Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta pemerintah daerah untuk tetap memberlakukan perda tentang larangan minuman keras (miras) kendati masuk dalam evaluasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Perda-perda tersebut, menurut MUI tak melanggar konstitusi.
“Perda dibuat melalui mekanisme demokrasi dan bersifat konstitusional. Artinya, perda merupakan perwujudan aspirasi masyarakat dan sesuai dengan kebijakan dan kesepakatan bersama pemerintah daerah dan DPRD,“ ujar Ketua Harian MUI, Ma'ruf Amin, kepada Republika, Selasa (17/1) kemarin.
Tak hanya itu, Ma'ruf juga mengatakan, sebaiknya soal pelarangan miras ini dibuatkan perundangannya. Dengan demikian, larangan miras dapat berlaku secara nasional. Menurut Ma’ruf, perda pelarangan miras ini membawa banyak manfaat bagi masyarakat. Ia mencontohkan bagaimana perda tentang larangan miras yang berlaku di Manokwari dan Bali menurutnya sangat efektif melindungi masyarakat. “Tidak hanya anak muda, orang tua pun terlindungi dari perda ini,” kata Ma’ruf.
Ia juga menyesalkan instruksi Mendagri yang meminta pemerintah daerah mengevaluasi perda tentang miras. Sebab, perda tersebut adalah aspirasi masyarakat yang mustinya didukung oleh konstitusi.
“Karena itu, instruksi Mendagri harus dicabut dan buatlah undang-undang tentang miras,” ungkap Ma’ruf saat berbincang dengan Republika, Selasa (17/1).
Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan, evaluasi perda tentang Miras di daerah tak boleh menghentikan niat dan upaya tokoh agama, masyarakat, pemerintah daerah, dan DPRD untuk menjaga efek negatif dari miras. “Jadi, tetap upaya menjelaskan kepada masyarakat bahwa konsumsi miras tidak baik bagi kesehatan dan pikiran dan menimbulkan perilaku negatif yang meresahkan,” kata menteri di Jakarta, kemarin.
Menteri Agama mengatakan, Indonesia memiliki agama, norma, dan sistem nilai yang tidak memberikan ruang terhadap peredaran miras.
“Jadi, jangan terpaku pada aturan formal,” ujar dia.
Di pihak lain, Kemendagri bersikukuh tetap melakukan klarifikasi terhadap sembilan peraturan daerah (perda) minuman keras (miras).
Karena itu, Kepala Biro Hukum Kemendagri Arif Zudan Fakhrullah menyilakan pemerintah daerah (pemda) yang tidak puas dengan langkah Kemendagri untuk mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung (MA). Diharapkan Zudan, nantinya di persidangan dapat diketahui siapa yang berwenang dalam menentukan pelaksanaan pengaturan miras.
Sehingga, kalau perda dianggap bertentangan dengan aturan lebih tinggi, maka bisa dibatalkan. “Kami tetap pada langkah semula. Kami menunggu para pemda untuk mengajukan gugatan ke MA,” ujar Zudan.
Menteri Dalam Negeri (Men dagri) Gamawan Fauzi mengatakan bahwa tudingan institusinya mencabut perda miras hanya salah paham.
Ia menerangkan bahwa perda-perda pelarangan miras hanya dievaluasi agar bisa disesuaikan dengan peraturan yang lebih tinggi. Menurut Gamawan, yang hendak di evaluasi oleh kemendagri bukan saja perda soal peredaran minuman beralkohol, namun juga minuman dan makanan yang mengandung etanol. [REPUBLIKA-18/1/12]
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia
“Perda dibuat melalui mekanisme demokrasi dan bersifat konstitusional. Artinya, perda merupakan perwujudan aspirasi masyarakat dan sesuai dengan kebijakan dan kesepakatan bersama pemerintah daerah dan DPRD,“ ujar Ketua Harian MUI, Ma'ruf Amin, kepada Republika, Selasa (17/1) kemarin.
Tak hanya itu, Ma'ruf juga mengatakan, sebaiknya soal pelarangan miras ini dibuatkan perundangannya. Dengan demikian, larangan miras dapat berlaku secara nasional. Menurut Ma’ruf, perda pelarangan miras ini membawa banyak manfaat bagi masyarakat. Ia mencontohkan bagaimana perda tentang larangan miras yang berlaku di Manokwari dan Bali menurutnya sangat efektif melindungi masyarakat. “Tidak hanya anak muda, orang tua pun terlindungi dari perda ini,” kata Ma’ruf.
Ia juga menyesalkan instruksi Mendagri yang meminta pemerintah daerah mengevaluasi perda tentang miras. Sebab, perda tersebut adalah aspirasi masyarakat yang mustinya didukung oleh konstitusi.
“Karena itu, instruksi Mendagri harus dicabut dan buatlah undang-undang tentang miras,” ungkap Ma’ruf saat berbincang dengan Republika, Selasa (17/1).
Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan, evaluasi perda tentang Miras di daerah tak boleh menghentikan niat dan upaya tokoh agama, masyarakat, pemerintah daerah, dan DPRD untuk menjaga efek negatif dari miras. “Jadi, tetap upaya menjelaskan kepada masyarakat bahwa konsumsi miras tidak baik bagi kesehatan dan pikiran dan menimbulkan perilaku negatif yang meresahkan,” kata menteri di Jakarta, kemarin.
Menteri Agama mengatakan, Indonesia memiliki agama, norma, dan sistem nilai yang tidak memberikan ruang terhadap peredaran miras.
“Jadi, jangan terpaku pada aturan formal,” ujar dia.
Di pihak lain, Kemendagri bersikukuh tetap melakukan klarifikasi terhadap sembilan peraturan daerah (perda) minuman keras (miras).
Karena itu, Kepala Biro Hukum Kemendagri Arif Zudan Fakhrullah menyilakan pemerintah daerah (pemda) yang tidak puas dengan langkah Kemendagri untuk mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung (MA). Diharapkan Zudan, nantinya di persidangan dapat diketahui siapa yang berwenang dalam menentukan pelaksanaan pengaturan miras.
Sehingga, kalau perda dianggap bertentangan dengan aturan lebih tinggi, maka bisa dibatalkan. “Kami tetap pada langkah semula. Kami menunggu para pemda untuk mengajukan gugatan ke MA,” ujar Zudan.
Menteri Dalam Negeri (Men dagri) Gamawan Fauzi mengatakan bahwa tudingan institusinya mencabut perda miras hanya salah paham.
Ia menerangkan bahwa perda-perda pelarangan miras hanya dievaluasi agar bisa disesuaikan dengan peraturan yang lebih tinggi. Menurut Gamawan, yang hendak di evaluasi oleh kemendagri bukan saja perda soal peredaran minuman beralkohol, namun juga minuman dan makanan yang mengandung etanol. [REPUBLIKA-18/1/12]
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia