Oleh Asma Nadia
*REPUBLIKA (Sabtu, 9/6/12, Resonansi)
___________ posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia
Orang tua adalah payung bagi anak-anak. Maka, bentangkanlah payung itu seluas mungkin agar anak-anak merasa teduh dan nyaman.
Wajahnya selalu cerah. Kata-katanya lantang dan bersemangat. Sementara, senyuman tak pernah lupa tersungging. Ya, memandang perempuan ramah yang dekat dan disukai anakanak itu selalu mengalirkan keriangan. Sungguh sesuai dengan profesinya sebagai guru taman bermain, pikir saya. Tetapi, keluhan sang suami suatu hari mengantar saya pada cerita berbeda.
“Saya tidak mengerti mengapa ia begitu mudah marah. Kasihan anak-anak yang tertekan karena sikap kasar ibunya.“ Hingga suatu kali saat pasangan tersebut bertengkar hebat, terlontar kalimat lelaki itu, “Berapa gaji Ibu sebagai guru taman bermain? Berapa pun saya akan bayar agar Ibu bisa riang di rumah dan disukai anak-anak!“
Kalimat terakhir memukul batin sang istri dan membawanya pada sebuah dialog panjang ketika kami akhirnya bertemu. Berbagai persoalan dan beban hidup, kelelahan, serta banyak hal telah menguras energi perempuan itu seolah tak bersisa, hingga “kenyamanan“ bagai menguap saat anak-anak berhadapan dengannya.
Fenomena serupa cukup banyak terjadi di masyarakat. Saya pun tak bersih dari kekhilafan itu. Orang tua yang sanggup bersikap profesional dalam profesinya, namun justru gagal saat berhadapan dengan anak-anaknya sendiri. Seorang customer service tak pernah kehabisan senyum. Bahkan, ketika berhadapan dengan pelanggan yang paling menyebalkan, ia akan berjuang untuk tetap menjaga kata-kata dan sikap sebagaimana layaknya seorang profesional.
Seorang entertainer sejati (penyanyi, pemain musik, komedian, dan lain-lain) walaupun sedang mengalami tekanan perasaan, akan tetap memberikan pertunjukan terbaik bagi penonton atau penggemarnya. Bersikap profesional bukan sekadar menjalankan tugas. Saat ini, istilah profesional sering dikaitkan dengan uang.
Padahal, yang membedakannya bukan terletak pada soal menerima imbalan materi atau tidak, tapi apakah hal itu diwujudkan--dalam bahasa sederhana--dengan tindakan dan juga dengan hati. Lalu, bagaimana membawa profesionalitas ini dalam kewajiban sebagai orang tua? Sudahkah kita menjadi orang tua yang sekalipun tidak mendapatkan bayaran secara materi, namun bersikap profesional?
Diam-diam saya mulai berhitung, berapa kali saya marah dalam sehari atau sepekan. Orang tua profesional bukan mereka yang tidak pernah marah namun mengerti kapan harus menunjukkan sikap tegas. Bukan semata-mata karena dorongan emosi melainkan ketika marah--dengan proporsi yang tepat--memang diperlukan sebagai pembelajaran.
Orang tua yang profesional tidak akan marah karena terbebani banyaknya pekerjaan kantor dan kesal karena menganggap orang rumah tidak bersikap toleransi, lalu dengan mudah menemukan alasan untuk meluapkannya. Sebaliknya, ayah-bunda profesional akan bersikap tegas dan berbuat semestinya saat anak melakukan tindakan yang dianggap kriminal atau melang gar norma sosial lainnya.
Sebab, tindak kriminal sekecil apa pun jelas memiliki konsekuensi hukum. Menjadi orang tua profesional berarti bersikap dan memberikan respons sebagaimana kebutuhan anak. Sekalipun ayah atau ibu memiliki karakter yang cenderung pasif, namun saat berhadapan dengan balita yang membutuhkan ekspresivitas maka orang tua akan mencari cara untuk bersikap ekspresif.
Profesional sebagai orang tua juga berarti selalu siap mendengar, berkomentar, dan mengapresiasi juga siap memberikan respons positif yang membangun kepercayaan diri anak. Seperti ketika ananda menunjukkan gambar sederhana mereka. Betapa pun lelah, ayah-bunda profesional akan menyulap wajah letih mereka menjadi antusias, lalu dengan nada paling bersemangat mengungkapkan betapa membang gakannya karya ananda.
Orang tua adalah payung bagi anak-anak. Maka, bentangkanlah payung itu seluas mungkin agar anak-anak merasa teduh dan nyaman. Tentu, memerlukan perjalanan panjang dan tidak mudah frustrasi untuk menjadi orang tua yang lebih profesional. Saya pun masih berjuang dan jauh dari sempurna. Tetapi, bintang di mata anak-anak, senyum, serta pelukan di leher yang mereka berikan semoga menjadi penyemangat bagi setiap kita untuk mempersembahkan cinta dan apresiasi sebaik mungkin hingga anak-anak merasa penting dan tak ragu bahwa mereka dicintai.[]
“Saya tidak mengerti mengapa ia begitu mudah marah. Kasihan anak-anak yang tertekan karena sikap kasar ibunya.“ Hingga suatu kali saat pasangan tersebut bertengkar hebat, terlontar kalimat lelaki itu, “Berapa gaji Ibu sebagai guru taman bermain? Berapa pun saya akan bayar agar Ibu bisa riang di rumah dan disukai anak-anak!“
Kalimat terakhir memukul batin sang istri dan membawanya pada sebuah dialog panjang ketika kami akhirnya bertemu. Berbagai persoalan dan beban hidup, kelelahan, serta banyak hal telah menguras energi perempuan itu seolah tak bersisa, hingga “kenyamanan“ bagai menguap saat anak-anak berhadapan dengannya.
Fenomena serupa cukup banyak terjadi di masyarakat. Saya pun tak bersih dari kekhilafan itu. Orang tua yang sanggup bersikap profesional dalam profesinya, namun justru gagal saat berhadapan dengan anak-anaknya sendiri. Seorang customer service tak pernah kehabisan senyum. Bahkan, ketika berhadapan dengan pelanggan yang paling menyebalkan, ia akan berjuang untuk tetap menjaga kata-kata dan sikap sebagaimana layaknya seorang profesional.
Seorang entertainer sejati (penyanyi, pemain musik, komedian, dan lain-lain) walaupun sedang mengalami tekanan perasaan, akan tetap memberikan pertunjukan terbaik bagi penonton atau penggemarnya. Bersikap profesional bukan sekadar menjalankan tugas. Saat ini, istilah profesional sering dikaitkan dengan uang.
Padahal, yang membedakannya bukan terletak pada soal menerima imbalan materi atau tidak, tapi apakah hal itu diwujudkan--dalam bahasa sederhana--dengan tindakan dan juga dengan hati. Lalu, bagaimana membawa profesionalitas ini dalam kewajiban sebagai orang tua? Sudahkah kita menjadi orang tua yang sekalipun tidak mendapatkan bayaran secara materi, namun bersikap profesional?
Diam-diam saya mulai berhitung, berapa kali saya marah dalam sehari atau sepekan. Orang tua profesional bukan mereka yang tidak pernah marah namun mengerti kapan harus menunjukkan sikap tegas. Bukan semata-mata karena dorongan emosi melainkan ketika marah--dengan proporsi yang tepat--memang diperlukan sebagai pembelajaran.
Orang tua yang profesional tidak akan marah karena terbebani banyaknya pekerjaan kantor dan kesal karena menganggap orang rumah tidak bersikap toleransi, lalu dengan mudah menemukan alasan untuk meluapkannya. Sebaliknya, ayah-bunda profesional akan bersikap tegas dan berbuat semestinya saat anak melakukan tindakan yang dianggap kriminal atau melang gar norma sosial lainnya.
Sebab, tindak kriminal sekecil apa pun jelas memiliki konsekuensi hukum. Menjadi orang tua profesional berarti bersikap dan memberikan respons sebagaimana kebutuhan anak. Sekalipun ayah atau ibu memiliki karakter yang cenderung pasif, namun saat berhadapan dengan balita yang membutuhkan ekspresivitas maka orang tua akan mencari cara untuk bersikap ekspresif.
Profesional sebagai orang tua juga berarti selalu siap mendengar, berkomentar, dan mengapresiasi juga siap memberikan respons positif yang membangun kepercayaan diri anak. Seperti ketika ananda menunjukkan gambar sederhana mereka. Betapa pun lelah, ayah-bunda profesional akan menyulap wajah letih mereka menjadi antusias, lalu dengan nada paling bersemangat mengungkapkan betapa membang gakannya karya ananda.
Orang tua adalah payung bagi anak-anak. Maka, bentangkanlah payung itu seluas mungkin agar anak-anak merasa teduh dan nyaman. Tentu, memerlukan perjalanan panjang dan tidak mudah frustrasi untuk menjadi orang tua yang lebih profesional. Saya pun masih berjuang dan jauh dari sempurna. Tetapi, bintang di mata anak-anak, senyum, serta pelukan di leher yang mereka berikan semoga menjadi penyemangat bagi setiap kita untuk mempersembahkan cinta dan apresiasi sebaik mungkin hingga anak-anak merasa penting dan tak ragu bahwa mereka dicintai.[]
*REPUBLIKA (Sabtu, 9/6/12, Resonansi)
___________ posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia