Menimbang Keinginan

Oleh Asma Nadia

Apakah yang pasti dari hidup? Di bangku pertama kuliah, saya kerap tersenyum melihat antusias Muslimah terhadap topik menikah. Sebagian di antara mereka bahkan bersegera membangun kesiapan dengan mengikuti kursus tarbiyatul aulad, masak, menjahit, termasuk pilihan bacaan. Pendek kata, menikah masuk dalam peringkat teratas mimpi selain cita-cita menyelesaikan studi.

Bukan sesuatu yang salah untuk membuat list mimpi, cita-cita, dan bersemangat mengejarnya. Hanya, ada hal lain yang mengusik batin. Membangunkan semacam teguran bagi saya yang kala itu juga menuliskan deret cita-cita untuk digapai. Apakah menikah merupakan kepastian? Apakah lulus dari studi adalah jaminan hidup?
Pekerjaan yang kita idamkan, deretan proyek yang kita persiapkan, dan atau segudang rencana pascapensiun yang kita buat, akankah terealisasi? Antara kita dan citacita tak hanya dibatasi sebuah garis bernama kemauan--yang diwujudkan secara nyata dalam bentuk tindakan--tetapi juga usia.

Bagaimana mungkin seseorang membuat begitu banyak persiapan akan berbagai hal yang belum tentu pasti, namun lalai membangun kesiapan terhadap satu kepastian dalam hidup: kematian. Bagaimana mungkin kita menyiapkan setumpuk angan-angan dan dengan santainya menunda satu kebaikan.

Berjilbab setelah menikah atau bekerja atau memberi uang kepada orang tua kalau sudah memiliki pekerjaan, berhenti merokok jika sudah mempunyai anak, berkomitmen pergi haji bila mendapatkan proyek besar dengan keuntungan berlipat--sekalipun sudah mampu untuk menabung--padahal sama sekali tak ada kepastian masih hidup.

Kesadaran ini membuat saya bawel mengingatkan sahabat-sahabat muda saya yang begitu gigih mengejar impian, tetapi tak menyempatkan diri memungut remah kebajikan yang ada di sekitar mereka.

Tidak ada yang tahu kapan persisnya seseorang akan mati. Ia merupakan sebuah kepastian yang di sisi lain justru sulit dipastikan. Bagaimana kita akan mati? Sedang apa kita? Di mana kita akan mati? Siapakah orang terakhir yang menemani saat kematian menyapa? Tidak ada yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Tetapi, apa pun jawabannya, tidak seberapa penting jika kita terbiasa mengisi kehidupan dengan kebaikan. Hingga saat kematian tiba, kita memiliki harapan berada dalam rida-Nya. Saat ini, publik masih tersentak oleh kepergian seorang diva dunia. Spekulasi penyebab kematian masih terus merebak. Tetapi, peluang seseorang untuk meninggal disebabkan obat-obatan akan lebih besar bagi mereka yang memang mengonsumsinya ketimbang yang tidak.

Seorang pezina memiliki kemungkinan meninggal saat berselingkuh ketimbang mereka yang menjaga diri. Guntingan beberapa berita di surat kabar tentang ini bukan tidak pernah kita baca. Mau tidak mau terpikir bagaimana perasaan anak yang bersangkutan mengetahui ayah atau ibu mereka meninggal dalam keadaan tanpa busana di kamar hotel dan ditemani sosok lain yang tak terikat tali pernikahan.

Seorang yang korup, sekalipun sejauh ini aman, memiliki peluang diperkarakan dan cacat nama baik di ujung hidupnya. Rasulullah SAW bersabda, “Secerdas-cerdasnya manusia adalah yang terbanyak mengingat kematian serta yang terbanyak persiapan menghadapinya,“ (Riwayat Ibnu Majah). Jadi, hidupkan hati dengan mengingat mati.[]


REPUBLIKA (18/2/12)

*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia
Baca juga :