Oleh Badiuzzaman Said Nursi*
Bismillâh adalah awal segala kebaikan. Karena itu, kita memulai dengannya. Wahai jiwa, ketahuilah bahwa di samping sebagai syiar Islam, kalimat yang baik dan penuh berkah ini merupakan zikir seluruh entitas lewat lisanul hal (keadaan) mereka. Jika engkau ingin mengetahui sejauh mana kekuatan luar biasa yang tak pernah habis yang terkandung dalam bismillâh serta sejauh mana keberkahan yang terdapat padanya, perhatikan perumpamaan singkat berikut ini.
Seorang Badui yang hidup nomaden dan mengembara di padang pasir harus memiliki afiliasi dengan pemimpin kabilah dan harus berada dalam perlindungannya agar selamat dari gangguan orang-orang jahat, agar bisa menunaikan pekerjaannya, dan agar bisa mendapatkan berbagai kebutuhannya. Jika tidak, ia akan merana sendirian dalam kondisi cemas dan gelisah menghadapi banyak musuh dan kebutuhan yang tak terhingga.
Pengembaraan yang sama dilakukan oleh dua orang; yang satu rendah hati dan yang kedua sombong. Orang yang rendah hati menisbatkan diri (berafiliasi) kepada penguasa, sementara yang sombong menolak untuk menisbatkan diri padanya. Keduanya berjalan di padang pasir tersebut. Ketika orang yang menisbatkan diri kepada penguasa itu berkelana dengan aman di setiap tempat. Jika bertemu perompak jalanan, ia berkata, “Aku berjalan atas nama penguasa.” Mendengar hal itu perompak tadi membiarkannya pergi. Jika dia masuk ke dalam kemah, ia disambut dengan penuh hormat berkat nama penguasa yang disandangnya. Adapun orang yang sombong, ia menjumpai berbagai cobaan dan musibah yang tak terkira. Pasalnya, sepanjang perjalanan ia terus berada dalam ketakutan dan kecemasan. Ia selalu meminta dikasihani hingga membuat dirinya terhina.
Karena itu, wahai diri yang sombong, ketahuilah! Engkau laksana pengembara Badui di atas. Dunia yang luas ini adalah padang pasir tersebut. Kefakiran dan ketidakberdayaanmu tak terhingga serta musuh dan kebutuhanmu tak pernah habis. Jika demikian keadaannya, sandanglah nama Pemilik Hakiki dan Penguasa Abadi dari padang pasir ini agar engkau selamat dari meminta-minta pada makhluk serta dari rasa cemas dalam menghadapi berbagai peristiwa.
Ya, kalimat ini, bismillâh, merupakan kekayaan besar yang penuh berkah bahwa dengannya kefakiranmu terpaut dengan sebuah rahmat yang luas dan mutlak lebih luas dari seluruh entitas. Ketidakberdayaanmu juga terpaut dengan sebuah kekuatan besar dan mutlak yang memegang kendali seluruh wujud, mulai dari atom hingga galaksi. Bahkan semua kefakiran dan ketidakberdayaanmu menjadi sarana yang diterima oleh Sang Mahakuasa Yang Maha Penyayang, Pemilik Keagungan.
Orang yang bergerak dengan kalimat tersebut bagaikan orang yang bergabung dalam sebuah pasukan. Ia beraktivitas atas nama negara tanpa takut kepada siapa pun. Sebab, ia berbicara atas nama undang-undang dan negara sehingga ia dapat menyelesaikan tugas dan tegar dalam menghadapi apa pun.
Di awal kami telah menyatakan bahwa semua entitas lewat lisanul hal (keadaannya) mengucap bismillâh. Benarkah demikian?
Ya, kalau engkau melihat seseorang mampu menggiring manusia ke satu tempat serta memaksa mereka melakukan berbagai kewajiban, tentu engkau berkeyakinan bahwa orang itu tidak sedang mewakili dirinya dan tidak menggiring manusia atas nama dan kekuatannya. Akan tetapi, ia seorang prajurit yang bertindak atas nama negara dan bersandar kepada kekuatan pemimpin.
Nah, seluruh entitas juga melakukan tugasnya atas nama Allah. Dengan nama Allah, benih-benih yang sangat kecil memikul sejumlah pohon yang sangat besar dan berat. Artinya, setiap pohon mengucap bismillâh dan mengisi kedua tangannya dengan buah-buahan yang berasal dari kekayaan rahmat Ilahi guna dipersembahkan kepada kita. Setiap kebun mengucap bismillâh. Ia menjadi dapur bagi kodrat Ilahi sebagai tempat untuk mematangkan berbagai makanan yang nikmat. Setiap hewan yang penuh berkah—seperti unta, kambing, dan sapi—Kalimat Pertama mengucap bismillâh. Mereka menjadi sumber yang memancarkan susu berlimpah. Atas nama Dzat Pemberi Rezeki ia berikan kepada kita nutrisi yang paling lembut dan paling bersih. Akar-akar setiap tumbuhan dan rumput mengucap bismillâh serta membelah batu karang yang keras dengan nama Allah. Dia berucap/bergerak atas nama Allah dan ar-Rahman, sehingga segala sesuatu tunduk kepadanya.
Ya, tersebarnya ranting di udara dan diiringi banyak buah, bercabangnya sejumlah akar di dalam batu karang yang keras dan ia menyimpan nutrisi di bawah tanah, lalu dedaunan yang hijau menahan cuaca panas sementara ia tetap segar, semua itu merupakan tamparan keras yang membungkam mulut kaum materialis, para penyembah sebab, sekaligus sebagai seruan keras yang menggema di wajah mereka di mana ia berbunyi, “Kondisi keras dan panas yang kalian sandar melaksanakan tugas sesuai perintah Tuhan di mana akar yang halus dan lembut melaksanakan perintah, “Kami berfirman, ‘Pukullah batu itu dengan tongkatmu!’”1 seperti tongkat Musa, sehingga ia memecahkan batu karang. Dedaunan yang segar laksana anggota tubuh Ibrahim as. yang ketika menerima kobaran panas membaca ayat, “Wahai api, jadilah engkau dingin dan selamat...” (QS. al-Anbiyâ: 69)
Jadi, selama segala sesuatu di alam ini mengucap bismillâh secara maknawi, mendatangkan serta mempersembahkan nikmat Allah kepada kita dengan bismillâh, maka kita juga harus memulai dengan bismillah. Kita memberi dengan nama Allah dan mengambil dengan nama Allah. Demikian pula kita tidak boleh menerima dari kaum yang lalai yang tidak memberi dengan nama Allah.
Pertanyaan: Kita memperlihatkan penghormatan kepada orang yang menjadi sebab datangnya nikmat pada kita. Lalu apa yang dituntut dari kita oleh Allah sebagai Dzat Pemilik seluruh nikmat?
Jawaban: Allah Pemberi Nikmat hakiki menuntut tiga hal dari kita sebagai harga dari nikmat yang berharga tersebut.
Pertama zikir, kedua syukur, dan ketiga adalah pikir.
Dalam hal ini, bismillâh sebagai pembuka merupakan zikir, alhamdulillâh sebagai penutup adalah syukur, sementara apa yang berada diantara keduanya adalah pikir, yaitu merenungi dan menyadari bahwa nikmat-nikmat yang berharga tersebut merupakan mukjizat kodrat Tuhan Yang Maha Esa serta hadiah rahmat-Nya yang luas.
Nah, sebagaimana orang yang mencium kaki pembantu yang telah mengantarkan hadiah raja sungguh sangat bodoh dan tolol, begitu pula memuja dan mencintai sebab-sebab materi yang menjadi pengantar rezeki, dan melupakan Pemberi Nikmat hakiki. Bukankah ini ribuan kali jauh lebih bodoh darinya?
Wahai jiwa, jika engkau tidak mau seperti orang bodoh di atas, maka:
Berilah dengan nama Allah. Ambillah dengan nama Allah. Mulailah dengan nama Allah. Bekerjalah dengan nama Allah.
Wassalam.
*dari kitab Risalah Nur "Al-Kalimat" Badiuzzaman Said Nursi
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia