Oleh Asma Nadia
*REPUBLIKA (26/5/12)
___________ posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia
Masih adakah orang jujur di negeri ini? Maafkan jika awalnya saya merasa pesimistis. Betapa tidak, saya berpijak di negeri di mana praktik korupsi dan kolusi marak serta hukum yang konon bisa dipermainkan. Istilah mencari jarum dalam tumpukan jerami mungkin masih lebih mudah ketimbang menemukan sosok jujur dan penuh integritas di Tanah Air.
Namun, pertemuan dengan sejumlah orang memaksa saya berpikir ulang. Sebuah workshop kepenulisan, sebenarnya ini merupakan pertemuan kedua kami. Pesertanya adalah staf Ditjen Pajak, yang sejauh ini telah menerbitkan dua buah buku yang mengisahkan ragam tantangan, godaan, serta peluang untuk berbuat godaan, serta peluang untuk berbuat tidak benar, yang dihadapi.
Pendeknya semua catatan hati para pegawai pajak yang mati-matian berjuang menegakkan nurani untuk menghindari korupsi. “Seharusnya, Ditjen Pajak menjadi Robinhood, yang mengambil sebagian dari kekayaan masyarakat mampu--tetapi dengan cara yang benar--lalu dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak.“ Perumpamaan menarik, pikir saya terhadap kalimat salah satu peserta workshop.
Propaganda? Saya tidak menya Propaganda? Saya tidak menyalahkan jika ada yang berpikir demikian. Seperti pembuka tulisan ini, kadang sulit untuk menerima kenyataan bahwa bagaimanapun kejujuran masih bisa dikenali di negeri ini. Istilah bad news is a good news, turut memberi andil dalam pemaparan lebih banyak berita buruk, yang saking dieksploitasi sedemikian rupa, kadang nyaris tak menyisakan jejak kebaikan.
Tidak salah, sebab keburukan wajib diberitakan agar ada langkah perbaikan dan pengawasan dari publik. Tapi, hal-hal baik juga harus diangkat secara proporsional. Supaya masyarakat tidak melulu akrab dengan perwakilan keburukan, seperti para koruptor, hingga ketika dimunculkan figur yang jujur, sulit menerimanya tanpa prasangka.
Pertemuan dengan sejumlah peserta workshop--yang ingin belajar menulis dalam ikhtiar mensyiarkan kejujuran itu--menggugah hati saya. Antusiasme mereka untuk menebalkan semangat perjuangan demi Indonesia yang lebih baik dan bermartabat--terasa menular. Pelanpelan rasa optimisme terhadap keberadaan pribadi-pribadi jujur di Tanah Air yang awalnya meredup, lalu menyala kembali.
Pada akhirnya saya tahu, tidak boleh kehilangan kepercayaan terhadap keberadaan orang-orang yang memegang teguh kejujuran. Khususnya setelah pertemuan dengan sejumlah staf dari instansi pemerintah yang konon termasuk `paling basah' itu. Sosok panutan terkait kejujuran kemudian juga saya jumpai di Departemen Kehakiman, kepolisian, jaksa, dan di berbagai lembaga pemerintahan lain. baga pemerintahan lain.
Teringat kisah salah satu alumni workshop ketika bukunya, Pergi Haji dengan Rp 100, terbit. Saat judul ini saya lontarkan banyak yang tidak percaya. Bagaimana mungkin sese orang bisa pergi haji dengan uang seratus rupiah? Tetapi, ini kisah nyata seorang pegawai negeri yang gajinya pas-pasan sehingga, bahkan perjalanan mimpi ke Tanah Suci, harus dimulai dengan menabung keping demi keping uang seratus rupiah.
Tapi, bukan hanya itu yang me narik, melainkan kenyataan bahwa narik, melainkan kenyataan bahwa penulis adalah pegawai Kementerian Keuangan. Dengan embel-embel demikian di mata awam, bukankah seharusnya mudah saja baginya untuk mendapatkan pemasukan sampingan di luar gaji? Karenanya, saya bersyukur sang pegawai negeri--yang tahun lalu akhirnya berhaji bersama istri--kemudian menulis perjuangannya yang sangat mungkin menginspirasi orang lain.
Mengabadikan semangat kebaikan lewat tulisan. Ya, mengapa tidak? Mungkin dengan demikian, kita bisa mengubah warna negeri yang pucat. Mengabarkan optimisme akan adanya sosok-sosok jujur di Tanah Air. Masih banyaknya pribadi baik. Hanya saja, banyak di antara mereka yang diam atau luput dari pandangan.
Dan tulisan, adalah satu media berjuang untuk meluruskan hal-hal yang menyimpang serta memopulerkan semangat dan jejak kebaikan.[]
Namun, pertemuan dengan sejumlah orang memaksa saya berpikir ulang. Sebuah workshop kepenulisan, sebenarnya ini merupakan pertemuan kedua kami. Pesertanya adalah staf Ditjen Pajak, yang sejauh ini telah menerbitkan dua buah buku yang mengisahkan ragam tantangan, godaan, serta peluang untuk berbuat godaan, serta peluang untuk berbuat tidak benar, yang dihadapi.
Pendeknya semua catatan hati para pegawai pajak yang mati-matian berjuang menegakkan nurani untuk menghindari korupsi. “Seharusnya, Ditjen Pajak menjadi Robinhood, yang mengambil sebagian dari kekayaan masyarakat mampu--tetapi dengan cara yang benar--lalu dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak.“ Perumpamaan menarik, pikir saya terhadap kalimat salah satu peserta workshop.
Propaganda? Saya tidak menya Propaganda? Saya tidak menyalahkan jika ada yang berpikir demikian. Seperti pembuka tulisan ini, kadang sulit untuk menerima kenyataan bahwa bagaimanapun kejujuran masih bisa dikenali di negeri ini. Istilah bad news is a good news, turut memberi andil dalam pemaparan lebih banyak berita buruk, yang saking dieksploitasi sedemikian rupa, kadang nyaris tak menyisakan jejak kebaikan.
Tidak salah, sebab keburukan wajib diberitakan agar ada langkah perbaikan dan pengawasan dari publik. Tapi, hal-hal baik juga harus diangkat secara proporsional. Supaya masyarakat tidak melulu akrab dengan perwakilan keburukan, seperti para koruptor, hingga ketika dimunculkan figur yang jujur, sulit menerimanya tanpa prasangka.
Pertemuan dengan sejumlah peserta workshop--yang ingin belajar menulis dalam ikhtiar mensyiarkan kejujuran itu--menggugah hati saya. Antusiasme mereka untuk menebalkan semangat perjuangan demi Indonesia yang lebih baik dan bermartabat--terasa menular. Pelanpelan rasa optimisme terhadap keberadaan pribadi-pribadi jujur di Tanah Air yang awalnya meredup, lalu menyala kembali.
Pada akhirnya saya tahu, tidak boleh kehilangan kepercayaan terhadap keberadaan orang-orang yang memegang teguh kejujuran. Khususnya setelah pertemuan dengan sejumlah staf dari instansi pemerintah yang konon termasuk `paling basah' itu. Sosok panutan terkait kejujuran kemudian juga saya jumpai di Departemen Kehakiman, kepolisian, jaksa, dan di berbagai lembaga pemerintahan lain. baga pemerintahan lain.
Teringat kisah salah satu alumni workshop ketika bukunya, Pergi Haji dengan Rp 100, terbit. Saat judul ini saya lontarkan banyak yang tidak percaya. Bagaimana mungkin sese orang bisa pergi haji dengan uang seratus rupiah? Tetapi, ini kisah nyata seorang pegawai negeri yang gajinya pas-pasan sehingga, bahkan perjalanan mimpi ke Tanah Suci, harus dimulai dengan menabung keping demi keping uang seratus rupiah.
Tapi, bukan hanya itu yang me narik, melainkan kenyataan bahwa narik, melainkan kenyataan bahwa penulis adalah pegawai Kementerian Keuangan. Dengan embel-embel demikian di mata awam, bukankah seharusnya mudah saja baginya untuk mendapatkan pemasukan sampingan di luar gaji? Karenanya, saya bersyukur sang pegawai negeri--yang tahun lalu akhirnya berhaji bersama istri--kemudian menulis perjuangannya yang sangat mungkin menginspirasi orang lain.
Mengabadikan semangat kebaikan lewat tulisan. Ya, mengapa tidak? Mungkin dengan demikian, kita bisa mengubah warna negeri yang pucat. Mengabarkan optimisme akan adanya sosok-sosok jujur di Tanah Air. Masih banyaknya pribadi baik. Hanya saja, banyak di antara mereka yang diam atau luput dari pandangan.
Dan tulisan, adalah satu media berjuang untuk meluruskan hal-hal yang menyimpang serta memopulerkan semangat dan jejak kebaikan.[]
*REPUBLIKA (26/5/12)
___________ posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia