Remaja-Remaja yang Berwibawa | Panggung Sejarah Milik Mereka

Oleh Muhammad Arwan Rosyadi*

Sejarah telah mengajari kita: untuk menjadi pahlawan tak harus menunggu tua.

Siapa tak kenal Al-Fatih? Menjadi sultan pada usia belasan tahun, lalu mempersembahkan Konstantinopel ke dalam pangkuan Islam. Sekaligus, menjawab teka-teki Sabda Nabi saw dengan meyematkan namanya sebagai “sebaik-baik panglima”. “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Panglima yang menaklukkannya adalah sebaik-baik panglima, dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335).

Siapa tak mengerti Imam Syafi’i yang di usia 15 tahun sudah layak menjadi mufti? Sampai-sampai Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Aku belum pernah menjumpai seseorang yang lebih pandai dari pemuda ini (Imam Syafi’i) dalam memahami kitab Allah, Al-Qur’an.” (Syaikh Ahmad Farid, 2007:363)

Satu setengah abad sebelum Imam Syafi’i hidup, pada akhir masa kenabian, Usamah bin Zaid memimpin pasukan kaum muslimin. Usianya baru 18-an tahun, sedang prajuritnya banyak yang lebih tua darinya. Bahkan, lima tahun sebelumnya, dalam peristiwa haditsul ifki (berita bohong), fitnah yang menerpa kesucian ‘Aisyah ra, Usamah bin Zaid termasuk segelintir orang yang diajak musyawarah oleh Nabi Muhammad saw. Bersama Ali bin Abu Thalib, ia pun membela ‘Aisyah ra melalui perkataannya, “Wahai Rasulullah, mereka itu adalah istri-istrimu, dan kami hanya mengetahui kebaikan yang ada pada mereka.” (Ad-Duwaisy, 2009:122)

Masa awal-awal Islam, remaja berwibawa menebar dimana-mana. Ada Zaid bin Tsabit, juru tulis Nabi. Zaid diperintah Nabi mempelajari kitab kaum Yahudi, padahal usianya belum genap dua puluh tahun. Ia juga dipercaya membacakan surat-surat orang Yahudi pada Rasulullah, dan menulis balasannya. Zaid bin Tsabit masih dianggap kecil dalam perang Badar. Ada pula Zaid bin Arqam serta Zaid bin Jariyah, yang keduanya dianggap kecil dalam perang Uhud. Demikian pula Muadz bin Al-Harits bin Rifa’ah serta Mu’adz bin Amru bin Al-Jamuh, yang keduanya ikut serta perang Badar saat masih kecil. Pada fase Makkiyah, kita tidak bisa melewatkan para remaja berwibawa dari deretan para sahabat. Abdullah bin Abu Bakar, Mush’ab bin ‘Umair, Sa’ad bin Abi Waqash, dan Arqam bin Abil-Arqam. Dan tentunya, Ali bin Abi Thalib.

Antrean panjang nama-nama itu, adalah bukti bahwa remaja sangat bisa berwibawa. Tapi, mengapa fenomena itu kini sangat langka? Kaum tua yang mabuk jabatan, salah satu jawabnya. Hingga egoisme itu menyebabkan remaja tak pernah diberi kepercayaan untuk berperan. Sekaligus menutup pintu sukses remaja. Solusinya, tentu melibatkan anak sejak dini dalam agenda keummatan.

Selain itu, karena kualitas dan kapasitas adalah indikator penentu kesuksesan, maka pendidikan bernuansa ilahiyah harus melekat pada anak sejak bayi. Sejak dini mestinya, mereka dekat dengan Al-Qur’an dan hidup dalam nuansa ‘ubudiyah. Idealisme menaunginya, jauh dari didikan materialisme keduniawian. Sebutlah Imam Syafi’i yang menghafal Qur’an sejak kecil, dan menjadi hafidz sejak belia. Atau Al Fatih misalnya, tidak pernah meninggalkan sholat wajib, rowatib, dan tahajud sejak baligh hingga kematiannya.[]

*http://www.facebook.com/notes/arwan-rosyadi/serial-pemuda-pahlawan-remaja/10150948099557697




___________ posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia
Baca juga :