Melawan kekerasan tak bisa dipisahkan dari sikap adil. Standar ganda hanya akan mengaburkan esensi dan menjauhkan kita dari solusi.-Farid Gaban-
Dua hari ini media hangat mewartakan 'kekerasan' dan upaya mengkampanyekan 'Indonesia Tanpa Kekerasan'. Sayangnya banyak media terjebak pada politisasi isu anti kekerasan ini dan melupakan esensi akar segala konflik kekerasan yang terjadi di Indonesia.
Farid Gaban, seorang wartawan dan penulis freelance, melalui akun twiternya @fgaban dengan hashtags #polisi memaparkan 'akar kekerasan' yang selama ini terjadi. Mungkin ada yang tidak sepenuhnya setuju dengan pandangannya, tetapi kita juga harus adil dan open mind terhadap setiap pendapat untuk mengurai akar masalah dan mencari solusi bagi kemaslahatan masyarakat dan negeri tercinta ini.
Farid Gaban, seorang wartawan dan penulis freelance, melalui akun twiternya @fgaban dengan hashtags #polisi memaparkan 'akar kekerasan' yang selama ini terjadi. Mungkin ada yang tidak sepenuhnya setuju dengan pandangannya, tetapi kita juga harus adil dan open mind terhadap setiap pendapat untuk mengurai akar masalah dan mencari solusi bagi kemaslahatan masyarakat dan negeri tercinta ini.
Berikut twit @fgaban dengan hesteg #polisi:
- Setuju dg beberapa ulasan yg menyebut salah satu akar kekerasan sejati di Indonesia adalah korupnya lembaga kepolisian.
- Polisi korup (corrupted): jadi centeng, mendalangi / membiarkan kekerasan, dan akhirnya hilang otoritas moral menindak kekerasan.
- Padahal, wewenang polisi sebenarnya makin sentral dan menentukan setelah reformasi #polisi.
- Reformasi menempatkan polisi lebih mandiri (dulu di bawah bayang-bayang TNI). Dan memang seharusnya begitu.
- Arus liberalisasi ekonomi, privatisasi dan investasi, juga memperkuat polisi sebagai "penjamin" keamanan aset/kapital.
- Tapi, legitimasi terbesar polisi dlm 10 tahun terakhir didapat dr "perang melawan teror" yg disponsori AS dan jarang dikritisi.
- Polisi yg mandiri dan kuat itu penting, tapi sayang tak ada mekanisme untuk mengawasi penyalahgunaan kuasanya.
- Di luar lembaga formal pun jarang ada yang mempertanyakan wewenang eksesif polisi. Misalnya dalam kasus terorisme.
- Alih-alih kritis, media menempatkan diri sbg "pemandu sorak" tiap kali polisi menangkap & membunuh tersangka teroris.
- Pada 2010, Kapolri bilang: "perang melawan teror" dalam 10 tahun telah menangkap 563 teroris, mengadili 471 dan menembak mati 44.
- Dlm konteks "perang melawan teror", itu penangkapan dan pembunuhan terbesar di dunia, di luar Irak dan Afghanistan.
- Tapi, itu bukan sukses. Pembunuhan oleh polisi itu bisa dikategorikan sebagai extrajudicial killings, pelanggaran HAM berat.
- Banyak orang ditembak mati bahkan sebelum jadi tersangka. Mereka baru DIDUGA melakukan aksi terorisme.
- Itu juga bukan sukses, sebab sampai pekan ini "perang melawan teror" Indonesia masih berlangsung sementara di AS sendiri dilupakan.
- "Perang melawan teror" terbukti punya banyak unsur rekayasa dan konspirasi, spt sangat telanjang dlm kasus Afghanistan dan Irak.
- Selama ini, media & intelektual mainstream tak kritis untuk kasus yang menyudutkan/merugikan mereka yg dituduh "teroris".
- Ada bias ideologi sekular vs Islamis dalam menyikapi isu "perang melawan teror" ini.
- Aktivis sekular yg tergabung dlm Jaringan Islam Liberal, misalnya, bukan cuma tak kritis, tapi bahkan mendukung buta polisi.
- Di Koran Tempo 06/07/2007, Luthfi Assyaukanie (JIL + Freedom) mengecam orang yg kritis terhadap polisi sebagai "pembela teroris".
- Argumen seperti itulah yg melegitimasi kekerasan oleh polisi, dan memberi polisi blanko kosong wewenang yg potensial disalahgunakan.
- JIL melegitimasi kekuasaan eksesif polisi (dan juga intelijen) yg bisa merugikan masyarakat sipil keseluruhan, termasuk non-muslim.
- Aktivis JIL menerapkan standar ganda: Membela buta kekerasan polisi, mengutuk buta kekerasan kaum Islamis.
- Sikap standar ganda itu tdk menolong keadaan. Alih2 memperkuat perlawanan vertikal (thd polisi), kita terjebak konflik horisontal.
- Saya tahu dan yakin, gerakan #IndonesiaTanpaFPI kemarin tdk dimotori JIL. Tapi, stigmatisasi kedua pihak telah demikian kental.
- Bagi FPI (dan simpatisan diamnya) tiap upaya menyudutkan kubu Islamis akan dilihat sbg konspirasi yg melibatkan JIL. Pikiran konyol.
- "Teori konspirasi" dan standar ganda menjangkiti kedua kubu, baik JIL maupun FPI. Dan itu disayangkan.
- Melawan kekerasan tak bisa dipisahkan dari sikap adil. Standar ganda hanya akan mengaburkan esensi dan menjauhkan kita dari solusi.
- Dan akhirnya, meluasnya kekerasan jelas bukan soal FPI vs JIL. Ini tentang korupnya lembaga kepolisian. Tentang gagalnya negara.
- Sekian. #polisi
by: admin pkspiyungan
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia