Kairo (ANTARA News) - Dr Mohamed Moursi, calon presiden dari Ikhwanul Muslimin, menang dalam pemilihan presiden Mesir yang hasilnya diumumkan Ahad (24/6).
Ketua Komisi Pemilihan Presiden, Farouk Soltan, pada Ahad petang waktu setempat mengumumkan bahwa Moursi meraih suara terbanyak mengalahkan saingan kuatnya, Ahmed Shafik, yang dikenal sebagai Capres loyalis mantan Presiden Hosni Mubarak.
"Moursi terpilih sebagai Presiden Republik Mesir," kata Soltan, dalam konferensi pers di Kairo.
Moursi dan Shafik bertarung dalam pemilihan tahap kedua pada 16 dan 17 Juni setelah meraih suara terbanyak dalam Pilpres tahap pertama pada 23 dan 24 Mei silam.
Dalam Pilpres tahap pertama juga Moursi bertengger di urutan pertama, baik untuk pemilih warga Mesir di luar negeri maupun di dalam negeri.
"Ini adalah kemenangan bagi semua bangsa Mesir, bukan hanya Ikhwanul Muslimin," kata Pemimpin Tertinggi (Irsyad) Ikhwanul Muslimin, Mohamed Badie, di tengah ribuan pendukung Ikhwanul Muslimin di Bundaran Tahrir, pusat kota Kairo, setelah pengumuman.
Kemenangan Moursi ini telah dipredikisi sebelumnya oleh media massa dan berbagai pemantau independen.
Sejak sepekan terakhir, Ikhwanul Muslimin didukung berbagai kelompok pro reformasi, "menduduki" Bundaran Tahrir, ikon revolusi Mesir di pusat kota Kairo untuk mengawal hasil pemilihan yang jujur.
Hasil Pilpres itu sendiri sedianya diumumkan pada Kamis (21/6), namun ditunda akibat banyaknya pengaduan dari kedua calon presiden ikhwal kecurangan pemilihan.
Penundaan pengumuman hasil Pilpres itu sempat menimbulkan spekulasi adanya upaya dari pihak berwenang untuk memenangkan Capres loyalis Mubarak.
Ketua Komisi Pilpres, Farouk Soltan, juga mengakui bahwa pihaknya difitnah dari berbagai pihak dengan tuduhan merekayasa hasil Pilpres.
"Kami semua (anggota Komisi Pilpres) ini hakim, dan dipercaya untuk mengemban amanah ini dengan menjunjung tinggi kejujuran dan suara hati nurani," kata Sultan, yang juga Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Pilpres ini dilakukan di tengah iklim politik setempat yang menghangat.
Kehangatan iklim politik itu timbul akibat pembubaran parlemen yang kontroversial lewat Keputusan Mahkamah Konstitusi pada 14 Mei lalu, atau hanya dua hari menjelang Pilpres.
Selain itu, Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF) mengeluarkan Maklumat Konstitusi Pelengkap yang dianggap sebagai penguatan kekuasaan SCAF dan pelucutan kekuasaan presiden.
SCAF, yang mengambil alih kekuasaan sejak Presiden Mubarak mengundurkan diri, dalam Maklumat Konstitusi Pelengkap itu, mengatur kekuasaan presiden, diantaranya presiden selaku Kepala Negara tidak boleh menyatakan perang terhadap negara lain tanpa persetujuan SCAF terlebih dahulu.
Konstitusi Pelengkap juga mengatur pengambilan sumpah presiden terpilih di depan Mahkamah Konstitusi.
Ikhwanul Muslimin didukung elemen pro reformasi menentang keras pembubaran parlemen dan Maklumat Konstitusi Pelengkap oleh SCAF tersebut.
Sebaliknya, Shafik mendukung semua langkah yang diambil SCAF termasuk pembubaran parlemen dan Maklumat Konstitusi Pelengkap.
Sehari menjelang pengumuman itu, Shafik untuk pertama kali mengerahkan ribuan massanya untuk pawai akbar di lapangan Makam Pahlawan Tak Dikenal di Distrik Madinet Nasr, Kairo Timur untuk menandingi pawai serupa di Bundaran Tahrir.
Penantian 84 tahun
Ikhwanul Muslimin akhirnya meraih kekuasaan tertinggi di Mesir setelah berjuang selama 84 tahun di negeri Seribu Menara itu.
Padahal, organisasi yang didirikan dai kesohor Mesir, Hassan Al Banna, pada 1928 itu dinyatakan sebagai organisasi terlarang di tiga era presiden, yaitu sejak Presiden Gamal Abdel Nasser yang berkuasa pada 1956-1970, berlanjut ke Presiden Anwar Saddat (1970-1981), hingga Presiden Hosni Mubarak (1981-2011).
Ikhwanul Muslimin belakangan mendapat momentum ketika dunia Arab dilanda "demam" Revolusi Musim Semi atau Arab Spring dengan tumbangnya rezim pimpinan Presiden Hosni Mubarak pada 11 Februari 2011 menyusul tumbangnya Presiden Tunisia, Zaine Abidin Ben Ali, sebulan sebelumnya.
Di era sebagai organisasi terlarang itu, banyak pemimpin Ikhwanul Muslimin dilaporkan disiksa dan dipenjara tanpa lewat pengadilan.
Bahkan, salah satu tokoh kharismatiknya, Sayed Qutub, dihukum gantung di era Presiden Abdel Nasser pada 1966 atas dakwaan usaha penggulingan pemerintah.
Alhasil, kini Ikhwanul Muslimin telah meraih posisi terhormat dalam kekuasaan, dan diharapkan dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Harapan itu kini berada di pundak akademisi lulusan Amerika Serikat itu. Moursi dilahirkan di desa Adwah, Provinsi Syarqiyah, bagian timur Mesir, pada 20 Agustus 1951 dari keluarga petani sederhana.
Seperti pemimpian Ikhwanul Muslimin lainnya, doktor bidang teknik material jebolan University of Southern California pada 1982 itu telah makan asam garam dalam perjuangan dengan keluar masuk penjara akibat keteguhan sikapnya.
Selain di dunia akademisi, Ketua Partai Kebebasan dan Keadilan, sayap politik Ikhwanul Muslimin, itu juga telah berpengalaman dalam politik sebagai anggota DPR di era Mubarak dalam Pemilu pada 2000 selaku juru bicara kubu Ikhwanul Muslimin di dewan legislatif.
Moursi memiliki seorang istri dan dikaruniai lima anak dan tiga cucu.
Kini dunia menanti kiprah organisasi Islam itu untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam mengelola pemerintahan yang produktif, bersih dan berwibawa.***
Editor: B Kunto Wibisono
*sumber: http://www.antaranews.com/berita/317979/organisasi-terlarang-mesir-itu-akhirnya-berkuasa
___________ posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia