Putaran Nepotisme

Oleh Yudi Latif

Pelaksanaan misi besar reformasi ibarat “Alice in a Wonderland“, seolah berlari kencang, namun sesungguhnya jalan di tempat, bahkan mengalami gerak mundur: membuang yang baik, mempertahankan yang buruk. Ketika pekik reformasi diserukan, misi utamanya adalah membasmi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Setelah 13 tahun reformasi bergulir, terdapat tanda-tanda bahwa bangsa ini begitu cepat melupakan sejarah dan terancam mengulangi kesalahan yang sama. Pengakuan Indonesia sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia semakin nyaring terdengar di panggung pencitraan, tetapi nilai-nilai kontra demokrasi menelikung lewat pintu belakang prosedur demokrasi, menikam demokrasi dari balik selimut.

Perkembangan demokrasi bukan hanya diikuti oleh penyemarakan modus korupsi dan kolusi, melainkan juga membawa arus balik nepotisme dalam bentuk penguatan dinasti politik. Nepotisme, perlakuan istimewa tanpa rasionalitas terhadap suatu keluarga, menistakan jati diri bangsa dan nilai-nilai demokrasi. Karakter keindonesian dibentuk oleh semangat antifeodalisme dan antikolonialisme.

Menulis di majalah Bintang Hindia, nomor 1/1902, Abdul Rivai memancangkan tonggak perlawanan terhadap nepotisme. “Tak perlu memperpanjang perbincangan kita mengenai `bangsawan oesoel' karena kemunculannya memang telah ditakdirkan. Jika nenek moyang kita bangsawan, kita pun bisa disebut sebagai bangsawan, bahkan meskipun pengetahuan dan pencapaian kita tak ubahnya seperti `katak dalam tempurung'... Saat ini, pengetahuan dan pencapaianlah yang menentukan posisi seseorang. Inilah situasi yang melahirkan munculnya `bangsawan pikiran'.“

Lebih lanjut, semangat antinepotisme tecermin dalam berbagai pilihan politik ketika Republik Indonesia hendak diproklamasikan. Menyangkut kepala negara, para anggota BPUPKI berbeda pendapat dalam usul penyebutan namanya. Ada yang mengusulkan istilah presiden, wasir, imam, maharaja, dan lain-lain. Namun, tidak ada pertentangan akan keharusan kepala negara itu dipilih rakyat, bukan atas dasar keturunan.

Dalam konteks nilai-nilai demokrasi, nepotisme juga melanggar kesamaan hak warga negara yang menuntut prinsip-prinsip fair play dan meritokrasi dalam politik. Bahwa posisi seseorang tidak ditentukan oleh prinsip-prinsip hereditas, tetapi oleh pengetahuan, pengalaman, kreativitas, dan prestasinya.

Tak terbantahkan bahwa seseorang yang terlahir dari dinasti politik mendapatkan keuntungan modal sosial dan kultural berupa proses familiarisasi lebih dini dengan “bahasa“ dan pergaulan politik.

Meski demikian, sejauh dikaitkan dengan prinsip-prinsip demokrasi, fakta keberuntungan tersebut sama sekali tidak boleh menafikan prinsip-prinsip fair play dan meritokrasi.

Gelombang pasang nepotisme di Indonesia saat ini, baik tingkat pemerintahan pusat maupun daerah, sebagian merupakan cerminan dari lemahnya penerapan prinsip demokrasi. Sebagian lain menggambarkan fenomena “puncak gunung es“ dari meluasnya kesenjangan sosial dalam masyarakat.

Adam Bellow, dalam In Praise of Nepotism (2003), menduga bahwa gejala nepotisme menurun ketika terjadi perluasan kelas menengah yang menciutkan kesenjangan sosial sebagai ikutan dari kebijakan rezim negara kesejahteraan. Sebaliknya, nepotisme cenderung menguat ketika lapis kelas menengah menipis yang meluaskan kesenjangan sosial sebagai ikutan dari kebijakan rezim neoliberalisme.

Temuan Bellow tersebut mendapatkan peneguhan dari Paul Krugman dalam The Conscience of A Liberal (2007) bahwa kesenjangan sosial yang lebar, menyusul dominasi pemerintahan konservatif yang mengusung neoliberalisme, merupakan katalis bagi gelombang pasang politik partisan dan politik pengultusan.

Alhasil, gelombang pasang nepotisme harus dibaca dalam bentuk symptomatic reading. Secara kultural, nepotisme merupakan gambaran bahwa perubahan pada perangkat keras (prosedur) demokrasi belum diikuti oleh perubahan pada perangkat lunak (budaya) demokrasi. Secara struktural, nepotisme merupakan pertanda bahwa demokrasi yang kita kembangkan hanyalah sebatas fashion pencitraan daripada membawa perubahan fundamental secara substantif.

Nepotisme merupakan penampakan secara telanjang dari kegagalan kita mengembangkan demokrasi politik dan ekonomi.[]


*REPUBLIKA (15/2/12)


*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia
Baca juga :