Di PKS, Aku Mendapatkan Segala-galanya

***
Sebut saja namaku Dani, karena sejak kecil selalu didandani oleh Nini (Nenek bahasa Sunda) sehingga penampilannku rapi.

Kebanggaan yang pertama dalam kehidupannku adalah Bapa, karena bapa bagiku adalah laki-laki tulen karena bapaku banyak menaklukan wanita yang dijadikan  istrinya sehingga aku punya banyak saudara sekarang.

Bapaku terkenal  dengan kewibawaannya dan cara menarik dalam bergaul dengan masyarakat. Walaupun  aku jarang berkomunikasi dengan bapa, tapi bapaku berkeinginan agar aku menjadi lebih baik darinya, dan pada akhirnya aku disekolahkan disebuah sekolah yang kental nuasa Agamanya.

Aku secara tidak langsung mewarisi gaya bergaul dari bapa, tentunya dengan zaman yang berbeda. Aku terkenal luwes, mudah bergaul dan tidak gampang menolak permintaan orang. Tapi  mungkin hal itulah yang membuat aku kebabblasan kehidupan remaja modern meyeretku kedalam dunia penuh hitam, perkelahian antar geng, merokok, pengedar narkoba tapi bukan pemakai lho, pacaran, begadang sampai pagi, bolos sekolah, rasanya sekarang gak sanggup lagi mengurutkan satu persatu noktah hitam yang kutorehkan pada masa tersebut.

Selepas lulus dari Aliyah, aku berkesempatan kuliah di sekolah perikanan di Jakarta. Pola pendidikan semi militer merubah kehidupanku menjadi seorang yang lebih disiplin, namun rasanya batin ini terus gundah akan masa lalu jauh dari Allah dan semakin jauh manakala melihat kehidupan di kapal-kapal ikan atau pesiar, rasanya aku tidak cocok kerja disini.

Akhirnya kuputuskan pulang saja ke kampung, menerima pekerjaan sebagai staf administrasi di sebuah kantor Notaris.

Disinilah awal mulanya, kebetulan kantor notaris bersebelahan dengan kantor DPC  sebuah partai Islam (waktu itu bernama Partai Keadilan). Mula-mula aku malu berkenalan dengan mereka yang selalu ramah menyapa, kantor yang tidak pernah sepi dari anak-anak muda sepertiku. Kalaupun sepi pasti mereka sedang keluar berpencar ke desa-desa atau silaturahim ke tokoh-tokoh masyarakat. Sering juga aku dengar sayup-sayup bacaan Al qur’an atau suara riuh mereka ketika rapat tapi tetap terkendali.

Entah kapan waktunya tapi akhirnya aku mulai akrab dengan mereka, terlebih dengan kang Bejo ketua DPC PKS (waktu itu masih PK). Kang Bejo  usianya lebih muda dari aku tapi kami jadi akrab, kang Bejolah yang sering menasihati akan pentingnya berislam, sholat lima waktu dll. Kehausanku akan ketenangan jiwa rasanya gak cukup diskusi berdua saja, Akhirnya kang Bejo ngajak aku ikut pengajian, dengan halus aku menolak karena bacaan qur’anku blepotan.

Kang Bejo  menjelaskan dengan lebih halus dan santun, “Kita sama-sama belajar kok. Suatu saat mungkin gantian saya yang dinasehatin,” lirih kang bejo sambil memegang tanganku. Aku luruh  dengan ketulusannya yang tidak memaksaku.

Kang Bejo menuntunku kembali kepada islam, mengenal memahami dan mengamalkannya. Kian waktu akupun mulai berubah dan akhirnya ikut berjuang bersama. Dan inilih kebanggaanku yang kedua bergabung dengan PKS yang  menjadikan kami ibarat pasukan pemberani dan tak kenal lelah ketika desa demi desa, kampung demi kampung, tokoh-tokoh, kyai, ustazh, para kumpulan organisasi pemuda, olah raga dan lain-lain kami sambangi dengan tujuan kemenangan Partai Keadilan adalah kemenangan Dakwah Islam.

Tak jarang kami menghadapi kendala,  berat rasanya tapi setelah kami berkumpul bersama kembali hilang semuanya berubah menjadi kenikmatan dan tantangan tersendiri. Apalagi akhirnya jerih payah kami berbuah manakala berbondong-bondong masyarakat mendukung kami. Kantor DPC  semakin ramai. Pemuda kampung, tokoh, kiyai, ibu-ibu pengajian, preman, bencong (maaf), bahkan sekumpulan  kakek manula veteran perang yang mengatakan, “Kami dulu berjuang melawan Belanda, kemudian masuk Masyumi sekarang kami siap bergabung dengan PK”. Allahu Akbar. Tak ayal, 4000 lebih kartu simpatisan habis tersebar.

Kami seakan tidak bisa membendung mereka, apalagi mereka datang sambil meminta oleh-oleh atribut partai, kami tidak habis akal kami buat banyak atribut partai dan kami jual ke DPC-DPC lain, lebihnya kami bagikan di  DPC Kami.  Alhamdulillah kami selalu ada stok atribut walaupun hanya stiker.

Banyaknya masyarakat yang berkampanye dengan kita membuat partai lain gerah. Beberapa kali kang Bejo mendapat ancaman dari pemuda-pemuda desa, tapi karena aku kenal dengan beberapa tokoh pemuda membuat kang Bejo mengucapkan terimakasih  atas dukungannya. Aku yakin PK akan menang di kecamatan kami.

Ketika hari pencoblosan aku bersama kang Bejo keliling ke TPS di Desa-desa, aura kemenangan memuncak. Tapi ternyata aku harus menahan diri. Merah, merah dan  merah yang menang, harus puas pada urutan ke-3. Sampai di rumah aku gak bisa menahan diri lagi, aku teriak sekencangnya, melempar apapun yang bisa kuraih, menghantam apapun yang bisa kupukul, tembok, kaca-kaca, aku tidak puas. “Ya Allah! Aku sudah kembali kepadaMu tapi kenapa Engkau tidak memberikan kemenangan kepadaku?”.

Kembali Kang bejo menasehatiku, “Sabar, Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk berjuang kembali, lihat hasil kerja antum semua, 3800 lebih suara kecamatan  kita raih sepertinya tidak ada yang melampui jumlah suara Partai Keadilan tingkat Kecamatan  saat ini di seluruh Indonesia. Kecamatan kita terbanyak dan salah seorang saudara kita insyaAllah mewakili kecamatan di DPRD II”. Subhanallah,  Allahu Akbar.  Begitu kang Bejo menyemangati kami.

Kurang lebih enam bulan aku merasa malu dan lelah rasanya, ditambah kang Bejo menyarankan melepas pacarku atau menikahinya, “Kan antum sudah tarbiyyah?" katanya. Ketika aku melamar pacarku, bukan diterima malah dimaki habis-habisan oleh calon mertua, karena pekerjaanku belum bisa meyakinkannya. Hancur, hancur hatiku yang kedua kalinya. Aku memutuskan hilang sejenak pergi ke Bandung meninggalkan segalanya dengan tanpa pamit. 

Enam bulan berlalu. Gundah terasa aku kehilangan jiwa, ya Allah aku kangen teman-teman DPC, teman-teman tarbiyyah, aku kangen tilawah bareng, mabit bersama di masjid kemudian menghiasi malam dengan tahajud, aku harus kembali…

"Kang aku mau menikah, tekad ku dah kuat banget  kang,” ujarku saat kembali kepada Kang Bejo.

Kang Bejo mengiyakan niatku. Beliau pun memproses keinginan nikahku. Alhamdulillah, gak menunggu lama berbulan-bulan aku sudah duduk di sebuah sofa mewah calon mertua bersama kang Bejo ketika melamar seorang wanita kader PKS. Rasanya gak pantas aku mendapatkannya mengingat aku pemuda miskin berpenghasilan kecil. Lagi-lagi kang Bejo meyakinkanku, "Nikah itu akan mendatangkan berkah, insyaAllah."

Subhanallah betul kata kang Bejo, setelah menikah dengan perantaraan teman kang Bejo aku bisa bekerja di tempat yang layak, bahkan maaf ya kang, gaji bulananku lebih besar berkali lipat dengan kang Bejo yang hanya seorang guru SD.

Kini aku bersama istri dan 4 jundiku. Terus dan akan terus menapaki jalan dakwah ini. Hampir setiap tahun di bulan Ramadhan kang Bejo mengundang kami sekeluarga, reunian mantan mutarabi katanya. Tidak ustadz, kami tetap mutarabi ustadz, jawabku dalam hati.

Tergiang kembali perkataan kang Bejo, "Tarbiyyah bukan segala-galanya, tapi dengan tarbiyyah insyaAllah akan mendapatkan segala-galanya”.  PKS itu bukan partai segala-galanya tapi yakinlah insyaAllah dengan PKS akan mendapatkan segala-galanya. Dunia Akhirat, insya Allah... Amin. []


(Seperti yang diceritakan oleh Dani, Bogor)

*kiriman fauzi nahdi (ozy.nahdi26@gmail.com)


:: PKS PIYUNGAN | BLOG PARTAI KEADILAN SEJAHTERA ::
Baca juga :