Jajak pendapat Universitas Maryland pada 2010 menunjukkan bahwa Erdogan adalah figur paling dikagumi di Dunia Arab.
Karpet merah, pasukan kehor matan, dan tembakan salvo me nyambut kedatangan Recep Tayyip Erdogan--Perdana Men teri (PM) Turki--di Bandara Kairo. Di luar bandara, ribuan orang tak henti meneriakkan, “Erdogan, Erdogan. Seorang Muslim sejati, bukan pengecut.“
Teriakan lain berbunyi, “Mesir dan Turki dalam satu genggaman.“
Jika kerumunan seperti ini terjadi dua atau tiga tahun lalu, orang akan dengan mudah menuduh semua diatur penguasa. Rezim-rezim totaliter di mana pun di muka bumi ini secara rutin mengatur kerumunan massa dalam jumlah besar. Namun, kerumunan ribuan massa yang menyambut Erdogan terjadi secara spontan.
Erdogan menjadi figur populer di Timur Tengah, terutama Mesir, Libya, dan Tunisia, pasca-Arab Springs--kudeta berantai yang mengakhiri rezim totalitarian. Jajak pendapat Universitas Maryland pada 2010 menunjukkan bahwa Erdogan adalah figur paling dikagumi di Dunia Arab.
Setelah Arab Springs, popularitas Erdogan meningkat tajam. Ia menjadi figur ideal generasi muda Arab yang ingin mengakhiri pemerintahan tiran kaum tua. Ini terlihat dari kerumunan massa yang menyambut Erdogan di Bandara Kairo.
Erdogan memanfaatkan situasi ini. Kunjungannya ke Mesir dilibatkan dengan berbagai analis politik sebagai langkah awal membangun pengaruh di negara-negara Afrika Utara yang baru terbebas dari kekuasaan tiran.
Kunjungan ini ditingkahi pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Barrack Obama yang mengabaikan kritik Erdogan soal politik luar negeri Paman Sam di Timur Tengah dan maraknya pertikaian diplomatik dengan Israel yang membuat Erdogan layak mendapat julukan great leadership di kawasan.
Time menulis, tidak setiap saat seorang presiden AS memiliki pemikiran sama dengan orang di jalan-jalan di negara-negara Arab. Obama ingin pemimpin yang muncul dari puing-puing rezim tiran di Libya, Tunisia, dan Mesir adalah figur yang mirip Erdogan.
Erdogan telah sembilan tahun berkuasa di Turki. Ia meningkatkan reputasi interansional Turki yang sekian lama dikekang militer. Ia menerapkan kebijakan ekonomi yang mendongkrak pendapatan per kapita rakyatnya sampai tiga kali lipat, menumbuhkan kelas pengusaha baru, dan di sisi lain mempertahankan kebijakan pro-Barat.
Erdogan memang telah meraih semua yang diimpikan banyak pemimpin. Ia menjadikan Turki kuat secara ekonomi dan menyingkirkan pengaruh Iran di Timur Tengah.
Turki dan Arab Springs
Bagi banyak “penonton“ panggung politik, Timur Tengah model Turki ditempa oleh Islam. Erdogan dan Partai Keadilan dan Pembangunan (disingkat AKP) secara tradisional didukung kelas konservatif dan kelompok-kelompok keagamaan yang kerap dicurigai oleh kaum sekuler absolut. Bagi negara-negara Islam Arab, sukses Turki membuktikan bahwa modernisasi negara bisa dilakukan tanpa harus melepaskan keyakinan terhadap agama. Pengagum Erdogan lainnya melihat semua ini merupakan bukti bahwa politik Islam tidak perlu menjadi musuh modernitas.
Jika butuh bukti lain untuk melihat bagaimana cara Erdogan meraih sukses, tengok saja bagaimana Erdogan memenangkan pemilu ketiga. Namun, apakah cara Erdogan--atau Erdogan Way--bisa membimbing Mesir, Libya, dan Tunisia ke arah stabilitas politik dan penguatan ekonomi?
Erdogan mengatakan, “Saya justru bertanya-tanya apakah negara-negara Arab berniat meniru kesuksesannya?“ Jika ya, menurut Erdogan, Turki akan memberikan bantuan yang diperlukan.
“Kami tidak memiliki mental harus mengekspor sistem,“ kata Erdogan dalam wawancara dengan Time.
Namun, Erdogan tidak membantah dirinya sedang mendekati calon-calon pemimpin di negara-negara yang terkena Arab Springs. “Saya secara intens ingin berbicara lebih banyak dengan para calon presiden dan partai-partai politik baru di Libya, Mesir, dan Tunisia. Saya ingin mendapat kesempatan dengan banyak orang untuk memahami situasi,“ kata Erdogan.
Pesan yang ingin disampaikan Erdogan adalah, “Jadilah Muslim yang baik dan yakinlah dengan konstitusi negara masing-masing.“
Erdogan Way, menurut Michae Werz--pakar Turki dari Center for American Progress--bisa saja menginspirasi partai-partai Islam di negara-negara Arab.
Abdelhamid Jlassi-pemimpin Partai Islam Tunisa Ennahda--mengatakan, “Erdogan berbicara dengan bahasa kami. Kapan pun dia berbicara, kami mendengar.“
Ennahda memenangkan pemilu bebas pertama pada 23 Oktober 2011 dan berhak membentuk majelis rakyat yang bertugas menulis konstitusi baru Tunisia.
Turki dan Uni Eropa
Bagi beberapa pengamat Barat, kebangkitan politik Islam hanya akan memunculkan negara reaksioner, seperti Afghanistan di bawah Taliban dan Iran saat ini serta membiaknya teroris. Kecemasan itu tidak muncul saat ini, tapi sejak AKP memenangkan Pemilu Turki 2002.
Saat itu, kaum sekuler Turki khawatir Erdogan akan berupaya menghapus pemisahan masjid dan agama yang menjadi dasar negara Turki, bangunan Mustafa Kemal Ataturk.
Pada 2003, Erdogan menolak berpartisipasi dalam perang di Irak, yang membuat Barat khawatir sang pemimpin Islam ini akan mengeluarkan Turki dari NATO. Kekhawatiran itu tidak menjadi kenyataan. Turki tidak akan menjadi seperti Iran.
Tahun lalu, Erdogan membuat kaum sekuler Turki kembali tercengang ketika mencabut larangan mengenakan jilbab di semua universitas. Kebijakan Erdogan dianggap merupakan serangan langsung terhadap warisan sekuler Ataturk. Ia tidak melarang alkohol dan rokok, tapi menggandakan pajaknya yang menyebabkan harga minuman keras dan anggur di Turki menjadi sangat mahal.
Pengkritiknya mengatakan, Erdogan kian menjauh dari Barat. Ia menjawab dengan lebih aktif, dibanding pendahulunya yang sekuler melakukan diplomasi agar bisa masuk ke dalam Uni Eropa.
Erdogan memastikan dirinya masih akan berusaha mendapat status keanggotaan Uni Eropa. Namun, kepada Time, Erdogan mengatakan, “Situasi di Uni Eropa saat ini tidak membuat saya tersenyum. Turki yang dulu dikenal sebagai sick man for Europe kini menjadi kekuatan ekonomi. Pada saat yang sama, banyak anggota Uni Eropa--yang tidak menginginkan Turki menjadi anggota Uni Eropa--bangkrut.“
Yunani adalah penentang utama masuknya Turki ke Uni Eropa. Lainnya adalah Spanyol dan Portugal. Kini, Uni Eropa dibuat kalangkabut oleh ketidakbecusan Yunani membayar utang. Portugal dan Spanyol juga merepotkan, akibat perekonomiannya yang tak pernah membaik.
Penolakan mereka didasarkan pada satu hal: Turki adalah Islam. Mereka tidak ingin ada negara Islam di Eropa.
Turki Lebih Religius
"Kami ingin membesarkan pemuda religius," ungkap Erdogan suatu ketika seperti dikutip alarabiya.net, Jum'at (10/2).
Erdogan mengatakan, pihaknya tidak mungkin mencetak generasi ateis. Justru pihaknya mengharapkan lahirnya generasi konservatif yang merangkul nilai-nilai dan prinsip bangsa dalam balutan demokratis.
Semenjak Erdogan memerintah Turki, sejumlah kebijakan terkaitan dengan agama mengalami perubahan. Terakhir, Erdogan mengubah Undang-undang di mana lulusan sekolah agama mendapatkan kesempatan untuk mengakses setiap jurusan di universitas. Di masa lalu, mereka hanya mendapat akses terbatas pada sekolah teologi. []
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia