Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri*
Revolusi di Timur Tengah telah melindas para penguasa diktator otoriter. Tepatnya para presiden yang telah berkuasa puluhan tahun dan mempertahankan kekuasaannya itu dengan segala cara, termasuk misalnya dengan menyingkirkan, membunuh, dan memenjarakan rakyatnya sendiri.
Ya, mereka adalah presiden dan bukan raja. Penguasa di negara republik dan bukan di kerajaan.Sistem pemerintahannya demokratis dan bukan turun temurun. Dengan kata lain, mereka berkuasa karena dipilih rakyat melalui pemilu. Namun, hebatnya, mereka mampu berkuasa hingga puluhan tahun. Bahkan, ada yang berencana membentuk dinasti keluarga dengan mewariskan kekuasaan pada keluarganya.
Di Tunisia, ada Zainal Abidin bin Ali, jadi presiden lebih dari 20 tahun dan berencana menurunkan kekuasaannya pada istrinya, Laila Trabelsi. Pada 14 Januari 2011, ia melarikan diri ke Arab Saudi ketika berkecamuk demonstrasi besar di negerinya. Kini, ia hidup di pengasingan dengan membawa tuduhan berat: penyalahgunaan wewenang dan menggarong uang rakyat.
Berikutnya Husni Mubarak. Presiden Mesir lebih dari 30 tahun ini mengundurkan diri, menyusul aksi unjuk rasa besar-besaran di seluruh negeri. Ketika berjaya, ia merencanakan mewariskan kekuasaan pada anaknya, Jamal Mubarak. Dalam kondisi sakit-sakitan kini ia sedang menghadapi sidang pengadilan dengan tuduhan: menyalahgunakan kekuasaan, membunuh, dan korupsi.
Penguasa lain yang digilas revolusi adalah Muammar Qadafi. Ia berkuasa lebih dari 40 tahun di negara yang bukan kerajaan bernama Jamahiriyah Arab Libya. Namun, ia lebih suka dijuluki sebagai Raja Diraja alias Malikul Muluk alias King of the Kings, dan berencana mewariskan kekuasaan pada anaknya Saif al-Islam Qadafi. Nasibnya sangat mengenaskan. Ia ditembak mati oleh pejuang revolusi.
Nasib lebih baik dialami Ali Abdullah Saleh. Setelah unjuk rasa dan pergolakan untuk menurunkan dirinya dari kursi Presiden Yaman yang didudukinya selama 33 tahun, ia bisa mundur secara damai. Bahkan, ia mendapatkan kekebalan tuntutan hukum. Di Suriah, Presiden Bashar al-Assad yang mewarisi kekuasaan dari ayahnya, Hafez al-Assad, kini sedang digoncang aksi unjuk rasa besar-besaran. Nasib dia dan juga Suriah ke depan masih belum jelas.
Yang menarik, revolusi di Timur Tengah hingga kini tidak menyentuh para raja. Sejumlah pengamat di Timur Tengah mengistilahkan yang terjadi di dunia Arab sekarang ini adalah raja versus presiden atau kerajaan versus republik. Penguasa Bahrain memang sempat digoyang demonstrasi beberapa kali. Namun, aksi itu tampaknya tak akan menggoyahkan kedudukan Raja Hamad bin Isa al-Khalifah.
Ia masih akan bisa menonton balap mobil Formula 1 di Sirkuit Internasional Bahrain dengan tenang. Sedangkan raja Teluk lainnya-Raja Abdullah bin Abdul Aziz (Arab Saudi), Sheikh Khalifa bin Zayid (Uni Emirat), Sultan Qaboos bin Said al-Said (Oman), Amir Sheikh Hamad bin Khalifa (Qatar), Amir Sabah alAhmad al-Jabir al-Sabah (Kuwait)--bisa dikata nasibnya lebih baik.
Hal serupa juga dialami dua raja Arab lainnya, Raja Yordania Abdullah II dan Raja Maroko Mohammad VI. Kedua raja ini tampaknya cepat tanggap dengan tuntutan rakyatnya. Sejak mulai muncul aksi demo di beberapa negara Arab, mereka segera mengamendemen konstitusi negaranya yang sesuai dengan aspirasi rakyat. Pertanyaannya kini, mengapa revolusi Arab hanya melibas presiden dan bukan raja? Jawabannya ada pada kesejahteraan yang berkeadilan. Negara-negara Teluk memang kaya minyak dan gas sehingga bisa menjamin kesejahteraan rakyat.
Libya juga merupakan negara kaya, tapi rakyatnya miskin. Sementara, Maroko dan Yordania merupakan negara minim sumber alam, tapi rakyatnya relatif lebih baik. Apalagi, tuduhan kepada para presiden terguling dan rezimnya hampir sama: salah kelola negara dan korupsi. Kedua hal inilah yang telah menyebabkan rakyat jadi miskin dan menderita.
Revolusi di Timur Tengah, dengan begitu, telah memberi banyak pelajaran kepada kita tentang hakikat kekuasaan. Yakni, kekuasaan harus untuk rakyat. Rakyat tidak begitu peduli dengan bentuk negara, apakah republik/demokrasi ataukah kerajaan.
*REPUBLIKA (19/3/12)
___________
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia
Revolusi di Timur Tengah telah melindas para penguasa diktator otoriter. Tepatnya para presiden yang telah berkuasa puluhan tahun dan mempertahankan kekuasaannya itu dengan segala cara, termasuk misalnya dengan menyingkirkan, membunuh, dan memenjarakan rakyatnya sendiri.
Ya, mereka adalah presiden dan bukan raja. Penguasa di negara republik dan bukan di kerajaan.Sistem pemerintahannya demokratis dan bukan turun temurun. Dengan kata lain, mereka berkuasa karena dipilih rakyat melalui pemilu. Namun, hebatnya, mereka mampu berkuasa hingga puluhan tahun. Bahkan, ada yang berencana membentuk dinasti keluarga dengan mewariskan kekuasaan pada keluarganya.
Di Tunisia, ada Zainal Abidin bin Ali, jadi presiden lebih dari 20 tahun dan berencana menurunkan kekuasaannya pada istrinya, Laila Trabelsi. Pada 14 Januari 2011, ia melarikan diri ke Arab Saudi ketika berkecamuk demonstrasi besar di negerinya. Kini, ia hidup di pengasingan dengan membawa tuduhan berat: penyalahgunaan wewenang dan menggarong uang rakyat.
Berikutnya Husni Mubarak. Presiden Mesir lebih dari 30 tahun ini mengundurkan diri, menyusul aksi unjuk rasa besar-besaran di seluruh negeri. Ketika berjaya, ia merencanakan mewariskan kekuasaan pada anaknya, Jamal Mubarak. Dalam kondisi sakit-sakitan kini ia sedang menghadapi sidang pengadilan dengan tuduhan: menyalahgunakan kekuasaan, membunuh, dan korupsi.
Penguasa lain yang digilas revolusi adalah Muammar Qadafi. Ia berkuasa lebih dari 40 tahun di negara yang bukan kerajaan bernama Jamahiriyah Arab Libya. Namun, ia lebih suka dijuluki sebagai Raja Diraja alias Malikul Muluk alias King of the Kings, dan berencana mewariskan kekuasaan pada anaknya Saif al-Islam Qadafi. Nasibnya sangat mengenaskan. Ia ditembak mati oleh pejuang revolusi.
Nasib lebih baik dialami Ali Abdullah Saleh. Setelah unjuk rasa dan pergolakan untuk menurunkan dirinya dari kursi Presiden Yaman yang didudukinya selama 33 tahun, ia bisa mundur secara damai. Bahkan, ia mendapatkan kekebalan tuntutan hukum. Di Suriah, Presiden Bashar al-Assad yang mewarisi kekuasaan dari ayahnya, Hafez al-Assad, kini sedang digoncang aksi unjuk rasa besar-besaran. Nasib dia dan juga Suriah ke depan masih belum jelas.
Yang menarik, revolusi di Timur Tengah hingga kini tidak menyentuh para raja. Sejumlah pengamat di Timur Tengah mengistilahkan yang terjadi di dunia Arab sekarang ini adalah raja versus presiden atau kerajaan versus republik. Penguasa Bahrain memang sempat digoyang demonstrasi beberapa kali. Namun, aksi itu tampaknya tak akan menggoyahkan kedudukan Raja Hamad bin Isa al-Khalifah.
Ia masih akan bisa menonton balap mobil Formula 1 di Sirkuit Internasional Bahrain dengan tenang. Sedangkan raja Teluk lainnya-Raja Abdullah bin Abdul Aziz (Arab Saudi), Sheikh Khalifa bin Zayid (Uni Emirat), Sultan Qaboos bin Said al-Said (Oman), Amir Sheikh Hamad bin Khalifa (Qatar), Amir Sabah alAhmad al-Jabir al-Sabah (Kuwait)--bisa dikata nasibnya lebih baik.
Hal serupa juga dialami dua raja Arab lainnya, Raja Yordania Abdullah II dan Raja Maroko Mohammad VI. Kedua raja ini tampaknya cepat tanggap dengan tuntutan rakyatnya. Sejak mulai muncul aksi demo di beberapa negara Arab, mereka segera mengamendemen konstitusi negaranya yang sesuai dengan aspirasi rakyat. Pertanyaannya kini, mengapa revolusi Arab hanya melibas presiden dan bukan raja? Jawabannya ada pada kesejahteraan yang berkeadilan. Negara-negara Teluk memang kaya minyak dan gas sehingga bisa menjamin kesejahteraan rakyat.
Libya juga merupakan negara kaya, tapi rakyatnya miskin. Sementara, Maroko dan Yordania merupakan negara minim sumber alam, tapi rakyatnya relatif lebih baik. Apalagi, tuduhan kepada para presiden terguling dan rezimnya hampir sama: salah kelola negara dan korupsi. Kedua hal inilah yang telah menyebabkan rakyat jadi miskin dan menderita.
Revolusi di Timur Tengah, dengan begitu, telah memberi banyak pelajaran kepada kita tentang hakikat kekuasaan. Yakni, kekuasaan harus untuk rakyat. Rakyat tidak begitu peduli dengan bentuk negara, apakah republik/demokrasi ataukah kerajaan.
Yang penting bagai rakyat kebanyakan adalah jaminan keadilan, kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, keamanan, jaminan hari tua, dan seterusnya. Sistem demokrasi bukannya tidak penting, asal tidak ada rekayasa. Namun, kekuasaan lewat demokrasi harus justru menyejahterakan rakyat. []
*REPUBLIKA (19/3/12)
___________
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia