[REPUBLIKA - Tajuk 27/1/2012]
Kabar yang sudah lama ditunggu-tunggu itu akhirnya datang. Miranda Swaray Goeltom ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap untuk pemenangan Miranda sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004.
Peningkatan status dari penyelidikan menjadi penyidikan terhadap tersangka Miranda tersebut didasarkan pada hasil ekspose dan pendalaman terhadap kasus cek pelawat. Miranda dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf b dan Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto dan atau Pasal 55 ayat 1 dan ayat 2 KUH Pidana.
Sejauh ini kasus cek pelawat ini sudah memakan cukup banyak korban, termasuk orang-orang berpengaruh di DPR seperti Panda Nababan dan Paskah Suzeta. Mereka sudah masuk di hotel prodeo beserta puluhan mantan anggota DPR lain yang terlibat kasus yang sama. Satu lagi, istri mantan Wakapolri Adang Darajatun, Nunun Nurbaetie, yang tinggal dua-tiga langkah lagi menyusul ke penjara.
Kasus ini sempat buntu ketika Nunun Nurbaetie yang membagibagikan cek tersebut kabur ke luar negeri. Setelah setahun lebih menjadi buron, akhirnya Nunun tertangkap KPK, dan segera dilakukan pemeriksaan. Hasil pemeriksaan Nunun yang sudah lebih dahulu dijadikan tersangka itulah yang membuka peluang menjadikan Miranda sebagai tersangka.
Beberapa partai politik yang anggotanya masuk bui karena kasus ini berang terhadap KPK. Mereka terus menuntut siapa yang menyuap para anggota DPR itu. Jurus yang dipakai, orang yang disuap sudah masuk ke penjara, mengapa yang menyuap masih bisa bebas di luar? Kini pertanyaan itu sebagian sudah terjawab dengan status tersangka Miranda.
Apakah sudah cukup sampai Miranda? Harusnya tidak. Dicurigai ada penyandang dana yang berada di belakang Miranda yang rela memberikan dana sebesar Rp 24 miliar. Gaji sebagai DGS memang besar, tapi untuk mengembalikan modal sebesar itu butuh sekitar tiga tahun, jadi rasanya tidak mungkin Miranda membiayai sendiri.
Menyingkap penyandang dana ini tidak kalah penting dengan menersangkakan Miranda. Karena, ketika dia berani mensponsori seseorang menjadi pejabat dengan biaya cukup besar, akan ada konsekuensi yang harus ditanggung sang pejabat. Kata orang Barat `no free lunch', atau tak ada makan siang gratis. Jadi, tak ada pula dana gratis buat pejabat, mereka akan diikat oleh janji-janji sebelum jadi pejabat.
Kunci tentang siapa penyandang dana tentu ada pada Miranda. Setidaknya Miranda bisa menjadi pintu masuk. Keterangan Miranda bisa jadi akan berbeda dengan yang lain, karena mereka hanya menerima cek. Penyidik KPK harus bisa menelisik sampai pada akarnya. Mungkin saja Miranda bungkam karena menyangkut perjanjian mereka. Justru di sinilah tantangan buat KPK untuk mencari tahu.
Bukan cuma penyandang dana, diharapkan dari pemeriksaan Miranda juga bisa terkuak siapa-siapa saja selain anggota DPR yang sudah masuk penjara yang juga menerima cipratan cek dari dia. Secara logika, para anggota DPR itu tidak mungkin bermain sendirian secara personal, tentu ada instruksi dari partai secara resmi. Jika ada instruksi dari partai, secara logika pula ada aliran cek ke petinggi partai.
Kita berharap, KPK bekerja lebih keras lagi untuk bisa mengungkap secara gamblang kasus cek pelawat ini. Kita berharap pula Miranda tidak mengorbankan diri sendiri dengan menutup-nutupi pihak lain yang tersangkuit dengan masalah cek haram ini.
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia
Peningkatan status dari penyelidikan menjadi penyidikan terhadap tersangka Miranda tersebut didasarkan pada hasil ekspose dan pendalaman terhadap kasus cek pelawat. Miranda dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf b dan Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto dan atau Pasal 55 ayat 1 dan ayat 2 KUH Pidana.
Sejauh ini kasus cek pelawat ini sudah memakan cukup banyak korban, termasuk orang-orang berpengaruh di DPR seperti Panda Nababan dan Paskah Suzeta. Mereka sudah masuk di hotel prodeo beserta puluhan mantan anggota DPR lain yang terlibat kasus yang sama. Satu lagi, istri mantan Wakapolri Adang Darajatun, Nunun Nurbaetie, yang tinggal dua-tiga langkah lagi menyusul ke penjara.
Kasus ini sempat buntu ketika Nunun Nurbaetie yang membagibagikan cek tersebut kabur ke luar negeri. Setelah setahun lebih menjadi buron, akhirnya Nunun tertangkap KPK, dan segera dilakukan pemeriksaan. Hasil pemeriksaan Nunun yang sudah lebih dahulu dijadikan tersangka itulah yang membuka peluang menjadikan Miranda sebagai tersangka.
Beberapa partai politik yang anggotanya masuk bui karena kasus ini berang terhadap KPK. Mereka terus menuntut siapa yang menyuap para anggota DPR itu. Jurus yang dipakai, orang yang disuap sudah masuk ke penjara, mengapa yang menyuap masih bisa bebas di luar? Kini pertanyaan itu sebagian sudah terjawab dengan status tersangka Miranda.
Apakah sudah cukup sampai Miranda? Harusnya tidak. Dicurigai ada penyandang dana yang berada di belakang Miranda yang rela memberikan dana sebesar Rp 24 miliar. Gaji sebagai DGS memang besar, tapi untuk mengembalikan modal sebesar itu butuh sekitar tiga tahun, jadi rasanya tidak mungkin Miranda membiayai sendiri.
Menyingkap penyandang dana ini tidak kalah penting dengan menersangkakan Miranda. Karena, ketika dia berani mensponsori seseorang menjadi pejabat dengan biaya cukup besar, akan ada konsekuensi yang harus ditanggung sang pejabat. Kata orang Barat `no free lunch', atau tak ada makan siang gratis. Jadi, tak ada pula dana gratis buat pejabat, mereka akan diikat oleh janji-janji sebelum jadi pejabat.
Kunci tentang siapa penyandang dana tentu ada pada Miranda. Setidaknya Miranda bisa menjadi pintu masuk. Keterangan Miranda bisa jadi akan berbeda dengan yang lain, karena mereka hanya menerima cek. Penyidik KPK harus bisa menelisik sampai pada akarnya. Mungkin saja Miranda bungkam karena menyangkut perjanjian mereka. Justru di sinilah tantangan buat KPK untuk mencari tahu.
Bukan cuma penyandang dana, diharapkan dari pemeriksaan Miranda juga bisa terkuak siapa-siapa saja selain anggota DPR yang sudah masuk penjara yang juga menerima cipratan cek dari dia. Secara logika, para anggota DPR itu tidak mungkin bermain sendirian secara personal, tentu ada instruksi dari partai secara resmi. Jika ada instruksi dari partai, secara logika pula ada aliran cek ke petinggi partai.
Kita berharap, KPK bekerja lebih keras lagi untuk bisa mengungkap secara gamblang kasus cek pelawat ini. Kita berharap pula Miranda tidak mengorbankan diri sendiri dengan menutup-nutupi pihak lain yang tersangkuit dengan masalah cek haram ini.
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia