Oleh Yudi Latif
Berulang kali kita dihadapkan pada masalah yang pelik dalam menghadapi masalah bahan bakar minyak (BBM). Fluktuasi harga minyak du nia dan peralihan Indonesia dari status negara peng ekspor menjadi pengimpor minyak mem buat kita seakan-akan tak memiliki pilihan lain kecuali menaikkan harga BBM. Kita merasa prihatin atas ketidakmampuan negara mengelola energi tak terbarukan.
Inefisiensi pengelolaan, pemborosan pemakaian, dan ketidakmampuan mengontrol perusahaan-perusaan minyak asing membuat Indonesia begitu cepat mengalami krisis energi minyak. Kita juga prihatin atas ketergantungan Indonesia pada energi minyak. Kita memiliki cadangan gas yang berlimpah, energi panas bumi yang disia-siakan, dan beragam energi alternatif lainnya yang bisa membuat negara ini menjadi super power energi dunia.
Dari mimbar-mimbar pidato, pemerintah berulang kali mengemukakan pentingnya mengem bangkan energi alternatif, tetapi semuanya berhenti sebagai pemanis bibir tanpa ada kesungguhan untuk melakukannya. Mengapa hal itu terjadi? Kita terjerat pada satu pilihan menaikkan harga minyak karena Indonesia tak memiliki kebebasan untuk memilih.
Dibalik alasan menggelembungnya subsidi minyak yang dapat menguras keuangan negara, ada tangan-tangan tersembunyi yang mendesakkan pilihan ini, yakni kepentingan kartel minyak. Kepentingan kartel minyak ini pula yang menghambat usaha-usaha untuk mengembangkan energi alternatif. Lebih pelik lagi, ketergantungan kita pada energi minyak ini diperparah oleh keburukan sistem transportasi.
Buruknya layanan angkutan umum mendorong banyak orang beralih pada transportasi pribadi yang menyebabkan ledakan kemacetan hampir di setiap kota besar di Indonesia. Dalam ledakan kemacetan, pemborosan konsumsi minyak tak terhindarkan. Masalahnya, mengapa sistem transportasi umum kita buruk? Selain masalah lemahnya komitmen pemerintah, segi ini juga tak lepas dari penetrasi ke pentingan industri kendaraan bermotor. Keburukan transportasi umum seakan dikehendaki demi menjamin laju permintaan atas kendaraan pribadi. Alhasil, krisis energi dan krisis transportasi yang kita alami merupakan cerminan dari krisis kedaulatan negara dalam menentukan pilihan terbaik bagi bangsanya.
Hal ini mengingatkan kita pada wasiat Tan Ma laka. Ia pernah mengingatkan bahwa “Rencana ekonomi yang teratur rapi” hanya dapat dibumikan secara leluasa dalam kondisi bangsa Indonesia “merdeka 100 persen”. Bahwa, “Yang berhak menentukan nasib rakyat Indonesia ialah kamauan, pelor, atau bambu runcingnya rakyat Indonesia sendiri.”
Mengapa demikian? Menurutnya, “merdeka 100 persen” adalah satu jaminan untuk terus merdekanya Indonesia. Tanpa merdeka 100 persen, Indonesia takkan bisa mengadakan kemakmuran cukup buat dirinya sendiri.
Agar dapat leluasa menentukan nasib sendiri, sikap kejiwaan yang harus ditumbuhkan adalah mencukupi diri sendiri.Ketergantungan pada utang luar negeri harus dihindari sebab, seperti diingatkan Tan Malaka, “Negara yang meminjam pasti menjadi hamba peminjam.” Penghambaan terhadap peminjam merupakan pintu masuk bagi dikte-dikte kebijakan ekonomi nasional oleh kekuatan-kekuatan asing yang dapat mendistorsikan sistem ekonomi dan rencana keadilan yang ingin dikembangkan. Di sinilah letak ironi dari perkembangan demokrasi Indonesia kita saat ini. Di berbagai kesempatan, para pemimpin politik kita dengan bangga mengklaim negara kita sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.
Mereka lupa bahwa esensi demokrasi adalah daulat rakyat. Suatu negara hanya berdemokrasi sepenuhnya bilamana kebijakan negara di bidang politik dan ekonomi berkhidmat pada kehendak rakyatnya sendiri, bukan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan lain. []
*REPUBLIKA
___________
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia