Setahun Revolusi Mesir


Oleh Rois Rahma Fathoni
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir

Pada mulanya, setiap 25 Januari diperingati sebagai hari ulang tahun polisi. Namun, pada 2011, karena hak khusus yang dimiliki kepolisian untuk berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya berdasarkan UU Darurat Militer serta masalah ekonomi yang dimonopoli oleh pengusaha-pengusaha gelap lingkaran kekuasaan, pemuda Mesir merayakannya dengan demonstrasi di lapangan Tahrir membawa tiga tuntutan: bahan makanan, kebebasan, dan keadilan sosial.

Namun, rezim menanggapinya dengan arogan. Bukannya bubar, demonstran justru mengubah tuntutan: presiden beserta kroninya wajib lengser. Massa di Tahrir bertambah banyak. Demonstrasi merambah ke seluruh provinsi di Mesir. Mubarak panik. Para preman dan tahanan dilepas, dibayar untuk membubarkan Tahrir. Sebagiannya dengan menunggang unta dan mabuk membabi buta menyerang massa. Mayoritas demonstran yang dikepung unta dari berbagai pintu masuk Tahrir itu kocar-kacir. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Mauqiul Jamal, hingga mencoreng Mesir dan Mubarak.

Pemilu legislatif

Pemilu di Mesir telah berlangsung. Dua parpol Islam meraih kemenangan mutlak. Kemenangan dua partai berideologi Islam itu menarik untuk dicermati. Sebab, keduanya berawal dari ormas: Freedom Justice Party (FJP) dilahirkan oleh Ikhwanul Muslimin meraih 235 kursi atau sekitar 46,2 persen dan Partai An-Nur didirikan oleh kelompok Salafi mengantongi 24,8 persen (125 wakil rakyat).

Pertama, Ikhwanul Muslimin. Sepak terjang politiknya sebagai oposisi dianggap membahayakan rezim Husni Mubarak. Ikhwanul Muslimin kemudian ditetapkan sebagai organisasi terlarang. Gerak politiknya dipasung. Sumber mata pencaharian kadernya disegel. Mayoritas pimpinannya dijebloskan ke Mahkamah Militer. Sejak pertama kali didirikan oleh Hasan al-Banna pada 1928, Ikhwanul Muslimin tidak mendirikan partai. Satu-satunya jalan yang mengantarkan kadernya ke parlemen melalui jalur independen.

Pada 2005, meskipun dibekap, Ikhwanul Muslimin mendapat 20 persen suara (88 kursi). Itulah yang menyebabkan Mubarak berpikir untuk menghentikan mereka di pemilu legislatif pengujung 2010. Hasilnya, tidak semua rakyat boleh menyalurkan aspirasi suaranya, Partai Nasional Demokrat underbow Mubarak menang telak 99 persen dan pada awal 2011 revolusi pecah. Sejak itu, embel-embel `terlarang' dicabut dari nama Ikhwanul Muslimin.

Maka, komunikasi publik menjadi tantangan terbesar FJP. Meskipun Ikhwanul Muslimin telah lama berkecimpung dalam dunia politik, namun geraknya yang dibatasi dan keluar masuknya pimpinan sebagai tahanan politik menjadikan mereka lebih sering berinteraksi dengan kalangan internal. FJP pun kemudian merangkul seluruh elemen. Dan, hasilnya luar biasa, mereka menguasai parlemen.

Kedua, Salafi. Berbeda dengan Ikhwanul Muslimin yang dikekang, kelompok Salafi justru mendapat kebebasan. Mereka menyebarkan ide-ide melalui masjid, media massa elektronik, dan cetak. Namun, secara tidak langsung mereka juga terzalimi. Ide pemikiran Salafi yang melarang seorang muslim menjadi oposisi, baik dengan demonstrasi maupun revolusi dimanfaatkan rezim Mubarak demi kejayaannya.

An-Nur dituntut banyak melakukan ijtihad baru agar selaras dengan kebutuhan zaman. Di sinilah kemudian muncul problem internal An-Nur. Kasus boleh tidaknya berkoalisi dengan kelompok sekuleris dan liberalis sempat memicu gonjang-ganjing. Tak lama setelah ketua partai An-Nur menyatakan kesiapan untuk berkoalisi dengan partai berideologi bukan Islam, syeikh Burhami-ketua dewan syariah An-Nur yang merangkap sebagai wakil ketua jamaah Salafi Mesir--menetapkan fatwa pengharaman.

An-Nur perlu memiliki satu lembaga yang menyatukan pendapat ulama Salafi berkaitan dengan kebijakan partai. Bila tidak mampu teratasi, An-Nur terancam pecah. Inilah tantangan yang dihadapi partai An-Nur. FJP dan An-Nur perlu belajar dari Rasyid Ghanusi, ketua partai An-Nahda yang sekarang menjabat Perdana Menteri Tunisia. “Partai memiliki prioritas masalah yang harus ditangani, yakni pertumbuhan ekonomi, pengentaskan pengangguran dan pemberantasan korupsi.“

Mesir hari ini

Meskipun pemikir besar Mesir Fahmi Huwaidy sejak lama menyatakan bahwa negerinya ibarat dinamit siap meledak--yang dibutuhkan hanya seorang pemimpin membawa sepercik api lalu menyulutnya--namun, nyatanya tidak siapa pun melakukannya. Yang terjadi dinamit itu dibawa bersama-sama dan diledakkan bersama.

Jadi, revolusi Mesir tidak berpemimpin. Rakyat keluar berbondong-bondong menggulingkan Mubarak tanpa satu ideologi tertentu yang digadang-gadang. Sebab, ini revolusi rakyat, maka rakyat sendirilah yang berhak menentukan siapa pemimpinnya, partai yang mewakili aspirasinya dan seperti apa konsitusi negaranya kelak: lewat jalan demokrasi.

Pertanyaan mengenai bagaimana perjalanan revolusi selama setahun ini? Setidaknya Mesir terpetakan menjadi tiga kelompok.

Pertama, revolusi belum menghasilkan apa-apa. Dewan Militer pengganti rezim Mubarak gagal merealisasikan tuntutan `bahan makanan, kebebasan, dan keadilan sosial.' Satu-satunya solusi adalah merevolusi dan menggulingkan Dewan Militer pada 25 Januari 2012 ini--bertepatan ketika rakyat turun ke jalan merayakannya sebagai hari besar. Berbeda dengan sewaktu menggulingkan Mubarak dulu, rencana revolusi kedua 25 Januari ini disulut oleh kelompok tertentu. Jika niat ini berhasil dan militer terguling, maka merekalah yang akan mengisi tampuk pemerintahan.

Kedua, kelompok ini menyatakan revolusi sudah selesai. Dewan militer telah memberikan andil besar mengantarkan Mesir melewati terowongan gelap masa transisi. Maka, patut diberikan keistimewaan dalam undang-undang sebagaimana dicetuskan Wakil Perdana Menteri Ali Silmi. Kelompok ini mayoritas antek-antek Mubarak yang berharap dengan diberikannya Dewan Militer wewenang khusus akan menyelamatkan kepentingan dan kedudukan mereka.

Dan, kelompok ketiga yakni revolusi masih di pertengahan jalan. Beberapa tuntutan telah diselesaikan; membubarkan parlemen 2010 yang penuh kecurangan, mengadili Mubarak, dan menghapus Amnu Ad-Daulah (State Security).

Namun, sesuai amanat referendum, rakyat Mesir harus menyempurnakan revolusinya, melewati tikungan tajam berikutnya, seperti amendemen konstitusi dan penyerahan kekuasaan dari Dewan Militer kepada sipil. Sebagian besar partai politik dan ahli hukum Mesir semisal Thariq Bisri berpendapat demikian.

Pada dasarnya, 25 Januari 2012 ini tidak akan terjadi revolusi atas militer. Meskipun Baradie, tokoh yang dinobatkan salah satu media massa Amerika sebagai simbol perubahan, sehari setelah bertemu mantan presiden Amerika Serikat Jimmy Carter, ia menyatakan mengundurkan diri dari laga pemilihan presiden. Dengan mengkritik pedas perjalanan pemerintahan Dewan Militer yang tak lain hanyalah boneka Mubarak, Baradie menyeru rakyat Mesir untuk kembali turun ke jalan.

Semua bergantung kepada bagaimana penyikapan militer terhadap demonstrasi yang digalang Baradie. Bila terlalu arogan seperti Mubarak, tidak mustahil rakyat Mesir yang kental solidaritasnya akan berduyun-duyun menyambut seruan Baradie. Meskipun menurut survei, pendukung Baradie tidak lebih dari dua persen. [REPUBLIKA - 25/1/12]


*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia
Baca juga :