Tuntutlah Ilmu ke Erdogan

Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri*

Dalam berbagai kesempatan, saya pernah menyampaikan ke sejumlah teman politikus, kalau mau belajar pemerintahan yang Islami, berkiblatlah ke Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan. Mengapa Turki? Mengapa Erdogan? Turki dan Indonesia sama-sama negara demokratis. Keduanya berpenduduk majemuk. Kedua negara mayoritas berpenduduk Muslim, namun bukan negara Islam.

Indonesia merupakan negara Pancasila yang definisinya bukan negara agama dan sekuler, sedangkan Turki adalah sekuler. Namun, Erdogan yang berpenampilan rapi--selalu mencukur kumis dan jenggotnya--justru berhasil mengislamkan pemerintahan. Bukan sembarang sekuler, melainkan sekuler ekstrem, lantaran kebebasan individu sangat dibatasi, antara lain, pelarangan jilbab di institusi pemerintah.

Mengawali kiprah politiknya, Erdogan bergabung dengan Partai Keselamatan Nasional. Namun, partai ini kemudian dilarang militer yang berkuasa lantaran berhaluan Islam. Setelah itu, ia dan kawan-kawan mendirikan Partai Kesejahteraan. Dua tahun kemudian (1985), dia jadi ketua partai di Istanbul. Pada 1994, untuk pertama kalinya Partai Kesejahteraan memenangkan pemilu lokal dan mengantarkan Erdogan jadi wali kota Istanbul.

Jabatan wali kota tak ia sia-siakan. Ia segera membereskan sarana dan prasarana kota. Jalur-jalur transportasi yang semrawut ia tertibkan. Ia bangun pipa-pipa pengadaan air bersih. Ia lakukan penertiban bangunan. Ia tanam ribuan pohon di jalan-jalan untuk mengurangi kadar polusi. Anak cacat dan warga miskin ia perhatikan.

Penyakit masyarakat pun ia bereskan. Prostitusi yang merajalela di Istanbul segera ia tangani. Tak sekadar melarang dan merazia, tapi ia juga memberikan pekerjaan lebih terhormat kepada mereka dan para wanita pada umumnya. Peredaran minuman keras di tempat-tempat umum, terutama yang di bawah kendali wali kota, ia larang.

Anggaran daerah Istanbul yang selalu bocor ia benahi. Menurutnya, korupsi adalah musuh besarnya karena menghambat kemajuan bangsa dan negara. Oleh karena itu, ia sangat keras terhadap koruptor. Hasilnya, anggaran belanja Istanbul yang selalu minus untuk pertama kalinya menjadi plus. Keberhasilan Erdogan ternyata justru membuat khawatir kaum sekuler.

Gebrakan Erdogan dianggap bisa merongrong wibawa ideologi sekuler di Turki. Apalagi, Erdogan secara terang-terangan mengecam sekulerisme negaranya yang melarang penggunaan identitas Islam. Akibatnya, pada 1998, Erdogan dijebloskan ke penjara. Ia dituduh mengkhianati asas sekulerisme negara. Bukan hanya itu, Partai Kesejahteraan juga dibubarkan.

Pada 2001, Erdogan mendeklarasikan partai baru, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP). Untuk lebih “aman“ dan juga karena dilarang, ia sengaja tak mencantumkan embel-embel Islam. Bahkan, garis AKP lebih nasionalis dan terbuka. Dalam kampanye, AKP juga tak membawa jargon-jargon keagamaan. AKP justru mengangkat tema-tema yang lebih menyentuh hajat hidup warga.

Popularitas Erdogan ternyata mampu mengerek suara AKP. Walaupun baru berusia 12 bulan, pada Pemilu 2002, AKP secara fantastis berhasil meraih 34,1 persen suara sekaligus menjadi pemenang pemilu, mengalahkan partai-partai nasionalis dan sekuler. Kemenangan ini mengantarkan Erdogan menjadi perdana menteri Turki.

Sama ketika jadi wali kota, PM Erdogan segera menciptakan “keajaiban“. Ekonomi Turki yang semula morat-marit segera pulih. Inflasi terkendali dan menurun tajam. Perekonomian tumbuh konsisten tujuh hingga delapan persen per tahun. Pengangguran berkurang, bahkan standar upah minimun pekerja dinaikkan. Mata uang lira juga menguat.

Atas prestasinya ini, Erdogan semakin dipercaya rakyatnya. Ia menjadi idola dan pahlawan. Simpatisan AKP pun berlipat. Apalagi, di dunia internasional, posisi Turki semakin diperhitungkan lantaran kebijakan diplomasinya yang bersahabat, namun tegas terhadap kesewenang-wenangan Israel. Hasilnya, ia berhasil memenangkan pemilu hingga tiga kali berturut-turut.

Bahkan, Pemilu 2007 telah mengantarkan wakilnya di AKP, Abdullah Gul, menjadi presiden Turki hingga kini. Ketika di “posisi kuat“ inilah ia baru bicara tentang perlunya amandemen undang-undang yang lebih Islami (baca: universal).

Belajar dari proses transformasi politik AKP, semestinya politikus dan partai politik di Indonesia bisa berkiblat ke Erdogan dan Turki.

Misalnya, partai politik mempromosikan wali kota/bupati yang sukses menjadi gubernur. Gubernur yang berhasil dicalonkan jadi presiden dan begitu seterusnya. Sayangnya, transformasi politik model AKP dan Erdogan tak terjadi di sini. Yang terjadi justru transaksi politik. Yakni, pencalonan wali kota/bupati, gubernur, hingga presiden, bahkan anggota legislatif dasarnya adalah berapa besar setoran yang bisa diberikan sang calon kepada parpol.***


*)REPUBLIKA (senin, 6/2/12)

*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia
Baca juga :