Pencalonan keluarga gubernur/bupati/wali kota incumbent sebagai penerus dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) akan dibatasi. Hal ini dinilai dapat mengikis praktik politik dinasti di daerah.
Klausul ini tertuang dalam Pasal 12 huruf (p) dan Pasal 70 huruf (p) mengenai peserta pemilihan dan persyaratan calon di draf RUU Pilkada usulan pemerintah. Pasal 12 ayat (p) berbunyi, “tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur, kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan.“
Sedangkan, pasal 70 ayat (p) berbunyi, “tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur dan bupati/wali kota kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan.“
Anggota Komisi II DPR dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Malik Haramain menyatakan, dukungannya terhadap usulan tersebut. Alasannya, pelarangan itu dapat mengikis politik oligarki atau dinasti. Serta, dapat mengantisipasi kemungkinan kepala daerah incumbent melakukan kecurangan.
“Karena sudah pasti kalau istri, suami, kakak, atau saudara dekatnya maju pasti tidak mungkin tidak mendukung. Pasti berpihak. Pasti terjadi (kecurangan) dan tak terhindarkan,“ ujar dia, Jumat (8/6).
Keberpihakan incumbent terhadap calon dari keluarga sendiri, lanjut dia, pasti bukan hanya dukungan. Incumbent bisa juga melakukan mobilisasi politik. Mulai dari jabatan, anggaran, program, dan politisasi PNS.
Ia berjanji akan memperjuangkan adanya pasal larangan tersebut. Apalagi, pada dasarnya usulan itu bukan untuk melarang. Melainkan, memberikan jeda waktu lima tahun (satu periode). Calon yang memang memiliki kedekatan kepala daerah pun diperbolehkan untuk maju di daerah lain.
Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso, juga menyatakan setuju dengan gagasan awal pemerintah yang membuat pelarangan bagi keluarga kepala daerah incumbent. “Misalnya, anak, orang tua, menantu, besan, dan seterusnya. Tujuannya baik karena di beberapa daerah kita menyaksikan jabatan menjadi hak turun menurun. Dalam situasi demokrasi semacam ini, perlu kita tata,“ katanya.
Usulan ini diminta diterapkan juga untuk pilpres
Priyo menyarankan agar usulan untuk menghadang politik dinasti di tingkat daerah itu juga diterapkan di tingkat nasional. Yaitu, dengan memasukkan substansi klausul yang sama di UU Pilpres yang akan dibahas di DPR dalam waktu dekat.
RUU ini Usulan Pemerintah
RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) memuat aturan soal keluarga incumbent untuk maju dalam pemilihan. Langkah itu dilakukan salah satunya guna memberikan ruang terbuka bagi demokrasi dan mencegah dinasti politik.
"Desain ini mampu menjamin suatu kompetisi dimana seorang kepala daerah tidak bisa memobilisasi jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan yang bersangkutan. Demikian pula halnya, desain ini mampu menciptakan suatu postur birokrasi yang netral sebagai akibat tidak adanya tekanan dari penguasa petahana (incumbent)," terang Mendagri Gamawan Fauzi, seperti disampaikan dalam siaran pers Puspen Kemendagri, Sabtu (9/6/2012).
Gamawan melanjutkan, pelaksanaan demokrasi secara universal identik dengan konsep persamaan derajat di dalam kompetisi politik yang bebas kecurangan (fairness) dan sesuai dengan aturan peraturan perundangan (rule of the law), namun demikian demokrasi yang tanpa proteksi atau tanpa diskriminasi positif atau biasa diistilahkan sebagai afirmasi kebijakan (affirmative action).
"Maka demokrasi yang demikian itu hanya akan terjebak dalam lingkaran liberalistis yang melanggengkan suatu kekuasaan yang memiliki kuasa atas sumber kekuatan politik maupun finansial. Sementara kekuasaan yang langgeng cenderung koruptif, kolutif dan nepotis negatif, sehingga tujuan demokrasi yang menjunjung tinggi kesetaraan dalam kompetisi menjadi tinggal slogan simbolik semata," jelasnya.
RUU Pemilihan Kepala Daerah merupakan derivasi dari UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dan kompetisi pemilihan kepala daerah yang dinamis dengan tetap mengaktualisasikan nilai-nilai kesetaraan, menjadi hal yang penting.
"Di mana perlu adanya pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah petahana," tutur Gamawan.
Klausul ini tertuang dalam Pasal 12 huruf (p) dan Pasal 70 huruf (p) mengenai peserta pemilihan dan persyaratan calon di draf RUU Pilkada usulan pemerintah. Pasal 12 ayat (p) berbunyi, “tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur, kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan.“
Sedangkan, pasal 70 ayat (p) berbunyi, “tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur dan bupati/wali kota kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan.“
Anggota Komisi II DPR dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Malik Haramain menyatakan, dukungannya terhadap usulan tersebut. Alasannya, pelarangan itu dapat mengikis politik oligarki atau dinasti. Serta, dapat mengantisipasi kemungkinan kepala daerah incumbent melakukan kecurangan.
“Karena sudah pasti kalau istri, suami, kakak, atau saudara dekatnya maju pasti tidak mungkin tidak mendukung. Pasti berpihak. Pasti terjadi (kecurangan) dan tak terhindarkan,“ ujar dia, Jumat (8/6).
Keberpihakan incumbent terhadap calon dari keluarga sendiri, lanjut dia, pasti bukan hanya dukungan. Incumbent bisa juga melakukan mobilisasi politik. Mulai dari jabatan, anggaran, program, dan politisasi PNS.
Ia berjanji akan memperjuangkan adanya pasal larangan tersebut. Apalagi, pada dasarnya usulan itu bukan untuk melarang. Melainkan, memberikan jeda waktu lima tahun (satu periode). Calon yang memang memiliki kedekatan kepala daerah pun diperbolehkan untuk maju di daerah lain.
Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso, juga menyatakan setuju dengan gagasan awal pemerintah yang membuat pelarangan bagi keluarga kepala daerah incumbent. “Misalnya, anak, orang tua, menantu, besan, dan seterusnya. Tujuannya baik karena di beberapa daerah kita menyaksikan jabatan menjadi hak turun menurun. Dalam situasi demokrasi semacam ini, perlu kita tata,“ katanya.
Usulan ini diminta diterapkan juga untuk pilpres
Priyo menyarankan agar usulan untuk menghadang politik dinasti di tingkat daerah itu juga diterapkan di tingkat nasional. Yaitu, dengan memasukkan substansi klausul yang sama di UU Pilpres yang akan dibahas di DPR dalam waktu dekat.
RUU ini Usulan Pemerintah
RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) memuat aturan soal keluarga incumbent untuk maju dalam pemilihan. Langkah itu dilakukan salah satunya guna memberikan ruang terbuka bagi demokrasi dan mencegah dinasti politik.
"Desain ini mampu menjamin suatu kompetisi dimana seorang kepala daerah tidak bisa memobilisasi jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan yang bersangkutan. Demikian pula halnya, desain ini mampu menciptakan suatu postur birokrasi yang netral sebagai akibat tidak adanya tekanan dari penguasa petahana (incumbent)," terang Mendagri Gamawan Fauzi, seperti disampaikan dalam siaran pers Puspen Kemendagri, Sabtu (9/6/2012).
Gamawan melanjutkan, pelaksanaan demokrasi secara universal identik dengan konsep persamaan derajat di dalam kompetisi politik yang bebas kecurangan (fairness) dan sesuai dengan aturan peraturan perundangan (rule of the law), namun demikian demokrasi yang tanpa proteksi atau tanpa diskriminasi positif atau biasa diistilahkan sebagai afirmasi kebijakan (affirmative action).
"Maka demokrasi yang demikian itu hanya akan terjebak dalam lingkaran liberalistis yang melanggengkan suatu kekuasaan yang memiliki kuasa atas sumber kekuatan politik maupun finansial. Sementara kekuasaan yang langgeng cenderung koruptif, kolutif dan nepotis negatif, sehingga tujuan demokrasi yang menjunjung tinggi kesetaraan dalam kompetisi menjadi tinggal slogan simbolik semata," jelasnya.
RUU Pemilihan Kepala Daerah merupakan derivasi dari UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dan kompetisi pemilihan kepala daerah yang dinamis dengan tetap mengaktualisasikan nilai-nilai kesetaraan, menjadi hal yang penting.
"Di mana perlu adanya pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah petahana," tutur Gamawan.
___________ posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia