Oleh Eko Novianto*
Pendidikan politik itu bukan mendektekan soal politik kepada mereka. Pendidikan politik bukan memintanya mencoblos atau menyuruhnya tidak mencoblos. Pendidikan politik itu bukan menyuruhnya memilih fulan atau melarang memilih fulan. Pendidikan politik itu bukan menjadikan mereka alat politik. Pendidikan politik itu mengajari mereka menatap realitas dan mengokohkan idealita mereka. Semoga dengannya Allah ijinkan mereka pintar, kokoh, dan sabar menatap realitas dan memperjuangkan ide, gagasan dan dakwah.
Pendahuluan
Aku menatap lekat si sulung ketika dia memanfaatkan hak suaranya untuk pertama kalinya di bilik suara. Alhamdulillah. Allah sudah ijinkan dia tumbuh dewasa dan memberikan suaranya untuk masyarakatnya. Pendidikan politik untuknya –tanpa terasa- sudah memasuki tahapan praktik. Ada doa yang teriring ketika menatapnya. Semoga Allah membimbingnya menatap realita kandidat, menatap realita proses pemilihan, menatap realita kemenangan dan menatap realita kekalahan. Semoga keberadaanku dan kebersamaanku dengannya membuat dia pintar melihat realita. Aamiin.
Tulisan ini adalah sebagian hasilku membaca sebuah fakta yang terpampang di hadapanku.
Sebuah penghelatan politik sedang digelar di kampungku. Pilurdes. Pemilihan Lurah Desa. Gegap gempitanya sudah terasa sejak beberapa bulan terakhir. Puncaknya, pada hari itu. Hari pencoblosan. Hari itu semuanya mencapai titik kulminasi. Lobby, pendekatan, gerilya, politik uang, efektivitas jaringan, hasrat, gairah, ketegangan, dan segenap pernak-pernik penghelatan politik menghiasi kampong kami. Kami bagian dari mereka. Kami adalah mereka.
Sebagai ketua di TPS, aku lebih sibuk soal pernak-pernik pelayanan masyarakat yang akan menyalurkan suaranya daripada menemaninya menentukan pilihan. Aku disibukkan dengan aktivitas meneliti DPT, mengundang masyarakat, rapat panitia, menyusun jadwal, meneliti ketentuan-ketentuan yang terkait pemilihan, mengatur anggaran, pengadaan konsumsi, tender sounds system, menata TPS, mengamankan alat pemilihan, berkoordinasi dengan elemen pengawas dan elemen pengamanan, menandatangani kertas suara, memutuskan beberapa hal di wilayah abu-abu, dan akhirnya menghitung perolehan suara dan melaporkan ke kelurahan. Alhamdulillah, Allah ijinkan aku terlibat dalam penghelatan itu dan merasakan perasaan ketika melayani dan mendidik masyarakat.
Sebagai seorang yang memiliki gagasan, aku juga tak bisa lepas dari menimang dan menilai kandidat. Komunikasi itu cukup intensif. Aku memang memilih untuk tidak masuk dalam kubu manapun. Tapi bukan berarti aku tidak bekomunikasi dengan kandidat. Komunikasi antara aku dan kandidat itu adalah kebutuhan kami, kebutuhanku dan kebutuhan kandidat.
Dua aktivitasku itu relative jauh dari telinga anak-anak. Soal pernik TPS, aku lebih memilih menelan semuanya dan tak mengeluarkannya di hadapan istri dan anak-anak. Aku lebih suka bertanya soal aktivitas senam istriku daripada cerita soal rapat-rapat itu. Soal komunikasi dengan para kandidat, aku kerap mengkomunikasikan dengan istri meski itu kerap satu arah. Istriku lebih sering diam dan menanggapi dalam porsi yang aku suka. Tapi jarang aku membicarakan dua hal itu dengan anak-anak. Apalagi, saat-saat itu bersamaan dengan saat anank-anak sedang berkonsentrasi soal sekolah mereka. Jadi, anak-anak cukup jauh dari tema politik ini. Aku hanya memastikan bahwa mereka bisa berkonsultasi dengan bapaknya soal sekolah mereka.
Maka, jadilah aku hidup dalam sekian kotak persoalan. Aku temani si sulung menyelesaikan SMAnya dan menemaninya memilih tempat belajar selanjutnya. Aku temani anak-anak yang sedang ujian kenaikan kelas. Aku temani mereka yang lulus sekolah dan ikut merayakan keberhasilan mereka.mungkin karena soal suasananya sedang seperti itu, aku jadi tidak banyak mengajak si sulung berbicara politik.
Anak-anak tahu bahwa politik adalah fakta. Kepemimpinan adalah realitas. Dan pemilihannya adalah sebuah proses dengan berjuta wajah. Wajah pemilihan adalah wajah masyarakat. Wajah pemilihan adalah wajah bersama dari keluarga di komunitas ini. Kerakusan, ambisi, prakmatisme dan segenap warna proses pemilihan adalah sebagian wajah bersama dari keluarga di komunitas kami. Anak-anak tahu bahwa bapak dan ibunya adalah mereka yang care soal kepemimpinan masyarakat. Anak-anak tahu mereka untuk masyarakat dan bahwa mereka bersabar menghadapi semuanya. Anak-anak tahu bahwa politik adalah sebagian dari realitas.
Aku baru sadar ketika aku harus menuliskan dua nama anak-anak di lembar undangan pencoblosan. Allah…. Anak-anakku sudah dewasa. Dia sudah menentukan wajah dari masyarakatnya. Dia yang dulu memegang erat ujung kemejaku ketika aku ke bilik suara, besok sudah akan melangkah ke bilik tanpa aku boleh mengintervensinya. Ini saat yang tepat untuk menunjukkan perbedaan dengan orang tuanya. Allah,.,. Tanggung jawab ini serasa sangat berat.
Maka, di kesempatan ba’da magrib, ketika semuanya sudah sholat dan tilawah, aku duduk di ‘singgasanaku’. Istriku duduk diseberangku berbatas meja bundar kuno kecil kami. Anak-anak membaca buku sambil bergeletakan di lantai. Aku letakkan bukuku dan meminta anak-anak bercerita soal realitas politik yang mereka saksikan. Menarik. Cara pandang mereka khas di usianya. Boleh jadi, bagi si kecil, politik itu adalah makan-makan dan pesta-pesta, sedangkan bagi gadisku, politik menjadi sesuatu yang lebih bermakna.
Menyadari bahwa, pendidikan politik kepada anak-anak seharusnya sudah memasuki wilayah praktik, aku agak serius soal politik. Kepada mereka yang akan memilih, aku sampaikan bahwa pemilih yang baik adalah mereka yang memahami realitas dan memiliki idealitas yang kokoh. Kepemimpinan itu realitas manusia sebagai makhluk social. Politik adalah realitas. Kandidat adalah realitas kemanusiaan. Dan proses pemilihan adalah realitas. Bukan tak ada hal ideal soal kepemimpinan, soal politik, soal kandidat, dan soal proses pemilihan. Tapi –sekali lagi- aku ajarkan bahwa pemilih yang baik adalah mereka yang memahami realitas dan memiliki idealitas yang kokoh.
Aku –dengan sadar- ingin membentuk kesadaran jangka panjang pada para pemilih pemula ini. Pilihannya harus pilihan yang berawal dari pemahaman soal realita dan idealita. Sama dan bedanya pilihan antara bapak dan anak itu adalah hasil darisama atau bedanya bapak anak menatap realita dan idealita. Bapaknya tak akan lama lagi bersamanya. Jalannya masih akan panjang. Maka mengajarkan kepintaran menatap realita dan idealita adalah jauh lebih penting dari mendekte dan mendoktrin.
Maka, aku cuma mendengar dan tak berkomentar ketika si sulung sudah menyelesaikan haknya. Apresiasinya terhadap berbagai cara elemen masyarakat menatap penghelatan itu, hampir tak aku komentari. ‘Nduk, itulah realitas. Kamu harus bersabar dengan realita agar engkau disayang Allah..’.
Pendidikan politik itu bukan mendektekan soal politik kepada mereka. Pendidikan politik bukan memintanya mencoblos atau menyuruhnya tidak mencoblos. Pendidikan politik itu bukan menyuruhnya memilih fulan atau melarang memilih fulan. Pendidikan politik itu bukan menjadikan mereka alat politik. Pendidikan politik itu mengajari mereka menatap realitas dan mengokohkan idealita mereka. Semoga dengannya Allah ijinkan mereka pintar, kokoh, dan sabar menatap realitas dan memperjuangkan ide, gagasan dan dakwah.
Penutup
Kemudian terbayang dengan kuat bagaimana perasaan para nabi yang menyaksikan anak mereka berbeda dan memusuhi mereka. Terbayang bagaimana perasaan para tokoh diuji dengan anaknya. Terbayang dengan lebih kuat semua itu.
‘Can, Allah ijinkan kita cukup kokoh membangun ini semua. Tidak ada pihak yang diijinkan Allah memasuki rumah ini dengan niatan mengajak bersekongkol dalam urusan ini. Allah buat kita tampak berkecukupan sehingga mereka tak melecehkan kita. Allah buat kita sempat menyajikan ide dan gagasan kita. Allah jaga rumah ini dari broker jahat, penjahat politik, dan semacamnya. Kamu harus bersyukur dengan itu, semoga dengan itu semua, anak-anak jadi pintar, kokoh, dan sabar menatap realitas dan memperjuangkan ide mereka kelak.’, kataku pada istriku sambil menyemir sepatuku di pagi hari. Dia diam lagi.
Aku memang menatap lekat si sulung ketika dia memanfaatkan hak suaranya untuk pertama kalinya di bilik suara. Pendidikan politik untuknya –tanpa terasa- sudah memasuki tahapan praktik. Memang telah mengalir doa ketika menatapnya. Semoga keberadaanku dan kebersamaanku dengannya membuat dia pintar melihat realita. Aamiin..
Tulisan ini adalah sebagian hasilku membaca sebuah fakta yang terpampang di hadapanku.
Pendidikan Politik
Sebuah penghelatan politik sedang digelar di kampungku. Pilurdes. Pemilihan Lurah Desa. Gegap gempitanya sudah terasa sejak beberapa bulan terakhir. Puncaknya, pada hari itu. Hari pencoblosan. Hari itu semuanya mencapai titik kulminasi. Lobby, pendekatan, gerilya, politik uang, efektivitas jaringan, hasrat, gairah, ketegangan, dan segenap pernak-pernik penghelatan politik menghiasi kampong kami. Kami bagian dari mereka. Kami adalah mereka.
Sebagai ketua di TPS, aku lebih sibuk soal pernak-pernik pelayanan masyarakat yang akan menyalurkan suaranya daripada menemaninya menentukan pilihan. Aku disibukkan dengan aktivitas meneliti DPT, mengundang masyarakat, rapat panitia, menyusun jadwal, meneliti ketentuan-ketentuan yang terkait pemilihan, mengatur anggaran, pengadaan konsumsi, tender sounds system, menata TPS, mengamankan alat pemilihan, berkoordinasi dengan elemen pengawas dan elemen pengamanan, menandatangani kertas suara, memutuskan beberapa hal di wilayah abu-abu, dan akhirnya menghitung perolehan suara dan melaporkan ke kelurahan. Alhamdulillah, Allah ijinkan aku terlibat dalam penghelatan itu dan merasakan perasaan ketika melayani dan mendidik masyarakat.
Sebagai seorang yang memiliki gagasan, aku juga tak bisa lepas dari menimang dan menilai kandidat. Komunikasi itu cukup intensif. Aku memang memilih untuk tidak masuk dalam kubu manapun. Tapi bukan berarti aku tidak bekomunikasi dengan kandidat. Komunikasi antara aku dan kandidat itu adalah kebutuhan kami, kebutuhanku dan kebutuhan kandidat.
Dua aktivitasku itu relative jauh dari telinga anak-anak. Soal pernik TPS, aku lebih memilih menelan semuanya dan tak mengeluarkannya di hadapan istri dan anak-anak. Aku lebih suka bertanya soal aktivitas senam istriku daripada cerita soal rapat-rapat itu. Soal komunikasi dengan para kandidat, aku kerap mengkomunikasikan dengan istri meski itu kerap satu arah. Istriku lebih sering diam dan menanggapi dalam porsi yang aku suka. Tapi jarang aku membicarakan dua hal itu dengan anak-anak. Apalagi, saat-saat itu bersamaan dengan saat anank-anak sedang berkonsentrasi soal sekolah mereka. Jadi, anak-anak cukup jauh dari tema politik ini. Aku hanya memastikan bahwa mereka bisa berkonsultasi dengan bapaknya soal sekolah mereka.
Maka, jadilah aku hidup dalam sekian kotak persoalan. Aku temani si sulung menyelesaikan SMAnya dan menemaninya memilih tempat belajar selanjutnya. Aku temani anak-anak yang sedang ujian kenaikan kelas. Aku temani mereka yang lulus sekolah dan ikut merayakan keberhasilan mereka.mungkin karena soal suasananya sedang seperti itu, aku jadi tidak banyak mengajak si sulung berbicara politik.
Anak-anak tahu bahwa politik adalah fakta. Kepemimpinan adalah realitas. Dan pemilihannya adalah sebuah proses dengan berjuta wajah. Wajah pemilihan adalah wajah masyarakat. Wajah pemilihan adalah wajah bersama dari keluarga di komunitas ini. Kerakusan, ambisi, prakmatisme dan segenap warna proses pemilihan adalah sebagian wajah bersama dari keluarga di komunitas kami. Anak-anak tahu bahwa bapak dan ibunya adalah mereka yang care soal kepemimpinan masyarakat. Anak-anak tahu mereka untuk masyarakat dan bahwa mereka bersabar menghadapi semuanya. Anak-anak tahu bahwa politik adalah sebagian dari realitas.
Aku baru sadar ketika aku harus menuliskan dua nama anak-anak di lembar undangan pencoblosan. Allah…. Anak-anakku sudah dewasa. Dia sudah menentukan wajah dari masyarakatnya. Dia yang dulu memegang erat ujung kemejaku ketika aku ke bilik suara, besok sudah akan melangkah ke bilik tanpa aku boleh mengintervensinya. Ini saat yang tepat untuk menunjukkan perbedaan dengan orang tuanya. Allah,.,. Tanggung jawab ini serasa sangat berat.
Maka, di kesempatan ba’da magrib, ketika semuanya sudah sholat dan tilawah, aku duduk di ‘singgasanaku’. Istriku duduk diseberangku berbatas meja bundar kuno kecil kami. Anak-anak membaca buku sambil bergeletakan di lantai. Aku letakkan bukuku dan meminta anak-anak bercerita soal realitas politik yang mereka saksikan. Menarik. Cara pandang mereka khas di usianya. Boleh jadi, bagi si kecil, politik itu adalah makan-makan dan pesta-pesta, sedangkan bagi gadisku, politik menjadi sesuatu yang lebih bermakna.
Menyadari bahwa, pendidikan politik kepada anak-anak seharusnya sudah memasuki wilayah praktik, aku agak serius soal politik. Kepada mereka yang akan memilih, aku sampaikan bahwa pemilih yang baik adalah mereka yang memahami realitas dan memiliki idealitas yang kokoh. Kepemimpinan itu realitas manusia sebagai makhluk social. Politik adalah realitas. Kandidat adalah realitas kemanusiaan. Dan proses pemilihan adalah realitas. Bukan tak ada hal ideal soal kepemimpinan, soal politik, soal kandidat, dan soal proses pemilihan. Tapi –sekali lagi- aku ajarkan bahwa pemilih yang baik adalah mereka yang memahami realitas dan memiliki idealitas yang kokoh.
Aku –dengan sadar- ingin membentuk kesadaran jangka panjang pada para pemilih pemula ini. Pilihannya harus pilihan yang berawal dari pemahaman soal realita dan idealita. Sama dan bedanya pilihan antara bapak dan anak itu adalah hasil darisama atau bedanya bapak anak menatap realita dan idealita. Bapaknya tak akan lama lagi bersamanya. Jalannya masih akan panjang. Maka mengajarkan kepintaran menatap realita dan idealita adalah jauh lebih penting dari mendekte dan mendoktrin.
Maka, aku cuma mendengar dan tak berkomentar ketika si sulung sudah menyelesaikan haknya. Apresiasinya terhadap berbagai cara elemen masyarakat menatap penghelatan itu, hampir tak aku komentari. ‘Nduk, itulah realitas. Kamu harus bersabar dengan realita agar engkau disayang Allah..’.
Pendidikan politik itu bukan mendektekan soal politik kepada mereka. Pendidikan politik bukan memintanya mencoblos atau menyuruhnya tidak mencoblos. Pendidikan politik itu bukan menyuruhnya memilih fulan atau melarang memilih fulan. Pendidikan politik itu bukan menjadikan mereka alat politik. Pendidikan politik itu mengajari mereka menatap realitas dan mengokohkan idealita mereka. Semoga dengannya Allah ijinkan mereka pintar, kokoh, dan sabar menatap realitas dan memperjuangkan ide, gagasan dan dakwah.
Penutup
Kemudian terbayang dengan kuat bagaimana perasaan para nabi yang menyaksikan anak mereka berbeda dan memusuhi mereka. Terbayang bagaimana perasaan para tokoh diuji dengan anaknya. Terbayang dengan lebih kuat semua itu.
‘Can, Allah ijinkan kita cukup kokoh membangun ini semua. Tidak ada pihak yang diijinkan Allah memasuki rumah ini dengan niatan mengajak bersekongkol dalam urusan ini. Allah buat kita tampak berkecukupan sehingga mereka tak melecehkan kita. Allah buat kita sempat menyajikan ide dan gagasan kita. Allah jaga rumah ini dari broker jahat, penjahat politik, dan semacamnya. Kamu harus bersyukur dengan itu, semoga dengan itu semua, anak-anak jadi pintar, kokoh, dan sabar menatap realitas dan memperjuangkan ide mereka kelak.’, kataku pada istriku sambil menyemir sepatuku di pagi hari. Dia diam lagi.
Aku memang menatap lekat si sulung ketika dia memanfaatkan hak suaranya untuk pertama kalinya di bilik suara. Pendidikan politik untuknya –tanpa terasa- sudah memasuki tahapan praktik. Memang telah mengalir doa ketika menatapnya. Semoga keberadaanku dan kebersamaanku dengannya membuat dia pintar melihat realita. Aamiin..
Nduk..
Bantul, 11 Juni 2012
____
catatan:
- Saya bersyukur sudah sempat menulis ini. Politik itu sebagaian dari realita. Dan sebagai sebuah realita, kita sangat mungkin tidak adil menatapnya.
- Menistakan semua aktivistas berpolitik itu sebodoh menjunjung tinggi aktivitas politik. Ia adalah realitas yang bisa diambil dan diletakkan sesuai dengan kebutuhan kebaikan.
- Tulisan ini dibuat ketika kemudian terbayang kesedihan para ortu karena berbeda dengan anaknya,.., Terngiang2 curhatan para bapak2 senior kita tentang perbedaan ide dan gagasan dengan anak2 mereka.
*http://www.facebook.com/notes/eko-novianto/pendidikan-politik-untuk-anak-anak/401911816522414