Fiqih Dakwah untuk Masyarakat Jawa
Oleh : Cahyadi Takariawan
Masyarakat Jawa, sebagaimana masyarakat suku lainnya, memiliki tata cara kehidupan dan budaya yang khas. Akan lebih tepat bagi para aktivis dakwah yang melakukan kegiatan dakwah untuk masyarakat Jawa, apabila mengetahui berbagai budaya yang mereka miliki. Ajaran hidup dan budaya masyarakat Jawa, sudah banyak diungkapkan dalam bentuk pitutur luhur atau pepatah dan kalimat hikmah.
Pada kesempatan kali ini, kita mencoba mempelajari satu pitutur luhur yang menggambarkan watak rata-rata masyarakat Jawa. Pitutur itu berbunyi, “Yen Agal Ngungkuli Watu Yen Alus Ngungkuli Banyu”.
Makna Pitutur
Secara spesifik sebenarnya pepatah ini mengacu atau diacukan pada perwatakan umum para ksatria Pendawa yang dalam konteks tertentu sering diibaratkan sebagai perwatakan orang Jawa. Secara umum, para ksatria Pendawa jika keluar watak keras atau kasarnya akan bisa menjadi sangat keras seperti batu atau bahkan kasar melebihi apa pun. Demikian pula jika keluar watak lembut atau halusnya, bisa sangat halus melebihi air. Sikap itu dipengaruhi oleh stimulan atau faktor-faktor luar yang menyebabkannya menjadi demikian.
Dicontohkan bahwa apabila para ksatria Pendawa diperlakukan dengan lembut, maka ia akan membalas perlakuan tersebut jauh lebih lembut lagi. Akan tetapi bila diperlakukan dengan kasar atau jahat, ia akan bisa membalas dengan lebih kasar atau jahat lagi.
Pepatah ini secara umum sebenarnya ingin menggambarkan dua sisi sifat manusia yang saling bertolak belakang. Manusia itu jika keluar sifat kasar, keras, amarah, nafsu angkara murkanya bisa sangat kasar atau sangat keras. Namun bila yang keluar adalah sifat atau watak halusnya, maka kehalusannya bisa melebihi halus atau lembutnya air.
Pelajaran Fiqih Dakwah
Memahami pitutur luhur di atas, kita diajak memahami sifat umum masyarakat Jawa dalam berinteraksi. Secara umum, masyarakat Jawa itu apabila disikapi dengan santun, halus, dan lembut, akan bisa bersikap yang jauh lebih santun, halus dan lembut kepada kita. Namun apabila mendapatkan perlakuan keras, kasar dan arogan, maka akan bisa membalas dengan perlakuan yang lebih keras, lebih kasar dan lebih arogan.
Hal ini memberikan pelajaran penting kepada kita beberapa hal berikut :
1. Hendaknya mampu menempatkan diri secara tepat dalam interaksi dengan masyarakat
Dalam dakwah, yang kita inginkan adalah sebanyak mungkin kalangan masyarakat yang mendapatkan pencerahan dari dakwah yang kita lakukan. Oleh karena itu sangat penting untuk memiliki sikap yang tepat dalam berinteraksi dengan masyarakat agar mereka tidak antipati dan memusuhi dakwah.
Kadang dakwah ditolak oleh masyarakat, bukan oleh karena isi atau content dari dakwah yang disampaikan, tetapi dari cara penyampaian dakwah yang tidak tepat. Oleh karena itu, memposisikan diri dengan tepat ketika melakukan pendekatan dakwah, sangat diperlukan oleh setiap aktivis. Kemampuan untuk menempatkan diri dengan tepat itu menjadi salah satu syarat keberhasilan dakwah.
Kita mengetahui di Indonesia sangat banyak ragam budaya dan corak etnik. Masing-masing etnik memiliki corak yang khas, berbeda antara satu dengan lainnya. Tidak bisa disamaratakan dalam melakukan pendekatan dakwah antara satu suku dengan suku lainnya. Tradisi kehidupan sudah berlangsung dalam waktu lama dan turun temurun, sangat sulit untuk mengubah kebiasaan yang sudah membudaya dan berurat berakar dalam kehidupan masyarakat.
Untuk itu, melakukan dakwah kepada masyarakat Jawa –yang merupakan suku terbesar di Indonesia—harus disertai pemahaman tentang budaya dan tatacara kehidupan masyarakatnya. Hal ini dimaksudkan agar dakwah bisa diterima secara lebih tepat dan tidak ada penolakan yang muncul karena cara pendekatan yang tidak tepat.
2. Hendaknya bersikap santun dan lembut dalam berinteraksi dengan masyarakat
Masyarakat Jawa –sebagaimana pitutur di atas—memiliki watak yang lembut apabila didekati dengan cara yang lembut. Oleh karena itu, para aktivis dakwah yang melakukan dakwah di kalangan masyarakat Jawa, harus mampu menyesuaikan diri dengan pendekatan yang halus, sopan dan lembut. Kehalusan pendekatan ini sesungguhnya telah menjadi perintah Al Qur’an :
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu” (Ali Imran : 159).
Artinya, kelembutan dalam dakwah sesungguhnya sudah menjadi salah satu karakter yang dituntunkan Al Qur’an. Bukan sekedar karena faktor Jawa, namun empat belas abad lalu Allah telah memerintahkan Nabi Saw untuk berlaku lembut kepada masyarakat dan menjauhi kekasaran sikap.
Kesukaan dan kebiasaan masyarakat Jawa dalam bersikap halus ini sebenarnya sudah bisa dibaca sejak dari tata bahasa yang mereka miliki. Ada strata bahasa yang masing-masing memiliki kedalaman rasa bahasa yang berbeda, memiliki kehalusan bahasa yang berbeda. Ada bahasa Jawa Krama Inggil, Krama Madya, dan ada bahasa Jawa Ngoko. Untuk berinteraksi dengan kalangan para sesepuh dan orang-orang yang dihormati atau dituakan, kita gunakan bahasa Jawa Krama Inggil.
Untuk berinteraksi dengan orang-orang yang lebih tua dan kalangan yang dihormati namun bukan sesepuh, kita gunakan bahasa Jawa Krama Madya. Sedangkan untuk mengobrol dengan teman seusia, atau orang-orang yang sepadan tingkat sosialnya dengan kita, maka boleh digunakan bahasa Ngoko. Kesalahan penggunakan kosa kata, sudah bisa menimbulkan rasa bahasa yang berbeda.
3. Hendaknya menjauhi sikap keras dan kasar dalam berinteraksi dengan masyarakat
Masyarakat Jawa akan bersikap sangat kasar dan keras, apabila mendapatkan perlakuan yang kasar dan keras pula. Dalam konteks dakwah, hal ini menjadi tidak produktif, karena justru memperbanyak permusuhan bagi dakwah. Semestinya para aktivis menjauhi sikap keras, kasar dan arogan dalam pendekatan dakwah kepada kalangan masyarakat Jawa, karena hal itu berpotensi menimbulkan penolakan.
Sebagus apapun ajakan dakwah, apabila dibawakan dengan cara keras, kasar dan arogan, bisa mendapatkan pertentangan dari masyarakat. Untuk itu, hendaknya para aktivis lebih mampu menjaga diri dalam sikap, kata-kata dan perbuatan, agar dalam pendekatan dakwah ke kalangan masyarakat Jawa tidak melukai dan menyakiti mereka.
Ungkapan ayat di atas semakin memperkuat pentingnya menjauhi sikap kasar ini.
Sangat disayangkan jika masyarakat menghindar dari dakwah hanya disebabkan karena kekasaran sikap pelaku dakwahnya.
Pada kesempatan kali ini, kita mencoba mempelajari satu pitutur luhur yang menggambarkan watak rata-rata masyarakat Jawa. Pitutur itu berbunyi, “Yen Agal Ngungkuli Watu Yen Alus Ngungkuli Banyu”.
Makna Pitutur
Pepatah di atas secara harfiah bermakna, apabila keras (kasar) melebihi batu dan apabila halus (lembut) melebihi air.
Secara spesifik sebenarnya pepatah ini mengacu atau diacukan pada perwatakan umum para ksatria Pendawa yang dalam konteks tertentu sering diibaratkan sebagai perwatakan orang Jawa. Secara umum, para ksatria Pendawa jika keluar watak keras atau kasarnya akan bisa menjadi sangat keras seperti batu atau bahkan kasar melebihi apa pun. Demikian pula jika keluar watak lembut atau halusnya, bisa sangat halus melebihi air. Sikap itu dipengaruhi oleh stimulan atau faktor-faktor luar yang menyebabkannya menjadi demikian.
Dicontohkan bahwa apabila para ksatria Pendawa diperlakukan dengan lembut, maka ia akan membalas perlakuan tersebut jauh lebih lembut lagi. Akan tetapi bila diperlakukan dengan kasar atau jahat, ia akan bisa membalas dengan lebih kasar atau jahat lagi.
Pepatah ini secara umum sebenarnya ingin menggambarkan dua sisi sifat manusia yang saling bertolak belakang. Manusia itu jika keluar sifat kasar, keras, amarah, nafsu angkara murkanya bisa sangat kasar atau sangat keras. Namun bila yang keluar adalah sifat atau watak halusnya, maka kehalusannya bisa melebihi halus atau lembutnya air.
Pelajaran Fiqih Dakwah
Memahami pitutur luhur di atas, kita diajak memahami sifat umum masyarakat Jawa dalam berinteraksi. Secara umum, masyarakat Jawa itu apabila disikapi dengan santun, halus, dan lembut, akan bisa bersikap yang jauh lebih santun, halus dan lembut kepada kita. Namun apabila mendapatkan perlakuan keras, kasar dan arogan, maka akan bisa membalas dengan perlakuan yang lebih keras, lebih kasar dan lebih arogan.
Hal ini memberikan pelajaran penting kepada kita beberapa hal berikut :
1. Hendaknya mampu menempatkan diri secara tepat dalam interaksi dengan masyarakat
Dalam dakwah, yang kita inginkan adalah sebanyak mungkin kalangan masyarakat yang mendapatkan pencerahan dari dakwah yang kita lakukan. Oleh karena itu sangat penting untuk memiliki sikap yang tepat dalam berinteraksi dengan masyarakat agar mereka tidak antipati dan memusuhi dakwah.
Kadang dakwah ditolak oleh masyarakat, bukan oleh karena isi atau content dari dakwah yang disampaikan, tetapi dari cara penyampaian dakwah yang tidak tepat. Oleh karena itu, memposisikan diri dengan tepat ketika melakukan pendekatan dakwah, sangat diperlukan oleh setiap aktivis. Kemampuan untuk menempatkan diri dengan tepat itu menjadi salah satu syarat keberhasilan dakwah.
Kita mengetahui di Indonesia sangat banyak ragam budaya dan corak etnik. Masing-masing etnik memiliki corak yang khas, berbeda antara satu dengan lainnya. Tidak bisa disamaratakan dalam melakukan pendekatan dakwah antara satu suku dengan suku lainnya. Tradisi kehidupan sudah berlangsung dalam waktu lama dan turun temurun, sangat sulit untuk mengubah kebiasaan yang sudah membudaya dan berurat berakar dalam kehidupan masyarakat.
Untuk itu, melakukan dakwah kepada masyarakat Jawa –yang merupakan suku terbesar di Indonesia—harus disertai pemahaman tentang budaya dan tatacara kehidupan masyarakatnya. Hal ini dimaksudkan agar dakwah bisa diterima secara lebih tepat dan tidak ada penolakan yang muncul karena cara pendekatan yang tidak tepat.
2. Hendaknya bersikap santun dan lembut dalam berinteraksi dengan masyarakat
Masyarakat Jawa –sebagaimana pitutur di atas—memiliki watak yang lembut apabila didekati dengan cara yang lembut. Oleh karena itu, para aktivis dakwah yang melakukan dakwah di kalangan masyarakat Jawa, harus mampu menyesuaikan diri dengan pendekatan yang halus, sopan dan lembut. Kehalusan pendekatan ini sesungguhnya telah menjadi perintah Al Qur’an :
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu” (Ali Imran : 159).
Artinya, kelembutan dalam dakwah sesungguhnya sudah menjadi salah satu karakter yang dituntunkan Al Qur’an. Bukan sekedar karena faktor Jawa, namun empat belas abad lalu Allah telah memerintahkan Nabi Saw untuk berlaku lembut kepada masyarakat dan menjauhi kekasaran sikap.
Kesukaan dan kebiasaan masyarakat Jawa dalam bersikap halus ini sebenarnya sudah bisa dibaca sejak dari tata bahasa yang mereka miliki. Ada strata bahasa yang masing-masing memiliki kedalaman rasa bahasa yang berbeda, memiliki kehalusan bahasa yang berbeda. Ada bahasa Jawa Krama Inggil, Krama Madya, dan ada bahasa Jawa Ngoko. Untuk berinteraksi dengan kalangan para sesepuh dan orang-orang yang dihormati atau dituakan, kita gunakan bahasa Jawa Krama Inggil.
Untuk berinteraksi dengan orang-orang yang lebih tua dan kalangan yang dihormati namun bukan sesepuh, kita gunakan bahasa Jawa Krama Madya. Sedangkan untuk mengobrol dengan teman seusia, atau orang-orang yang sepadan tingkat sosialnya dengan kita, maka boleh digunakan bahasa Ngoko. Kesalahan penggunakan kosa kata, sudah bisa menimbulkan rasa bahasa yang berbeda.
3. Hendaknya menjauhi sikap keras dan kasar dalam berinteraksi dengan masyarakat
Masyarakat Jawa akan bersikap sangat kasar dan keras, apabila mendapatkan perlakuan yang kasar dan keras pula. Dalam konteks dakwah, hal ini menjadi tidak produktif, karena justru memperbanyak permusuhan bagi dakwah. Semestinya para aktivis menjauhi sikap keras, kasar dan arogan dalam pendekatan dakwah kepada kalangan masyarakat Jawa, karena hal itu berpotensi menimbulkan penolakan.
Sebagus apapun ajakan dakwah, apabila dibawakan dengan cara keras, kasar dan arogan, bisa mendapatkan pertentangan dari masyarakat. Untuk itu, hendaknya para aktivis lebih mampu menjaga diri dalam sikap, kata-kata dan perbuatan, agar dalam pendekatan dakwah ke kalangan masyarakat Jawa tidak melukai dan menyakiti mereka.
Ungkapan ayat di atas semakin memperkuat pentingnya menjauhi sikap kasar ini.
“Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”
Sangat disayangkan jika masyarakat menghindar dari dakwah hanya disebabkan karena kekasaran sikap pelaku dakwahnya.
___________ posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia