ini juga hasil dari kerja ‘dakwah’?

Sesungguhnya, memilih atau tidak memilih adalah hak setiap warga negara yang harus dihormati. Demikian juga sikap pro-kontra seputar sistem demokrasi yang berlaku di negeri ini, semuanya harus dihormati. Segala diskusi dan perdebatan yang berkembang niscaya memperkaya umat, selama ia dilandasi oleh keilmuan yang mendalam, yang tercermin dari kualitas argumen-argumen dan analisis yang diajukan. Hanya dengan ilmulah kita bisa memuliakan Islam. Oleh karena itu, debat tanpa ilmu semestinya disudahi dan jangan sampai dilakukan lagi. Klaim-klaim yang tidak berdasarkan ilmu – jika dilakukan oleh para aktivis dakwah Islam – hanya akan mempermalukan Islam. []

*http://akmalsjafril.com/blog/data/Kapan-Golput-Menang



:: PKS PIYUNGAN | BLOG PARTAI KEADILAN SEJAHTERA :: 
Klik Download App BB | Klik Download App Android
Baca juga :