Franchise Ikhwanul Muslimin


Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri*

Dalam dunia bisnis, franchise atau waralaba tentu hal yang biasa. Inti dari franchise adalah menyontek sebuah produk, jasa, atau hasil kreativitas yang terbukti telah berhasil dengan imbalan dan syarat tertentu. Pizza Hut, McDonald, dan Kentucky Fried Chicken sekadar contoh dari franchise itu. Bagaimana dalam dunia politik?

Sejumlah pengamat menyebutkan apa yang kini sedang berlangsung di beberapa negara Arab adalah franchising dari Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tentu bukan dalam arti harfiah seperti yang terjadi dalam dunia bisnis. Franchising yang dimaksud adalah bangkitnya Islam politik di negara-negara Arab yang baru saja mengalami revolusi menjatuhkan rezim diktator.

Seperti yang terjadi di Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman. Atau, negara-negara yang mengalami perubahan politik, seperti di Maroko, Yordania, dan Aljazair. Juga negara yang sedang bergejolak, misalnya Suriah. Bahkan, di sebagian besar negara-negara tersebut, partai Islam telah memenangkan pemilu, seperti di Maroko, Mesir, dan Tunisia.

Gerakan Islam politik dan kemenangan partai Islam di sejumlah negara Arab itu tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Pengalamannya pun mirip. Semasa rezim diktator berkuasa, partai Islam dilarang, pimpinannya dipenjarakan dan dikejar-kejar. Sebagian lagi melarikan diri ke luar negeri. Lalu, mereka bergerak di `bawah tanah' untuk menjatuhkan sang diktator.

Ikhwanul Muslimin, biasa disebut al-Ikhwan, didirikan oleh Hasan al-Bana di Mesir pada 1928. Meskipun gerakan Islam politik dalam sejarah modern diawali oleh Jamaluddin al-Afghani (1838-1897) dan kemudian oleh Mohammad Abduh (1849-1905), dalam bentuk organisasi dan kaderisasi yang lebih terstruktur baru dimulai dengan kelahiran al-Ikhwan.

Pada awalnya, gerakan al-Ikhwan hanya sebatas sosial keagamaan. Namun, ketika anggotanya semakin banyak organisasi ini pun menjadi gerakan politik. Pada 1949, al-Bana terbunuh setelah melawan Raja Faruk yang dituduh bekerja sama dengan penjajah Inggris. Sayyid Qutub lalu menggantikannya. Qutub dikenal sebagai penulis produktif.

Kebanyakan bukunya merupakan penjabaran dari ajaran dan ideologi al-Ikhwan. Boleh dikata ia merupakan ideolog al-Ikhwan. Pada awalnya, Qutub bahu-membahu dengan Jamal Abdul Nasir ketika melawan penjajah Inggris. Namun, setelah Mesir merdeka dan Nasir jadi presiden, keduanya pun berselisih paham yang berakibat pada pembunuhan Qutub (1966) dan pelarangan al-Ikhwan.

Pelarangan kemudian berlanjut pada masa Presiden Anwar Sadat dan Husni Mubarak. Pada masa ini, banyak tokoh al-Ikhwan yang dipenjarakan dan yang lainnya melarikan diri ke luar negeri. Ada yang ke negara-negara Arab dan bahkan ke Eropa. Mereka inilah yang kemudian menyebarluaskan pemikiran-pemikiran al-Ikhwan.

Ulama terkenal Sheikh Yusuf Qaradhawi memilih menetap di Qatar. Anak dan menantu al-Bana melarikan diri ke Swiss. Salah seorang cucu al-Bana, Tariq Ramadan, kini jadi ulama terpandang di Eropa. Namun, justru pada masa inilah, al-Ikhwan berkembang pesat dan lebih militan.

Ideologi dan ajaran al-Ikhwan cepat tersebar luas dalam dunia Islam juga berkat buku-buku mengenai Hasan al-Bana dan Sayyid Qutub yang diterjemahkan ke berbagai bahasa. Termasuk bahasa Indonesia.

Tak heran bila kemudian gerakan dan ajaran al-Ikhwan juga mewarnai gerakan politik Islam di sini. Meskipun al-Ikhwan dan beberapa partai Islam di beberapa negara Arab dilarang, ternyata kaderisasi mereka tetap berjalan, baik terang-terangan maupun di bawah tanah. Kaderkader inilah yang menjadi ujung tombak menarik simpatisan.

Jangan heran kalau Anda sedang berada di terminal bus, stasiun kereta api, atau tempattempat umum di Mesir dan negara Arab lainnya menjumpai anak-anak muda menawarkan jasa: menuntun orang tua menyeberangi jalan, membawakan barang bawaan yang berat, membantu korban menghadapi kejahatan, dan bantuan-bantuan sosial lainnya.

Semuanya mereka lakukan tanpa imbalan dan tanpa diliput media. Sebelum menawarkan bantuan, biasanya mereka memperkenalkan identitas terlebih dahulu. Karena itu, meskipun alIkhwan dan partai Islam lainnya dilarang, namun mereka dikenal dekat dengan masyarakat. Tak heran bila mereka kemudian memenangkan pemilu setelah para rezim diktator tumbang.

Dalam demokrasi, seperti halnya bisnis, rakyat adalah penentu. Di beberapa negara Arab yang sedang menyongsong demokrasi, kini rakyat memilih partai-partai Islam yang diketahui selalu prorakyat.[]

*REPUBLIKA (5/3/12)


____________________
*Tentang Penulis:

Ikhwanul Kiram Mashuri - Sejak lulus dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pria kelahiran Kediri, 5 August 1958 ini memutuskan menggeluti dunia jurnalistik. Kini ia menjadi wartawan senior Harian Republika. Di sela-sela tugasnya sehari-hari sebagai Direktur News dan Konten di Grup Republika, mantan pemred Harian Republika yang juga alumi Pondok Pesantren Modern Gontor ini kerap memberikan siraman rohani, baik di kalangan internal maupun masyarakat luar.



*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia
Baca juga :