Pemimpin yang terperangkap pada populisme akan gagal mengerjakan porsi tugas dalam era kepemimpinannya karena disorientasi tujuan dari yang seharusnya pada maslahat bangsa kepada orientasi pencitraan diri
Jebakan Populisme Bagi Pemimpin
Oleh: Andi Irawan
Saya ingin share tentang ilmu lapangan yang saya dapati dari melihat, mencermati, merasakan termasuk sedikit terlibat dalam bagaimana setidaknya Negara dikelola.
Saya detik ini meyakini bahwa Negara ini akan sukses dikelola para pemimpin yang berkarakter leadership, dan salah satu karakter penting yang saya lihat sangat dibutuhkan di lapangan adalah pemimpin yang populis tetapi tidak terperangkap pada populisme. Seorang pemimpin bangsa dan pejabat public harus populis. Artinya goal dan orientasi kebijakan dan tindakan yang diambilnya berorientasi sepenuhnya pada maslahat bangsa. Sedangkan populisme adalah orientasi kebijakan dan tindakan adalah agar diterima dan diapresiasi oleh public bersifat segera dan myopic oriented.
Salah satu jebakan penting di era keterbukaan dan demokrasi bagi para pemimpin adalah perangkap populisme ini. Mengapa saya katakan demikian? Pemimpin yang terperangkap pada populisme akan gagal mengerjakan porsi tugas dalam era kepemimpinannya karena disorientasi tujuan dari yang seharusnya pada maslahat bangsa kepada orientasi pencitraan diri.
Bangsa ini akan maju proses pembangunan jika dilakukan secara efisien. Kelembagaan Negara dan pasar akan menjadi efisien dan berdaya saing tinggi jika transaction cost yang dibebankan kepada para pelaku ekonomi adalah yang paling rendah ketika berinteraksi dengan lembaga-lembaga tersebut. Sumber tingginya transcation cost adalah korupsi. Pemimpin yang populis memberantas korupsi dalam rangka untuk menghadirkan maslahat bangsa yakni menghadirkan lembaga-lembaga Negara dan pasar yang efisien. Sebaliknya pemimpin yang terperangkap pada populisme akan melakukan pemberantasan korupsi hanya sekedar untuk diparesiasi public dan tidak ada implikasi sama sekali terhadap hadirnya lembaga-lembaga Negara dan pasar yang efisien tersebut.
Jika motif pemberantasan korupsi karena maslahat bangsa maka seperti yang direkomendasi oleh pakar korupsi, anda harus berani melakukan langkah-langkah besar. Sejahterakan para pegawai secara manusiawi. Selanjutnya tegakkan Adagium yang dilakukan pemimpin Cina ketika memulai perang terhadap korupsi “saya telah siapkan 100 peti mati untuk biangnya koruptor dan 1 peti untuk saya sendiri jika saya korupsi”. Dan pemberantasan korupsi diprioritaskan pada target yang mempunyai implikasi kelembagaan yang besar. Kita sepakat, pemberantasan korupsi memang harus tebang pilih karena keterbatasan resource, SDM dan lain-lain. Tetapi tebang pilih yang berorientasi pada maslahat bangsa itu adalah ketika prioritas target pemberantasan itu dilakukan pada “paus dan hiu”nya koruptor. Ketika anda lakukan prioritas pemberantasan korupsi itu pada “teri”nya koruptor, sekalipun ratusan bahkan ribuan “teri” yang berhasil anda tangkap, saya yakinkan anda, anda hanya sedang berbasa-basi tentang pemberantasan korupsi dan anda sedang terperangkap dalam populisme dalam pemberantasan korupsi.
Kalau kita ingin membangun bangsa ini maka harus banyak melibatkan stake holder di luar pemerintah yang kita katakan private sector. Tetapi keterlibatan mereka tidak bisa maksimal karena setelah terhambat oleh transacsional cost yang tinggi juga karena ketersediaan infratsruktur yang minim. Betapa banyak investor gagal masuk hanya karena masalah infrastruktur. Proyek investasi puluhan miliar dolar batal hadir hanya karena setelah dilakukan feasibility project infrastruktur yang sangat minim seperti listrik yang byar-pet, pelabuhan yang tidak representative, jalan-jalan Negara yang rusak dan lain-lain.
Pemimpin yang populis berani mengambil tindakan yang sangat mungkin tidak popular, untuk kasus listrik misalnya dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir karena pembangkit Listrik tenaga nuklir adalah yang paling efisien dan paling murah di dunia. Tentu konsekuensi manajemen pengolahannya juga harus sangat efisien dan professional.
Populisme dalam era demokrasi sangat mudah terjadi. Karena pemimpin atau pejabat publik merasa eksistensinya ada ketika publik senang terhadap dirinya. Celakanya bangsa dan negara ini ketika seorang pemimpin berorientasi demikian. Karena banyak pekerjaan besar yang harus dilakukan pemimpin yang bahkan menyebabkan ia menjadi tidak populer. Perangkap populisme mudah terjadi karena seorang pemimpin atau pejabat publik seperti yang dikatakan oleh Garry S Backer -seorang ekonom kelembagaan- adalah sosok yang self interest. Mereka melakukan dan mengambil kebijakan bukan karena kebijakan tersebut menguntungkan atau mensejahterakan publik tapi karena akan menguntungkan dirinya.[]
Saya detik ini meyakini bahwa Negara ini akan sukses dikelola para pemimpin yang berkarakter leadership, dan salah satu karakter penting yang saya lihat sangat dibutuhkan di lapangan adalah pemimpin yang populis tetapi tidak terperangkap pada populisme. Seorang pemimpin bangsa dan pejabat public harus populis. Artinya goal dan orientasi kebijakan dan tindakan yang diambilnya berorientasi sepenuhnya pada maslahat bangsa. Sedangkan populisme adalah orientasi kebijakan dan tindakan adalah agar diterima dan diapresiasi oleh public bersifat segera dan myopic oriented.
Salah satu jebakan penting di era keterbukaan dan demokrasi bagi para pemimpin adalah perangkap populisme ini. Mengapa saya katakan demikian? Pemimpin yang terperangkap pada populisme akan gagal mengerjakan porsi tugas dalam era kepemimpinannya karena disorientasi tujuan dari yang seharusnya pada maslahat bangsa kepada orientasi pencitraan diri.
Bangsa ini akan maju proses pembangunan jika dilakukan secara efisien. Kelembagaan Negara dan pasar akan menjadi efisien dan berdaya saing tinggi jika transaction cost yang dibebankan kepada para pelaku ekonomi adalah yang paling rendah ketika berinteraksi dengan lembaga-lembaga tersebut. Sumber tingginya transcation cost adalah korupsi. Pemimpin yang populis memberantas korupsi dalam rangka untuk menghadirkan maslahat bangsa yakni menghadirkan lembaga-lembaga Negara dan pasar yang efisien. Sebaliknya pemimpin yang terperangkap pada populisme akan melakukan pemberantasan korupsi hanya sekedar untuk diparesiasi public dan tidak ada implikasi sama sekali terhadap hadirnya lembaga-lembaga Negara dan pasar yang efisien tersebut.
Jika motif pemberantasan korupsi karena maslahat bangsa maka seperti yang direkomendasi oleh pakar korupsi, anda harus berani melakukan langkah-langkah besar. Sejahterakan para pegawai secara manusiawi. Selanjutnya tegakkan Adagium yang dilakukan pemimpin Cina ketika memulai perang terhadap korupsi “saya telah siapkan 100 peti mati untuk biangnya koruptor dan 1 peti untuk saya sendiri jika saya korupsi”. Dan pemberantasan korupsi diprioritaskan pada target yang mempunyai implikasi kelembagaan yang besar. Kita sepakat, pemberantasan korupsi memang harus tebang pilih karena keterbatasan resource, SDM dan lain-lain. Tetapi tebang pilih yang berorientasi pada maslahat bangsa itu adalah ketika prioritas target pemberantasan itu dilakukan pada “paus dan hiu”nya koruptor. Ketika anda lakukan prioritas pemberantasan korupsi itu pada “teri”nya koruptor, sekalipun ratusan bahkan ribuan “teri” yang berhasil anda tangkap, saya yakinkan anda, anda hanya sedang berbasa-basi tentang pemberantasan korupsi dan anda sedang terperangkap dalam populisme dalam pemberantasan korupsi.
Kalau kita ingin membangun bangsa ini maka harus banyak melibatkan stake holder di luar pemerintah yang kita katakan private sector. Tetapi keterlibatan mereka tidak bisa maksimal karena setelah terhambat oleh transacsional cost yang tinggi juga karena ketersediaan infratsruktur yang minim. Betapa banyak investor gagal masuk hanya karena masalah infrastruktur. Proyek investasi puluhan miliar dolar batal hadir hanya karena setelah dilakukan feasibility project infrastruktur yang sangat minim seperti listrik yang byar-pet, pelabuhan yang tidak representative, jalan-jalan Negara yang rusak dan lain-lain.
Pemimpin yang populis berani mengambil tindakan yang sangat mungkin tidak popular, untuk kasus listrik misalnya dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir karena pembangkit Listrik tenaga nuklir adalah yang paling efisien dan paling murah di dunia. Tentu konsekuensi manajemen pengolahannya juga harus sangat efisien dan professional.
Populisme dalam era demokrasi sangat mudah terjadi. Karena pemimpin atau pejabat publik merasa eksistensinya ada ketika publik senang terhadap dirinya. Celakanya bangsa dan negara ini ketika seorang pemimpin berorientasi demikian. Karena banyak pekerjaan besar yang harus dilakukan pemimpin yang bahkan menyebabkan ia menjadi tidak populer. Perangkap populisme mudah terjadi karena seorang pemimpin atau pejabat publik seperti yang dikatakan oleh Garry S Backer -seorang ekonom kelembagaan- adalah sosok yang self interest. Mereka melakukan dan mengambil kebijakan bukan karena kebijakan tersebut menguntungkan atau mensejahterakan publik tapi karena akan menguntungkan dirinya.[]
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Indonesia