Oleh: Cahyadi Takariawan
*posted: pkspiyungan.blogspot.com
Hidup cuma sekali, kata Tofu. Kalimat ini tentu saja kurang lengkap, mestinya hidup di dunia cuma sekali. Setelah itu mati, dan hidup abadi. Hidup di dunia yang hanya sekali, harus memiliki banyak arti. Bukan saja lantaran hitungan “cuma sekali” tersebut, akan tetapi lebih kepada kesadaran hakiki bahwa akan ada kehidupan baru setelah ini.
Agar hidup sekali bisa berarti, diperlukan tujuan yang jelas untuk memandu arah kehidupan. Tanpa tujuan, hidup mengalir bak layang-layang putus tali, tertiup angin tak tahu kemana pergi. Untuk itu, Al Qur’an telah memberikan gambaran yang sangat jelas dan tegas tentang tujuan penciptaan manusia.
Allah telah menetapkan misi yang harus diemban manusia. Sungguh, keberadaannya di muka bumi bukanlah untuk bermain-main tanpa tujuan yang pasti. Cobalah kita perhatikan firman-Nya :
“Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak dikembalikan kepada Kami ?” (QS. 23: 115 ).
Pertanyaan retoris tersebut mengisyaratkan betapa absurd pemikiran sebagian manusia yang menganggap bahwa penciptaan manusia bukan dengan kejelasan misi serta tujuan. Seakan-akan manusia ada di muka bumi hanyalah permainan semata, sehingga tidak memerlukan pertanggungjawaban. Allah Ta’ala kembali mengingatkan:
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS. 75: 36 ).
Karena manusia memiliki misi yang pasti itulah maka kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang segala aktivitas dalam kehidupannya. Secara umum tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengabdikan diri hanya kepada Allah semata-mata, sebagaimana firman Allah:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. 51: 56 ).
Pengabdian diri kepada Allah memiliki berbagai ragam bentuk. Ada bentuk ibadah khusus seperti shalat, puasa, haji dan lain-lain, dan ada pula ibadah umum seperti bekerja, berumah tangga, bermasyarakat, bernegara dan seluruh aktivitas hidup yang bersesuaian dengan aturan agama disertai niat mengabdi kepadaNya. Dengan demikian kehidupan manusia, sehari semalam 24 jam adalah ibadah, selama ada kesadaran aktif dalam dirinya untuk menjadikan segala aktivitas tersebut sebagai bagian dari ibadah.
Jika seluruh aktivitas kehidupan manusia adalah ibadah, maka bagaimana mungkin seseorang melakukan korupsi, manipulasi dan berbagai tindak kejahatan serta penyimpangan lainnya ? Bagaimana mungkin seseorang menghabiskan waktunya untuk sesuatu yang tidak bermanfaat, bahkan memberikan kemudharatan bagi diri dan orang lain? Bagaimana mungkin tindakan maksiat bisa dilakukan ? Bagaimana mungkin judi, mabuk, dan seks bebas bisa dimanjakan ?
Memang tergantung tujuan hidup masing-masing. Apabila tujuan hidupnya lepas dari bingkai ibadah, maka jadilah kehidupan yang bebas nilai, tidak memperhatikan baik dan buruk, benar dan salah, manfaat atau mudharat. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah kepuasan dan kesenangan, tidak peduli bagaimana cara mencapainya yang penting memuaskan syahwat dan nafsunya, karena memang itulah tujuan hidupnya.
Apabila shalat, puasa dan haji dilakukan, namun tidak berada dalam bingkai kesadaran tujuan hidup, seseorang bisa melakukan korupsi sembari istighfar. Seseorang bisa melakukan manipulasi seraya membaca tasbih. Seseorang bisa melakukan maksiat seraya melafalkan basmalah di awal dan hamdalah di akhirnya. Seseorang bisa mengeluarkan zakat profesi dari hasil pencuriannya. Artinya, mereka terjebak dalam ritual ibadah, bukan pada kesadaran tujuan hidup untuk ibadah.
Maka, yang amat mendasar dari hidup adalah menentukan titik kesadaran tujuan. Dengan memiliki kesadaran yang utuh, bahwa hidup adalah ibadah kepadaNya, akan menjadi penuntun arah yang tak akan sesat dalam perjalanan mengarungi samudera raya kehidupan. Sebagai apapun kita, atau tidak sebagai apapun kita di dunia ini, yang sudah pasti kita adalah hamba yang dituntut mengorientasikan seluruh jiwa, raga, harta dan apapun yang kita punya untuk mengabdi kepadaNya.[]
Agar hidup sekali bisa berarti, diperlukan tujuan yang jelas untuk memandu arah kehidupan. Tanpa tujuan, hidup mengalir bak layang-layang putus tali, tertiup angin tak tahu kemana pergi. Untuk itu, Al Qur’an telah memberikan gambaran yang sangat jelas dan tegas tentang tujuan penciptaan manusia.
Allah telah menetapkan misi yang harus diemban manusia. Sungguh, keberadaannya di muka bumi bukanlah untuk bermain-main tanpa tujuan yang pasti. Cobalah kita perhatikan firman-Nya :
“Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak dikembalikan kepada Kami ?” (QS. 23: 115 ).
Pertanyaan retoris tersebut mengisyaratkan betapa absurd pemikiran sebagian manusia yang menganggap bahwa penciptaan manusia bukan dengan kejelasan misi serta tujuan. Seakan-akan manusia ada di muka bumi hanyalah permainan semata, sehingga tidak memerlukan pertanggungjawaban. Allah Ta’ala kembali mengingatkan:
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS. 75: 36 ).
Karena manusia memiliki misi yang pasti itulah maka kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang segala aktivitas dalam kehidupannya. Secara umum tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengabdikan diri hanya kepada Allah semata-mata, sebagaimana firman Allah:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. 51: 56 ).
Pengabdian diri kepada Allah memiliki berbagai ragam bentuk. Ada bentuk ibadah khusus seperti shalat, puasa, haji dan lain-lain, dan ada pula ibadah umum seperti bekerja, berumah tangga, bermasyarakat, bernegara dan seluruh aktivitas hidup yang bersesuaian dengan aturan agama disertai niat mengabdi kepadaNya. Dengan demikian kehidupan manusia, sehari semalam 24 jam adalah ibadah, selama ada kesadaran aktif dalam dirinya untuk menjadikan segala aktivitas tersebut sebagai bagian dari ibadah.
Jika seluruh aktivitas kehidupan manusia adalah ibadah, maka bagaimana mungkin seseorang melakukan korupsi, manipulasi dan berbagai tindak kejahatan serta penyimpangan lainnya ? Bagaimana mungkin seseorang menghabiskan waktunya untuk sesuatu yang tidak bermanfaat, bahkan memberikan kemudharatan bagi diri dan orang lain? Bagaimana mungkin tindakan maksiat bisa dilakukan ? Bagaimana mungkin judi, mabuk, dan seks bebas bisa dimanjakan ?
Memang tergantung tujuan hidup masing-masing. Apabila tujuan hidupnya lepas dari bingkai ibadah, maka jadilah kehidupan yang bebas nilai, tidak memperhatikan baik dan buruk, benar dan salah, manfaat atau mudharat. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah kepuasan dan kesenangan, tidak peduli bagaimana cara mencapainya yang penting memuaskan syahwat dan nafsunya, karena memang itulah tujuan hidupnya.
Apabila shalat, puasa dan haji dilakukan, namun tidak berada dalam bingkai kesadaran tujuan hidup, seseorang bisa melakukan korupsi sembari istighfar. Seseorang bisa melakukan manipulasi seraya membaca tasbih. Seseorang bisa melakukan maksiat seraya melafalkan basmalah di awal dan hamdalah di akhirnya. Seseorang bisa mengeluarkan zakat profesi dari hasil pencuriannya. Artinya, mereka terjebak dalam ritual ibadah, bukan pada kesadaran tujuan hidup untuk ibadah.
Maka, yang amat mendasar dari hidup adalah menentukan titik kesadaran tujuan. Dengan memiliki kesadaran yang utuh, bahwa hidup adalah ibadah kepadaNya, akan menjadi penuntun arah yang tak akan sesat dalam perjalanan mengarungi samudera raya kehidupan. Sebagai apapun kita, atau tidak sebagai apapun kita di dunia ini, yang sudah pasti kita adalah hamba yang dituntut mengorientasikan seluruh jiwa, raga, harta dan apapun yang kita punya untuk mengabdi kepadaNya.[]
*posted: pkspiyungan.blogspot.com