Seorang Guru Terpercaya

Inilah kenangan Syaikh Yusuf al-Qaradhawi semasa kecil. Beliau bertutur bahwa di kampungnya terdapat dua orang kuttab (guru yang mengajarkan menghafaal al-Quran). Syaikh Yamani Murad dan Syaikh Hamid Abu Zuwail. Untuk pertama kalinya beliau belajar pada Syaikh Yamani. "Tapi kami hanya bertahan satu hari belajar bersama Syaikh Yamani," ungkap Syaikh Qaradhawi mengenang masa kecilnya. "Setelah itu, kami tidak pernah lagi bersedia kembali belajar pada beliau," tambahnya.

Apa sebabnya? Sederhana saja. Lebih dikarenakan cara Syaikh Yamani mengajar. Untuk membuat muridnya giat, Syaikh Yamani sering menghukum murid-muridnya, yang terkadang dilakukan beliau tanpa sebab yang jelas. Sejak saat itu, Qaradhawi kecil tidak bersedia belajar pada Syaikh Yamani. "Tapi, dari sana saya belajar untuk tidak gemar mendzalimi dan tidak suka didzalimi." Kenang Syaikh Qaradhawi.

Akhirnya, ibundanya menyuruh belajar pada Syaikh Ahmad. Untuk meyakinkan putranya, sang ibu berjanji menitipkan langsung pada Syaikh. Syaikh Qaradhawi sangat teringat apa yang diungkapkan ibundanya. "Syaikh," kata ibunya, "Anak ini merupakan amanah untuk Anda."

"Ibu," jawab Syaikh Ahmad, "Dia adalah anak saya juga. Insya Allah, dia akan selalu saya awasi." Apakah Syaikh Ahmad sama sekali tidak pernah menghukum? Tidak juga. Qaradhawi kecil pernah akan dihukumnya karena sering berenang di sungai Nil. Hanya karena kasih sayang dan akhlak yang dimiliki Syaikh Ahmad sajalah yang menjadikan Qaradhawi kecil bertahan dan gigih belajar. Tak segan Syaikh memuji Qaradhawi sebagai murid yang bersungguh-sungguh, memiliki daya tangkap yang baik, dan selalu hadir di kelas paling awal. Semua itu dirasakan Qaradhawi kecil sebagai sebagai sikap yang tulus dan penuh keikhlasan. Tak mengherankan jika Qaradhawi kecil sampai mengatakan, "Kami sangat khawatir jika harus berpisah dengan Syaikh Ahmad."

_________________

Kita mungkin pernah mengenang guru-guru kita yang terpercaya. Boleh jadi hingga saat ini kita masih mengingatnya. Guru yang pernah mendidik kita dengan ketulusan dan keikhlasan. Guru yang menuangkan kasih sayangnya pada kita dengan sepenuh jiwa. Guru yang mengajari murid-muridnya semata karena hendak mencari keridlaan Allah. Guru yang memahami murid-muridnya dengan sebaik-baiknya. Pada mereka kita selalu panjatkan doa, "Semoga Allah membalasnya dengan yang lebih baik."

Sebagai pendidik, waktu terbanyak kita adalah mengajar. Jika separuh waktu hidup kita habis di depan murid, sementara kita melakukannya tanpa keikhlasan, adakah pahala dari Allah ta'ala yang akan kita peroleh? Jika waktu terbanyak kita adalah bersama anak-anak, sementara kebersamaan itu sarat dengan bentakan dan cacian, adakah yang kita dapatkan? Sungguh, pada Syaikh Ahmad-Gurunda Syaikh Qaradhawi- kita belajar. Semoga kelak murid-murid kita menjadi pribadi-pribadi yang salih dan bermanfaat bagi orang lain.

Berapa gaji yang diperlukan agar seorang guru bertambah keikhlasannya? berapa tunjangan yang diperlukan seorang guru agar secara tulus bersedia menghadapi anak-anak yang beragam, mengusap ingus anak dengan kasih sayang? Sungguh, bukan besarnya gaji dan tunjangan yang melahirkan semua itu. Panggilan jiwa sebagai pengajarlah yang mendorong mereka mengajar dengan sepenuh hati. Semoga Allah memudahkan. []


*) by Dwi Budiyanto http://www.facebook.com/photo.php?fbid=2604680278342&set=a.1486278038985.2066056.1294945041&type=3&theater



*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia
Baca juga :