Krisis Global dan Ekonomi Indonesia 2013 | Refleksi Akhir Tahun





 
Oleh: Jusman Dalle*


Tahun 2013 di depan mata, namun kontur ekonomi global masih belum menentu. Perekonomian terus membuat waswas. Belum ada tanda-tanda kapan berakhir resesi akbar yang bersumber dari curamnya tebing fiskal AS dan krisis utang di Eurozone.

Raksasa ekonomi dunia seperti Amerika Serikat, Cina dan India kini harus gigit jari dengan makin menurunnya kinerja ekonomi mereka. Negara-negra maju di Eropa, khususnya yang tergabung dalam Eurozone terbebani timbunan utang. Eurozone bahkan terancam bubar sebagai buah pahit krisis utang tersebut.

Untuk menyelamatkan ekonomi, mereka harus mendapatkan bailout (dana talangan) dari lembaga donor dengan syarat melakukan pengetatan anggaran hingga 40 persen dengan memangkas jaminan sosial, menaikkan pajak.

Kebijakan tersebut memaksa pemecatan besar-besaran untuk efisiensi seperti dilakukan Yunani, Portugal dan Spanyol. Hal inilah yang kemudian memantik gejolak sosial politik.

Setali tiga uang, kawasan lain seperti Asia dan Australia, turut meradang. Resesi yang berpusat di AS dan Eropa sangat cepat bertransmisi ke berbagai belahan dunia. Ekonomi Cina, Jepang dan India yang selama ini menjadi motor ekonomi regional Asia dengan pertumbuhan tertinggi mencapai lebih dari enam persen, mengalami kepanasan.

Hard landing (kesulitan) Cina dan India, dua raksasa ekonomi di Asia, dipastikan turut menyeret negara lain. Cina merupakan konsumen terbesar komoditas internasional. Ini misalnya kita lihat bagaimana perlambatan ekonomi Cina menjatuhkan sektor pertambangan di Australia yang selama ini mengandalkan ekspor biji besi dan batu bara ke Cina.

Manisnya perdagangan kedua negara yang mencapai 33 kali lipat menjadi 121 miliar dolar AS telah menurunkan pengangguran di Asutralia dari 7,8 persen menjadi 5,1 persen, kini terancam menyusul pengumuman Wen Jiabao mengurangi target pertumbuhan negeri Tirai Bambu menjadi 7,5 persen. Terendah sejak 2004.

Negara manapun di dunia ini, termasuk Indonesia, tak bisa lepas dari bayang-bayang resesi, sebagaimana hal tersebut dialami oleh Cina dan India yang sebelumnya menjadi kampiun pertumbuhan. Ini sudah menjadi konsekuensi globalisasi, saat kontingensi nyaris tanpa spasi menjadikan ancaman keberlanjutan krisis tidak pernah pada posisi nisbi. Semakin dalam terlibat dalam globalisasi, maka makin rentan dengan dinamika global.

Indonesia termasuk menanggung implikasi krisis global yang sifatnya second round effect,  dampak derivatif hard landing Cina sebagai mitra dagang terbesar kita. Gejala transmisi krisis mulai terdeteksi dari neraca perdagangan yang sempat mengalami defisit selama tiga bulan berturut-turut akibat menurunnya kinerja ekspor, sebelum akhirnya surplus kembali pada bulan Agustus dan kini kembali lagi surplus tipis. Atau bahkan bisa diukur dari pertumbuhan ekonomi pada Triwulan III 2012 yang mengalami penurunan menjadi 6,17 persen dari sebelumnya 6,3 persen.

Berdasarkan negara, pangsa pasar ekspor terbesar Indonesia hingga Agustus 2012 adalah Cina dengan nilai 13,37 miliar dollar AS, posisi kedua ditempati Jepang dengan nilai 12,57 miliar dollar AS, serta AS pada posisi tiga 9,9 miliar dollar AS. Menyusul ekspor ke sembilan negara anggota ASEAN sebesar 21,35 miliar dollar AS dan di posisi kelima, Uni Eropa sebesar 12,09 miliar dollar AS. Bila kita cermati, negara-negara tujuan utama ekspor Indonesia adalah mereka yang memang sedang dilanda krisis.

Predikat sebagai salah satu pemenang resesi akbar sebagaimana disematkan oleh Majalah Foreign Policy edisi November 2012 dan hujan pujian dari berbagai lembaga internasional, memang patut diapresasi dan menjadi modalitas percaya diri kita menghadapi tantangan ekonomi global yang kian tak terprediksi. Namun demikian, gemuruh sektor makro ekonomi Indonesia yang “tumbuh ajaib” harus diikuti langkah penguatan basis sektor ril dengan berupaya mendorong pertumbuhan kuat dan berkualitas.

Berbangga diri dengan pujian tanpa memperhatikan kehidupan ril ekonomi masyarakat, pada akhirnya hanya membuat Indonesia masuk dalam jebakan gelembung pertumbuhan. Nampak gemuk tapi keropos di dalam. Maka menyongsong tahun 2013 dengan segala ketidakpastian ekonomi global, ada beberapa formulasi ekonomi yang bisa ditempuh pemerintah guna mendorong pertumbuhan berkualitas agar ekonomi nasional tidak terlalu terpengaruh dengan dinamika ekonomi global.

Pertama, menjaga stabilitas daya beli domestik yang selama ini berkontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi. Salah kelola energi (BBM dan TDL) merupakan satu persoalan yang kerap menyebabkan gejolak ekonomi. Harga kebutuhan masyarakat dengan cepat melonjak naik sehingga rentan memukul daya beli. Persoalan energi ini harus diantisipasi melalui kebijakan politik energi dan manajemen fiskal yang tepat.

Mengimplementasikan secara konsisten rencana penggunaan energi alternatif yang diwacanakan bahkan sudah menyedot anggaran besar sejak tahun 2006.

Maraknya temuan energi alternatif oleh anak bangsa akhir-akhir ini harus diekplorasi lebih jauh dan diberdayakan. Selama ini kita menyaksikan pemerintah masih melakukan pembiaran atas berbagai temuan yang ada sehingga timbul kesan bila pemerintah tidak serius menyelesaikan problem pelik energi negeri yang kaya sumber-sumber energi ini.

Kedua, memperluas pertumbuhan ekonomi dengan mendorong pemerataan pertumbuhan secara spasial maupun sektoral. Tidak sentralistik di Jawa dan Sumatera saja yang saat ini menguasai 80,9 persen PDB Indonesia. Juga tidak pada sektor padat modal saja, tetapi musti didorong ke sektor padat karya yang langsung melibatkan masyarakat luas. Seperti sektor pertanian, perkebunan, perikanan yang banyak menyerap tenaga kerja. Pada sektor-sektor inilah masyarakat miskin dan hampir miskin yang rentan terseret krisis berada.

Ketiga, menyiapkan skim jaring pengaman sosial yang sifatnya memperkuat individu sebagai entitas ekonomi produktif. Bukan dengan memberikan subsidi konsumtif dan tidak memiliki nilai pengembalian pada perputaran ekonomi. Misalnya, subsidi energi di dalam APBN yang teryata sebagian besar dinikmati kalangan mampu, harus readialokasikan ke sektor lain seperti injeksi modal bagi pelaku UMKM.

Terakhir, untuk jangka panjang harus ada desain besar penguatan modalitas sumber daya manusia. Indonesia bakal mendapat berkah bonus demografi sebagai windows of opportunity. Penduduk usia produktif diperkirakan mencapai puncaknya pada 2017-2020.  (*)

Penulis, analis Ekonomi Society Reseach and Humanity Development (SERUM) Institute 
| PP KAMMI | HIPMI


*http://banjarmasin.tribunnews.com/mobile/2012/12/20/krisis-global-dan-ekonomi-indonesia-2013



___________ posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia
Baca juga :