Oleh Ahmad Sarwat, Lc
Di zaman modern ini, setiap masalah punya ahli di bidangnya masing-masing. Dan nyaris mustahil ada orang yang mengerti semua cabang dan bidang kehidupan.
Maka seorang mufti juga mustahil bisa bekerja sendirian tanpa melibatkan para pakar dan ahli di bidangnya. Sebab boleh jadi dia tidak mengerti duduk permasalahan, lalu memutuskan perkara dengan keliru, akibat keawamannya.
Seorang mufti memang harus tahu banyak hal, tidak hanya mengenal urusan agama semata. Seorang mufti dituntut untuk bisa menyelesaikan banyak masalah di berbagai sudut kehidupan manusia. Kalau dirinya tidak banyak tahu realita kehidupan, maka akan terjadi kesenjangan antara fatwa dengan kenyataan.
Oleh karena itulah Allah SWT tidak pernah mengutus para nabi dan rasul kepada suatu bangsa, kecuali nabi dan rasul itu berasal dari bangsa itu sendiri. Tujuannya agar para nabi dan rasul itu mengerti betul objek dakwahnya dan kepada siapa mereka berbicara.
Para nabi dan rasul tidak diutus kecuali mereka berbahasa umatnya.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. (QS. Ibrahim : 4)
Seorang mufti ahli syariah akan kesulitan menjawab masalah hukum fiqih yang terkait dengan ilmu kedokteran. Maka dia wajib berdiskusi dengan para dokter dari berbagai keahlian.
Untuk bisa menetapkan sebuah transaksi ekonomi itu termasuk halal atau haram, para mufti sangat membutuhkan penjelasan yang luas dan mendalam dari para pakar ekonomi, termasuk para praktisi bisnis.
Apalagi untuk berfatwa yang menyangkut luar angkasa antariksa, mutlak diperlukan mufti yang melek ilmu-ilmu antariksa secara utuh, agar jangan sampai jadi bahan olok-olok banyak orang, termasuk non-muslim.
Dahulu para pendeta Kristen membunuh para ilmuwan karena penemuan ilmiyah mereka dianggap bertentangan dengan doktrin gereja. Galileo Galilei (1564-1642) ditangkap para tokoh agama, diadili, dan dijatuhi hukuman sebagai tahanan rumah. Galileo meninggal pada usia 78 tahun di Arcetri pada tanggal 8 Januari 1642 .
Apa dosa si penemu teleskop itu? Dosanya karena dia mengatakan bumi itu bulat dan bahwa matahari diam di tempat, sementara bumi berputar mengelilinginya. Dan hal itu bertentangan dengan dogma gereja saat itu.
Dan sebelumnya Copernicus (1473-1543) telah mati dihukum oleh Gereja. Alasannya sangat tidak masuk akal. Ilmuwan ini oleh gereja dianggap menentang kehendak tuhan, karena membuka tabir ilmu pengetahuan yang dianggap bertentangan dengan fatwa-fatwa gereja.
Padahal yang terjadi malah sebaliknya. Justru gereja yang menutup mata dengan ilmu pengetahuan modern, serta membutakan manusia dari kemampuan ilmiyah pemberian Allah.
Sayangnya, kejumudan gereja di abad pertengahan itu pun terjadi di dunia Islam di zaman modern ini. Di abad 20 yang modern ini, dimana bumi mengitari matahari sudah bukan lagi teori tetapi realitas yang bisa dilihat dan dipraktekkan, ternyata masih ada ulama yang berfatwa bahwa bumi tidak berputar mengelilingi matahari, tetapi sebaliknya, justru matahari itulah yang berputar mengelilingi bumi.
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (29 Maret 1929 - 11 Januari 2001) dalam kitabnya Fatawa Arkanul Iman mengatakan bahwa matahari bergerak mengelilingi bumi. Pada halaman 43, menjawab pertanyaan nomor 16, apakah matahari bergerak mengelilingi bumi?.
Syeikh yang pernah menjabat sebagai mufti resmi Kerajaan Saudi Arabia ini dengan tegas mengatakan bahwa zhahir nash di dalam Al-Quran semua menunjukkan bahwa bukan bumi yang bergerak mengelilingi matahari, tetapi justru matahari yang bergerak mengelilingi bumi.
Al-Utsaimin agaknya cukup serius ketika menjawab masalah matahari mengelilingi bumi ini, sebab tidak kurang ada delapan ayat Al-Quran yang berbeda yang dicantumkan untuk melandasi pendapatnya. Masih ditambah lagi dengan dua hadits nabawi.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa Al-Utsaimin ini bukan ulama salaf yang hidup di zaman tabi'in atau atba'ut-tabi'in, atau di masa para imam empat mazhab. Tetapi dia hidup di zaman dimana orang sudah terbang menembus angkasa, bahkan sudah berkali-kali mendarat dan menjejekkan kaki di bulan. Sayang sekali, fatwa itu keluar di zmaan kita sudah menggunakan GPS di mobil dan telepon genggam.
Tentu kita tidak boleh mengejek atau mencaci maki para ulama dan mufti. Bahwa mereka berijtihad sesuai dengan kadar ilmu dan wawasan mereka, tentu kita harus hormati. Kalau pun hasil ijtihad mereka benar, tentu kita terima. Tetapi kalau kita semua tahu persis bahwa ijtihad itu kurang tepat, bukan berarti kita boleh mengejek beliau.
Namun setidaknya-tidaknya kita bisa mendapatkan beberapa pelajaran penting, antara lain :
1. Seorang mufti perlu banyak mengerti ilmu-ilmu lain di luar bidangnya, meski tidak harus terlalu mendalam.
2. Seorang mufti harus melibatkan banyak para pakar yang ahli di wilayah yang tidak dikuasainya.
3. Seorang mufti boleh salah dalam fatwanya, tapi tidak perlu dihina atau dicaci maki. Karena manusia itu boleh salah. Dan orang salah yang terbaik adalah yang segera memperbaiki kesalahannya.
4. Mengoreksi fatwa seorang mufti dibenarkan, asalkan ada landasan hujjah yang kuat, bukan semata-mata berangkat dari rasa benci dan ingin menjatuhkan citra.
Wassalam
*)http://www.facebook.com/ustsarwat/posts/362602683757060
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia