Oleh MUHAMMADUN
Peneliti Lajnah Ta'lif wan Nasyr PWNU Yogyakarta
*REPUBLIKA (6/6/12 Kolom OPINI)
___________ posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia
Peneliti Lajnah Ta'lif wan Nasyr PWNU Yogyakarta
Rabu, 16 Rajab 1433 H, bertepatan dengan 6 Juni 2012, Nahdlatul Ulama (NU) berusia 89 tahun. Peringatan hari ulang tahun dengan kalender Hijriah ini merupakan amanat muktamar di Makassar pada 2010. Amanat ini bermakna agar NU kembali kepada jati diri perjuangannya, yakni sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang berjuang sepenuhnya untuk kebaikan dan kesejahteraan publik.
Semangat itulah yang diusung para pendiri NU agar kader-kader NU masa kini semakin teguh berjuang untuk bangsa Indonesia. Salah satu pendiri NU, KH Abdul Wahab Hasbullah, yang rumahnya di Surabaya menjadi tempat lahirnya NU. Ia pernah berujar, “Hidup-hidupilah NU, jangan numpang hidup di NU.“
Saat kelahirannya dulu, NU menghadapi dua hal, globalisasi Wahabi dan globalisasi imperialisme fisik Barat ke negara-negara dunia ketiga, termasuk nusantara. Kini, NU juga menghadapi dua tantangan sekaligus, globalisasi Islam radikal dan globalisasi neoliberal. Keduanya akan menggerus nasib NU ke depan, bahkan bisa mengempaskan NU menjadi butiran-butiran pasir yang berceceran bila tidak direspons secara baik.
Pada usianya menjelang seabad ini, NU sudah cukup dewasa untuk memetik hikmah perjalanannya meniti kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka merealisasikan misi Islam sebagai rahmat bagi semesta. Menurut KH Ali Maksum (Rais Aam PBNU tahun 1982-1984), pelajaran yang bisa dipetik NU untuk kembali kepada jati dirinya ada tiga hal. Pertama, NU harus banyak belajar dari sejarah hidupnya.
Kedua, NU harus labih dewasa, arif, dan bijak. Sikap arif dapat timbul dari kelembutan pikiran dalam mencerna dan memahami serta menghayati berba gai pengetahuan dan pengalaman. Sedangkan, kebijakan dapat muncul karena keluhuran budi dalam menentukan sikap yang dilandasi sifat arif tersebut. Ketiga, NU harus memikirkan masalah regenerasi, baik secara fisik maupun secara aspiratif. Secara fisik, NU harus mulai berani menampilkan tenaga/pengurus baru dari kalangan kaum muda. Sedangkan, secara aspiratif, NU harus mampu tidak hanya mentransfer nilainilai luhur dalam kehidupan, tetapi juga harus mampu membuat terobosan.
Ketiga hal yang diuraikan KH Ali Maksum ini sangat tepat untuk meneguhkan jati diri NU yang dirumuskan Gus Dur pada Muktamar NU di Situbon do pada 1984. Ada empat jati diri NU versi Gus Dur yang kemudian disepakati para kiai, yakni ukhuwah nahdliyyah atau persaudaraan sesama NU, ukhuwah Islamiah atau persaudaraan sesama Islam, ukhuwah basyariah atau persaudaraan sesama bangsa, dan ukhuwah insaniah atau persaudaraan sesama manusia.
Kepemimpinan ulama
Para pendiri NU melihat bahwa keteguhan NU menjaga jati diri sesungguhnya terletak pada kepemimpinan ulama. Sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan, NU merupakan pengejawantahan dari ide para ulama. Di NU, ulama tidak hanya dijadikan sebagai simbol, tetapi juga memiliki posisi dan tanggung jawab yang tertinggi. Segala keputusan yang dikeluarkan NU menjadi tanggung jawab dan berada di pundak mereka.
Jejak sejarah membuktikan bahwa peran ulama memegang jati diri keNU-an. Berkali-kali NU terjebak dalam kubangan konflik, tetapi karena kembali kepada ulama, semuanya selesai dengan damai. Sebut saja, misalnya, konflik yang terjadi antara KH As'ad Syamsul Arifin dan KH Idham Khalid yang waktu itu dikenal dengan perseteruan antara kubu Situbondo dan kubu Cipete (1984). Kemudian, konflik antara KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Abu Hasan (Cipasung, 1994). Gus Dur dengan kelompok Matori Abdul Djalil (2001) di mana beberapa ulama penting NU di belakang Matori. Gus Dur dengan KH Syukron Makmun, KH Yusuf Hasyim, dan riakkonflik ulama NU lainnya.
Para kiai sudah belajar berkonflik lewat sejarah nenek moyangnya. Sejak zaman wali sanga pun, konflik seperti itu pernah terjadi. Bahkan, sejarah Islam telah mencatat bahwa jenazah Muhammad SAW baru dimakamkan tiga hari setelah wafatnya karena para sahabat justru sibuk membahas posisi khalifah pengganti Nabi. Pada era wali sanga, sejarah telah mencatat pula terjadinya konflik yang “fenomenal“ antara wali sanga (yang mementingkan syariat) dengan kelompok Syekh Siti Jenar (yang mengutamakan hakikat).
Konflik-konflik itu tak membawa keretakan di tubuh NU karena perbedaan pendapat sudah diajarkan kepada santri sejak masih tingkat dasar. Perbedaan yang dipandu dengan cahaya para ulama itulah yang tetap membuat NU kukuh dengan jati diri perjuangannya. Jejak-jejak masa silam itulah yang perlu diketahui bersama generasi masa kini sehingga kala terjadi konflik, tetap bersatu menjaga NU dan NKRI.[]
Semangat itulah yang diusung para pendiri NU agar kader-kader NU masa kini semakin teguh berjuang untuk bangsa Indonesia. Salah satu pendiri NU, KH Abdul Wahab Hasbullah, yang rumahnya di Surabaya menjadi tempat lahirnya NU. Ia pernah berujar, “Hidup-hidupilah NU, jangan numpang hidup di NU.“
Saat kelahirannya dulu, NU menghadapi dua hal, globalisasi Wahabi dan globalisasi imperialisme fisik Barat ke negara-negara dunia ketiga, termasuk nusantara. Kini, NU juga menghadapi dua tantangan sekaligus, globalisasi Islam radikal dan globalisasi neoliberal. Keduanya akan menggerus nasib NU ke depan, bahkan bisa mengempaskan NU menjadi butiran-butiran pasir yang berceceran bila tidak direspons secara baik.
Pada usianya menjelang seabad ini, NU sudah cukup dewasa untuk memetik hikmah perjalanannya meniti kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka merealisasikan misi Islam sebagai rahmat bagi semesta. Menurut KH Ali Maksum (Rais Aam PBNU tahun 1982-1984), pelajaran yang bisa dipetik NU untuk kembali kepada jati dirinya ada tiga hal. Pertama, NU harus banyak belajar dari sejarah hidupnya.
Kedua, NU harus labih dewasa, arif, dan bijak. Sikap arif dapat timbul dari kelembutan pikiran dalam mencerna dan memahami serta menghayati berba gai pengetahuan dan pengalaman. Sedangkan, kebijakan dapat muncul karena keluhuran budi dalam menentukan sikap yang dilandasi sifat arif tersebut. Ketiga, NU harus memikirkan masalah regenerasi, baik secara fisik maupun secara aspiratif. Secara fisik, NU harus mulai berani menampilkan tenaga/pengurus baru dari kalangan kaum muda. Sedangkan, secara aspiratif, NU harus mampu tidak hanya mentransfer nilainilai luhur dalam kehidupan, tetapi juga harus mampu membuat terobosan.
Ketiga hal yang diuraikan KH Ali Maksum ini sangat tepat untuk meneguhkan jati diri NU yang dirumuskan Gus Dur pada Muktamar NU di Situbon do pada 1984. Ada empat jati diri NU versi Gus Dur yang kemudian disepakati para kiai, yakni ukhuwah nahdliyyah atau persaudaraan sesama NU, ukhuwah Islamiah atau persaudaraan sesama Islam, ukhuwah basyariah atau persaudaraan sesama bangsa, dan ukhuwah insaniah atau persaudaraan sesama manusia.
Kepemimpinan ulama
Para pendiri NU melihat bahwa keteguhan NU menjaga jati diri sesungguhnya terletak pada kepemimpinan ulama. Sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan, NU merupakan pengejawantahan dari ide para ulama. Di NU, ulama tidak hanya dijadikan sebagai simbol, tetapi juga memiliki posisi dan tanggung jawab yang tertinggi. Segala keputusan yang dikeluarkan NU menjadi tanggung jawab dan berada di pundak mereka.
Jejak sejarah membuktikan bahwa peran ulama memegang jati diri keNU-an. Berkali-kali NU terjebak dalam kubangan konflik, tetapi karena kembali kepada ulama, semuanya selesai dengan damai. Sebut saja, misalnya, konflik yang terjadi antara KH As'ad Syamsul Arifin dan KH Idham Khalid yang waktu itu dikenal dengan perseteruan antara kubu Situbondo dan kubu Cipete (1984). Kemudian, konflik antara KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Abu Hasan (Cipasung, 1994). Gus Dur dengan kelompok Matori Abdul Djalil (2001) di mana beberapa ulama penting NU di belakang Matori. Gus Dur dengan KH Syukron Makmun, KH Yusuf Hasyim, dan riakkonflik ulama NU lainnya.
Para kiai sudah belajar berkonflik lewat sejarah nenek moyangnya. Sejak zaman wali sanga pun, konflik seperti itu pernah terjadi. Bahkan, sejarah Islam telah mencatat bahwa jenazah Muhammad SAW baru dimakamkan tiga hari setelah wafatnya karena para sahabat justru sibuk membahas posisi khalifah pengganti Nabi. Pada era wali sanga, sejarah telah mencatat pula terjadinya konflik yang “fenomenal“ antara wali sanga (yang mementingkan syariat) dengan kelompok Syekh Siti Jenar (yang mengutamakan hakikat).
Konflik-konflik itu tak membawa keretakan di tubuh NU karena perbedaan pendapat sudah diajarkan kepada santri sejak masih tingkat dasar. Perbedaan yang dipandu dengan cahaya para ulama itulah yang tetap membuat NU kukuh dengan jati diri perjuangannya. Jejak-jejak masa silam itulah yang perlu diketahui bersama generasi masa kini sehingga kala terjadi konflik, tetap bersatu menjaga NU dan NKRI.[]
*REPUBLIKA (6/6/12 Kolom OPINI)
___________ posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia