Oleh Ust. Farid Nu’man
Mukadimah
Ada seorang bertanya kepada ulama, “Adakah sihir yang dibolehkan?”, jawab ulama itu, “ Ada , yaitu senyummu kepada saudaramu.”
Diriwayatkan tentang Imam Sufyan ats Tsauri, bahwa dia amat sering menangis di tengah malam dalam sujud panjangnya dan dikegelapan kamarnya. Namun ia amat murah senyum di siang harinya ketika berinteraksi dengan manusia. Hatinya lembut kepada manusia, sehingga mereka mencintainya, mendengarkan petuahnya, dan menunggu nasihatnya. Itulah balasan yang Allah ‘Azza wa Jalla berikan untuknya, lantaran sikapnya yang mempesona di mata manusia.
Imam Aun menceritakan tentang gurunya, yaitu Imam Muhammad bin Sirrin radhiallahu ‘anhu, bahwa ia adalah orang yang amat keras dan ketat terhadap dirinya sendiri, namun begitu fleksibel dan banyak memberikan kemudahan kepada orang lain. Begitu pula Imam Muzani (murid Imam Syafi’i), ia disifati manusia sebagai, “Seorang yang sangat mempersempit dirinya sendiri dalam kewara’an, sedangkan terhadap orang lain ia memberikan kelonggaran yang seluas-luasnya.”
Imam Sufyan ats Tsauri pernah berkata –sebagaimana yang dikutip Imam an Nawawi dalam Majmu’ Syarah al Muhadzdzab, “Sesungguhnya fiqih itu adalah keringanan yang datang dari orang yang dapat dipercaya, sedangkan berlaku keras dan menyulitkan itu dapat saja dengan mudah dilakukan setiap orang.”
Imam Hasan al Bashri berkata, “Sesungguhnya sejelek-jeleknya hamba Allah adalah yang mendatangkan persoalan-persoalan yang buruk, dan dia menyusahkan hamba Allah yang lain dengan hal itu.”
Imam al Auza’i berkata, “Jika Allah hendak mencegah hambaNya dari berkah ilmu, ia memberikan persoalan-persoalan ruwet di mulut orang itu.”
Imam Atha’ berkata, “Jika kalian dihadapkan pada dua perkara, bawalah kaum muslimin kepada yang lebih mudah di antara keduanya.”
Imam Asy Sya’bi berkata, “Sesungguhnya seseorang diberi dua pilihan, lalu dia memilih yang paling mudah di antara keduanya, dia akan disenangi Allah.”
Demikianlah para salafus shalih. Mereka begitu menghargai kemanusiaannya manusia, mengetahui sisi kejiwaan para mad’u, dan terlebih dari itu, mereka amat piawai dalam menerapkan dan menempatkan syariat ini sebagaimana mestinya. Amat berbeda dengan manusia (baca: sebagian para da’i) sekarang, lebih banyak menyulitkan dibanding memberikan kemudahan, mengancam dibanding kabar gembira, menyempitkan dibanding toleransi, melarang-larang dibanding memberikan alternatif, menuduh dibanding berbaik sangka, memvonis dan menghakimi dibanding mengajak dengan lembut. Memanggilnya dengan panggilan yang mengerikan seperti mubtadi’ kabir (gembongnya pelaku bid’ah), mudhill (orang yang sesat), dan lain-lain, dibanding mendoakannya seperti hadanallahu wa iyyah (semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita dan dia) atau saddaddallahu khuthahu (semoga Allah meluruskan langkahnya). Mereka mencaci memaki kegelapan, dibanding menyalakan lilin.
Menguasai Hati Orang Lain
Objek da’wah, walau ia ahli maksiat dan pelaku kesesatan, adalah manusia yang memiliki hati sebagaimana lainnya. Hati adalah pintu pertama kegoncangan jiwa, sebagaimana menjadi pintu pertama terhadap petunjuk. Ia bisa berontak jika ditusuk, melawan jika disakiti, dan menjauh jika dikeraskan. Maka jagalah perasaan manusia, rebutlah hati mereka dengan lembutnya seruan, hikmahnya lisan, dan santunnya akhlak. Anda tidak bisa menguasai orang lain kecuali dengan senyuman, tutur kata yang sopan, kedermawanan, dan keteladanan. Berikan mereka harta yang banyak, namun dengan cara melempar, kasar dan di ungkit-ungkit, maka ia akan menolak harta tersebut walau amat membutuhkannya. Sekalipun menerima, ia amat terpaksa dan menerima dengan air mata dan hati yang perih.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya kalian tidak mampu menguasai manusia dengan harta kalian, namun mereka dapat dikuasai dengan manisnya wajah dan akhlak yang baik.” (HR. Abu Ya’la, Imam Hakim menshahihkannya. Bulughul Maram, Bab At Targhib min Musawi al Akhlaq. no. 1341)
Tidak sedikit mad’u yang lari meninggalkan da’i lantaran luka dihati, kekecewaan, dan kesempitan yang ditawarkan kepada mereka. Sehingga pertemuan dengan da’I bukan suatu yang dirindukan, namun bagaikan pertemuan dengan jaksa penuntut umum yang siap memberikannya tuntutan dan sanksi, atau reserse yang siap menginterogasi dan membawanya ke penjara, atau guru killer yang siap memberinya setumpuk Pekerjaan Rumah. Tidak demikian wahai ikhwah, jangan begitu wahai da’i ….. Apakah kita mau da’wah ini justru menjadi fitnah menyeramkan bagi mereka lantaran kegarangan para du’at?
Mengikuti Uslub (metode) Al Qur’an
Al Qur’an hendaknya menjadi pedoman utama para da’i. Uslub tarbiyah dan da’wahnya amat indah dan mempesona, dan memberika keberuntungan yang amat besar bagi da’wah. Al Qur’an mengajarkan kita kelembutan dan menjauhi kekasaran dalam menghadapi manusia, agar ia mau mendekat, menerima seruan, dan mengikuti ajakan. Simaklah.
Allah Jalla wa ‘ Ala berfirman:
“Oleh karena rahmat dari Allah engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Jadi, maafkanlah mereka dan memohonkan ampun bagi mereka.” (QS. Ali Imran: 154)
FirmanNya yang lain:
“Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Al Fushilat: 34-35)
Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun ‘Alaihimassalam untuk menggunakan kata-kata yang lembut (Qaulan layyinan) ketika menda’wahi manusia paling zalim, Fir’aun, sebagaimana yang dikisahkan dalam surat Thaha ayat 44.
Selain itu, Al Qur’an yang ada ditangan kita telah mengajarkan, jika ia mengharamkan sesuatu pastilah diberikan alternatifnya. Al Qur’an telah mengharamkan riba dengan pasti, tetapi ia menghalalkan jual beli. Al Qur’an telah mengharamkan zina dan menilainya sebagai perbuatan amat keji, tetapi ia menghalalkan pernikahan, Al Qur’an melarang dengan tegas membunuh manusia dengan cara tidak haq, tetapi ia memerintahkan jihad dan mengagungkannya. Demikianlah Al Qur’an, tidaklah ia melarang sesuatu dan mencelanya melainkan ia juga memberikan alternatif dan solusinya. Ambillah ini sebagai pelajaran.
Tidak dibenarkan da’i melarang-larang manusia dari ini dan itu, tetapi ia tidak mendorongnya kepada hal yang lebih baik dan selamat, yang tentunya tidak bertentangan dengan syariat. Tidak dibenarkan ia melarang-larang anak-anak band dari hobinya itu, tanpa memberikan alternatif hiburan yang dibenarkan syariat. Tidak benarkan da’i mencaci maki para peminat media jahiliyah, tanpa menyodorkan media Islami. Tidak dibenarkan pula menuding film atau sinetron murahan dan picisan, tanpa memberikan gantinya yang lebih baik.
Mengikuti Uslub Rasulullah
Petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah sebaik-baiknya petunjuk. Bahkan jika manusia dalam kondisi fatrah (baca: futur) namun tetap di atas sunnahnya, beliau katakan ‘faqadihtada’ ( ia telah di atas petunjuk). Maka wajib bagi para da’i mengikuti jejaknya yang mulia, dan meneladani uslub da’wahnya yang bersinar.
Terhadap kaum yang menolak da’wahnya, ia berkata, “Allahummaghfirli qaumi fainnahum laa ya’lamun” (Ya Allah, ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka kaum yang tidak mengetahui).
Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah itu lembut, menyukai kelembutan dalam segara urusan.” (HR. Muttafaq ‘Alaih. Riadhusshalihin. no. 631)
Dari ‘Aisyah pula, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya kelembutan itu tidaklah menjadikan sesuatu kecuali menambah indah, dan tidaklah dicabut dari sesuatu (kelembutan itu) kecuali menambah kejelekan.” (HR. Muslim. Ibid. no. 633)
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Siapa yang diharamkan dari sifat lembut, maka telah diharamkan dari semua kebaikan.” (HR. Muslim. Ibid. no. 636)
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda; “Sesungguhnya kalian tidak mampu menguasai manusia dengan harta kalian, tetapi mereka dapat dikuasai dengan manisnya wajah dan akhlak yang baik.” (HR. Abu Ya’la, Imam Hakim menshahihkannya. Bulughul Maram, bab. At Targhib min Musawi al Akhlaq. No. 1341)
Rasulullah pernah ditimpuki batu di Thaif ketika berda’wah kepada Bani Tsaqif, namun begitu beliau tetap tabah dapat mampu menahan diri, tidak emosional untuk membalas. Bahkan ketika malaikat penjaga gunung berkata kepadanya, “Apakah engkau meminta kepadaku agar membalikkan bumi tempat mereka tinggal ini?” Nabi menjawab, “Tidak, aku hanya memohon kepada Allah agar dari tulang sulbi mereka nanti akan lahir generasi yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukanNya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Bukhari meriwayatkan, pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ada seorang pemuda yang menjadi ‘pelanggan’ hukuman hudud lantaran hobinya meminum khamr. Acapkali orang ini diserahkan kepada nabi, beliau melaksanakan hudud atasnya.
Sebagian sahabat ada yang berkata, “Semoga Allah merendahkannya, selalu saja dia dilaporkan kepada Nabi karena kasus khamr.”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam marah seraya berkata, “Jangan berkata demikian, jangan menolong syetan lebih mudah memperdayakannya. Demi Zat yang jiwaku ada di tanganNya, aku tidak mengetahui dari orang ini kecuali bahwa dia mencintai Allah dan RasulNya.” (HR. Bukhari dari Umar radhiallahu ‘anhu dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Alangkah indahnya Rasulullah mendidik dan menyeru umatnya. Maka janganlah kita membuat manusia berputus asa dari rahmat Allah ‘Azza wa Jalla, walau sebesar apapun kesalahan dan dosa yang dilakukan. Hendaknya kita tetap menganggap mereka sebagai umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka memiliki potensi untuk berubah dan kembali kepada jalan yang benar. Bukankah dahulu kita pernah mengalami masa-masa jahiliyah sebagaimana mereka, atau mungkin kejahiliyahan yang melebihi mereka? Betapa sabar para pembimbing (murabbi) dan ustadz terhadap diri kta. Maka, jangan buat umat lari dari ampunan Allah Ta’ala yang teramat luas.
Mengikuti Uslub Para Sahabat
Para sahabat adalah bintang-bintang di antara manusia. Bintang, keberadaannya membuat indah langit di malam hari, begitu pula para sahabat Nabi di tengah-tengah umat. Adakah manusia yang membenci bintang? Petuah-petuah mereka adalah petunjuk yang lahir dari madrasah nabawiyah.
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Orang-orang yang benar-benar faqih itu adalah orang yang tidak membuat manusia berputus asa dari rahmat Allah, namun tidak juga memberi keringanan kepada mereka untuk melakukan maksiat kepada Allah.” (diriwayatkan oleh Imam Ad Darimi secara mauquf, secara marfu’-nya terdapat dalam Jami’ al Ahadits wal Marasil)
Umar bin al Khathab radhiallahu ‘anhu berkata, “Ada tiga hal yang bisa membuat saudaramu mencintaimu, yaitu: memanggilnya dengan nama yang paling dia sukai, melapangkan tempat duduk baginya dalam suatu majelis, dan memulai ucapan salam.”
Ikhwah …. tidak sedikit para da’i yang memboikot manusia lantaran maksiat kecil yang dibuatnya. Ia tidak menyapanya, apalagi salam, tidak mau duduk satu majelis dengannya, tidak memanggilnya dengan panggilan kesukaannya. Justru di belakang ia menggunjingnya dengan mengatakan, ia jahil, ahlul hawa, ahlul ma’shiyah, dan lainnya. Tentu ini bertantangan dengan sunah Umar radhiallahu ‘anhu, dan akan membuat manusia semakin menjauhinya.
Mengikuti Uslub Para Ulama Rabbani
Imam Abdullah bin Mubarak pernah membuat syair:
Pada saat engkau bergaul dengan masyarakat yang penuh cinta kasih
Bersikaplah kepada mereka seolah-olah engkau saudara mereka
Jangan mencela setiap kekurangan kaum,
Atau engkau tidak akan pernah memiliki teman
Menjelang wafatnya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dihadapkan ke kiblat dan berkata, “Aku bertobat dari perbuatanku yang mengkafirkan ahli kiblat (muslim).” Dia mengulanginya dua kali. Syaikh Aidh al Qarny berkata, “Ibnu Taimiyah adalah ulama yang sangat jarang mentakfir-kan orang walau ia sangat keras terhadap ahli bid’ah. Namun saat ini orang sangat gampang mentakfirkan karena dangkalnya ilmu fiqih mereka.“
Takfir memang ada dalam konsep Ahlus Sunnah, namun hanya boleh dilakukan jika syarat-syaratnya (dhawabith) terpenuhi, itu pun hanya dilakukan oleh ulama mumpuni atau sekelompok ulama yang melakukan ijtihad kolektif.
Imam Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqi’in-nya menyebutkan bahwa Imam Ahmad jika ditanya tentang masalah yang diharamkan dia berkata, “Aku tidak suka ini, aku takut ini diharamkan.”
Begitu pula ulama lainnya. Mereka lebih suka mengatakan ghairu masyru’ (tidak disyariatkan), lebih baik jangan, aku benci ini, mungkin engkau lupa. Dibanding mengatakan ini haram, sesat, kafir, Allah tidak menyelamatkanmu, kembalinya ke neraka, engkau pendusta, dan vonis menyeramkan lainnya. Namun demikian, mereka juga tidak segan akan mengatakan hal yang demikian itu jika permasalahannya jelas dan tidak samar keharamannya, kesesatannya, dan kekafirannya.
Dari Ibnul Junaid, dia berkata, bahwa Imam Yahya bin Ma’in mengatakan, “Pengharaman air anggur (nabidz) itu adalah shahih. Akan tetapi aku tidak mau berkomentar dan aku tidak mengharamkannya. Karena ada orang-orang shalih yang meminumnya dengan dalil hadits-hadits yang shahih. Dan ada orang shalih lainnya yang mengharamkannya, juga dengan hadits-hadits shahih.” (Siyar 11/87-88)
Imam Ahmad pernah ditanya tentang orang yang shalat sunah setelah ashar, ia menjawab, “Kami tidak melakukannya, namun kami tidak akan mencela orang yang melakukannya.”
‘Aisyah radhiallahu ‘anha pernah mengomentari ucapan Ibnu Umar yang melarang manusia menangisi mayit anggota keluarganya. Katanya, “Mudah-mudahan Allah mengampuni Ibnu Umar. Aku yakin ia tidak berdusta, tetapi dia lupa atau salah.” (HR. Malik dalam Muwatha’ Bab Al Janazah)
Demikianlah, manusia yang ilmunya luas akan mampu menahan lisan kotor dan kasar dalam mengomentari kesalahan manusia. Ada manusia yang amat keras terhadap saudaranya yang minum sambil berdiri, padahal manusia berselisih paham tentangnya. Ada yang menyebutnya makruh tahrim (makruh yang mendekati haram) seperti Syaikh al Albany dan Imam Ibnu Hazm, lantaran ada riwayat dari Anas bin Malik yang melarang minum sambil berdiri, katanya, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang manusia minum sambil berdiri.” Qatadah bertanya: “Kalau makan bagaimana?” Dijawab, “Kalau makan berdiri itu lebih busuk dan jahat.” (HR. Muslim)
Adapun jika terlanjur minum sambil berdiri hendaknya memuntahkannya. (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Namun ada pula yang menyebutnya mubah (boleh). Sebab dari Ibnu Umar ia berkata, “Dahulu kita di masa Rasulullah, adakalanya makan sambil berjalan, dan kita minum dengan berdiri.” (HR. At Tirmidzi, ia menshahihkannya) Amir bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, berkata: “Saya telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam minum sambil berdiri dan juga pernah melihatnya minum sambil duduk.” (HR. Tirmidzi). atau Imam Malik meriwayatkan bahwa Umar, Utsman, dan Ali pernah minum dengan berdiri. Ada pula yang mengatakan semuanya bisa benar, tergantung kondisi. Sedangkan Imam an Nawawi dalam kitabnya yang terkenal Riyadhushshalihin menulis Bab Bolehnya minum sambil berdiri, namun lebih sempurna (akmal) dan utama (afdhal) sambil duduk. (Lihat Riyadhusshalihin. Hal. 220. Maktabatul Iman – Al Manshurah. Tahqiq oleh Muhammad ‘Ishamuddin Amin)
Ada pula manusia yang keras dan melotot tajam terhadap saudaranya yang kencing sambil berdiri Abu Wail menceritakan bahwa Abu Musa al Asy’ary pernah bersikap keras dalam hal kencing berdiri. Dia berkata, “Sesungguhnya Bani Israel itu, apabila ada kencing yang mengenai baju mereka, maka mereka mengguntingnya.” Maka Hudzaifah berkata, “Sebaiknya engkau tidak berkata demikian, karena Rasulullah pernah datang ke sebuah kandang milik suatu kaum, dan beliau kencing sambil berdiri.” (HR. Bukhari dan Abu Daud)
Ucapan Hudzaifah,” Sebaiknya engkau tidak berkata demikian..”, ketika mengomentari ucapan Abu Musa mencerminkan bahwa Abu Musa telah berlebihan dalam menyikapi sesuatu yang dianggapnya salah, dan ternyata justru Rasulullah pernah melakukannya.
Sikap Imam Adz Dzahabi yang Amat Elegan dan Objektif
Imam Adz Dzahabi rahimahullah adalah salah satu murid Imam Ibnu Taimiyah. Ia amat piawai dalam ilmu hadits dan sirah. Hati manusia menjadi tenang, ketika membaca hadits riwayat Imam Hakim lalu setelah itu tercantum ‘Wafaqahu Adz Dzahabi” (Telah disepakati Adz Dzahabi) yaitu keshahihannya, lantaran Imam Hakim termasuk yang mutasahil (menggampangkan) dalam menshahihkan hadits, karena itulah Imam Adz Dzahabi merasa perlu untuk meninjau kembali.
Ia memiliki karya yang amat brilian dan monumental yakni Siyar A’lamin Nubala, karya yang berisi tentang biografi tokoh ulama, khalifah, satrawan, serta peristiwa-peristiwa yang melingkupinya. Sengaja kami kutipkan komentar-komentarnya yang objektif, khususnya komentarnya tentang kekeliruan yang dilakukan manusia dan tokoh ternama, sebab di dalamnya terdapat pelajaran yang amat berharga bagi orang yang menghargai ilmu, mencintai ulama, objektifitas dan menjunjung akhlak Islam. Berikut akan kami uraikan beberapa contoh dan simak baik-baik.
A. Sikap Imam Adz Dzahabi terhadap seorang ahli hadits terkenal, Imam Ibnu Hibban, yang pernah mengucapkan ucapan berbahaya, “Kenabian adalah ilmu dan amal.” Mendengar itu manusia menuduhnya zindik, karena ucapan seperti itu pernah diucapkan seorang filosof bahwa kenabian itu bisa diusahakan dengan ilmu dan amal, bukan karena pilihan Allah. Lalu manusia mengadukannya kepada khalifah, maka khalifah membuat keputusan untuk membunuhnya. Bagaimana komentar Imam Adz Dzahabi?
Ia berkata dalam Siyar A’lamin Nubala (16/92-104), “Ibnu Hibban merupakan salah seorang ulama besar. Namun demikian, kita tidak menilainya terpelihara dari kesalahan. Apa yang diucapkannya itu dapat saja dilakukan oleh seorang muslim atau oleh filosof zindik. Seorang muslim tentu tidak diperkenankan bicara demikian.. namun bila terlanjur, maka ia diamaafkan.”
Kemudian Adz Dzahabi menjelaskan bahwa Ibnu Hibban sebenarnya tidak bermaksud membatasi kenabian sebatas ilmu dan amal saja. Beliau hanya ingin menjelaskan bahwa keduanya merupakan sifat paling sempurna bagi seorang nabi. Adapun ucapan filosof, “Kenabian itu bisa diusahakan sebagai hasil dari ilmu pengetahuan dan amal.” Maka ucapan inilah yang disebut kekafiran, dan ini bukan sama sekali yang dimaksud Imam Abu Hatim Ibnu hibban. Tidak mungkin ia bermaksud seperti itu.”
Ikhwah … lihatlah komentar ini, begitu indah dan santun, tanpa mengurangi nilai kritiknya. Apa jadinya seandainya bukan Imam Adz Dzahabi yang memberikan komentar? Niscaya Imam Ibnu Hibban akan dituduh sebagai zindik, kafir, dan lain-lain.
B. Sikap Adz Dzahabi tentang Al Aswad bin Yazid yang telah melakukan puasa sepanjang tahun (shaum ad dahr). Padahal shaum ad dahr itu terlarang dalam syariat Islam. Imam Adz Dzahabi membenarkan kabar tersebut. Lalu ia mengomentari: “Sepertinya, larangan tentang shaum ad dahr belum sampai ke telinga Ibnu Yazid, atau ia bertakwil di dalamnya.” (Siyar 4/50-53). Seperti itulah Adz Dzahabi, ia mencarikan dalih bagi Al Aswad bin Yazid dengan mengatakan bahwa kemungkinan Al Aswad belum mendengar hadits yang melarangnya, atau sudah mendengar tetapi ia tidak memahami adanya keharaman di dalamnya.
C. Sikap Adz Dzahabi terhadap Ulama hadits, Salah seorang Imam Jarh wa Ta’dil, yakni Imam Yahya bin Ma’in. beliau adalah kawan dari Imam Ahmad bin Hambal. Dikutip dari Al Hushain bin Fahm, bahwa Yahya bin Ma’in pernah berkata: “Dulu aku pernah berada di Mesir, lalu akau lihat seorang budak wanita dijual dengan harga seribu dinar. Aku belum pernah melihat wanita secantik dia, semoga Allah memberinya keselamatan.” Lalu aku (Al Hushain ) berkata: “Wahai Abu Zakaria, orang sepertimu berbicara seperti itu? Beliau berkata: “Ya, semoga Allah memberinya keselamatan dan juga pada setiap orang yang cantik.”
Ikhwah …. Apa komentar Imam Adz Dzahabi? Ia berkata, “Cerita ini dapat diterima sebagai sebuah lelucon (gurauan) belaka dari Abu Zakaria (Yahya bin Ma’in).” Demikianlah, menurut Imam Adz Dzahabi itu hanyalah lelucannya Imam Yahya bin Ma’in. ia tidak benar-benar bermaksud mengatakan demikian terhadap wanita dalam keadaan serius. Jika bukan Adz dzahabi yang mengomentari, mungkin Imam Yahya bin Ma’in akan dituduh fasiq. Koq, ulama memuji-muji kecantikan wanita.
D. Sikap Adz Dzahabi terhadap Jarh (celaan) Imam Al Qadhy Abu Bakar bin al Araby al Maliki terhadap Imam Abu Muhammad bin Hazm azh Zhahiry dengan celaan yang amat merendahkan. Di dalam kitabnya, Al Qawashim wal Awashim, Ibnul Araby menyebut Ibnu Hazm sebagai orang tolol dari isybiliyah (sevila sekarang, Spanyol), tidak mengerti mazhab-mazhab, sesat dan ahli bid’ah. Nah, bagaimana komentar Imam Adz Dzahabi terhadap celaan Imam Ibnul ‘Araby ini?
Ia berkata, “Al Qadhy Abu Bakar rahimahullah kurang bersikap adil dalam menilai guru dari ayahnya (maksudnya Ibnu Hazm). Beliau juga tidak fair dalam membicarakannya, dan terlalu merendahkan. Padahal Al Qadhy Abu Bakar, walau kedudukannya tinggi dalam ilmu pengetahuan, ia belum mencapai derajat Abu Muhammad (Ibnu hazm), dan masih terlalu jauh. Semoga saja, Allah memberikan maghfirah kepada keduanya.”
Imam Izzuddin bin Abdussalam berkata, “Aku tidak pernah mendapatkan kitab-kitab Islam mengenai keilmuan yang lebih bagus daripada kitab Al Muhalla karya Ibnu Hazm dan Al Mughni karya Syaikh Muwafaqqud Din (Ibnu Qudamah).” Adz Dzahabi berkata, “Syaikh Izzuddin telah berkata benar. Kitab ketiga adalah As Sunan Al Kubra karya Al Baihaqi. Keempat , At Tamhid, karya Ibnu Abdul Barr. Maka siapa saja yang memperoleh karya-karya tersebut, dan ia seorang yang cerdas dan telah melakukan kajian mendalam terhadap kitab-kitab tersebut, maka dialah ulama yang sebenarnya.” (Siyar 18/188-192)
Ikhwah fillah …, sebenarnya masih banyak lagi keindahan akhlak Imam Adz Dzahabi dalam memberikan penilaian objektif terhadap orang dan tokoh yang keliru, seperti sikapnya yang adil terhadap Imam al Ghazaly antara yang merendahkannya dan mengkultuskannya, atau sikapnya yang adil terhadap Imam Waki’ (gurunya Imam Syafi’i) yang juga melakukan puasa dahr dan meminum air anggur.
Demikianlah seorang da’i, seharusnya mengajak manusia yang keliru menuju kearah kebaikan, serta memperhatikan kedudukan orang tersebut di hati masyarakat, agar bisa menyikapinya secara bijak dan bajik. Bukan menghakimi dan merendahkan kedudukannya di mata manusia, yang justru melahirkan perlawanan keras dan penyimpangan yang lebih jauh.
Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah
*)http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/42
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia
Diriwayatkan tentang Imam Sufyan ats Tsauri, bahwa dia amat sering menangis di tengah malam dalam sujud panjangnya dan dikegelapan kamarnya. Namun ia amat murah senyum di siang harinya ketika berinteraksi dengan manusia. Hatinya lembut kepada manusia, sehingga mereka mencintainya, mendengarkan petuahnya, dan menunggu nasihatnya. Itulah balasan yang Allah ‘Azza wa Jalla berikan untuknya, lantaran sikapnya yang mempesona di mata manusia.
Imam Aun menceritakan tentang gurunya, yaitu Imam Muhammad bin Sirrin radhiallahu ‘anhu, bahwa ia adalah orang yang amat keras dan ketat terhadap dirinya sendiri, namun begitu fleksibel dan banyak memberikan kemudahan kepada orang lain. Begitu pula Imam Muzani (murid Imam Syafi’i), ia disifati manusia sebagai, “Seorang yang sangat mempersempit dirinya sendiri dalam kewara’an, sedangkan terhadap orang lain ia memberikan kelonggaran yang seluas-luasnya.”
Imam Sufyan ats Tsauri pernah berkata –sebagaimana yang dikutip Imam an Nawawi dalam Majmu’ Syarah al Muhadzdzab, “Sesungguhnya fiqih itu adalah keringanan yang datang dari orang yang dapat dipercaya, sedangkan berlaku keras dan menyulitkan itu dapat saja dengan mudah dilakukan setiap orang.”
Imam Hasan al Bashri berkata, “Sesungguhnya sejelek-jeleknya hamba Allah adalah yang mendatangkan persoalan-persoalan yang buruk, dan dia menyusahkan hamba Allah yang lain dengan hal itu.”
Imam al Auza’i berkata, “Jika Allah hendak mencegah hambaNya dari berkah ilmu, ia memberikan persoalan-persoalan ruwet di mulut orang itu.”
Imam Atha’ berkata, “Jika kalian dihadapkan pada dua perkara, bawalah kaum muslimin kepada yang lebih mudah di antara keduanya.”
Imam Asy Sya’bi berkata, “Sesungguhnya seseorang diberi dua pilihan, lalu dia memilih yang paling mudah di antara keduanya, dia akan disenangi Allah.”
Demikianlah para salafus shalih. Mereka begitu menghargai kemanusiaannya manusia, mengetahui sisi kejiwaan para mad’u, dan terlebih dari itu, mereka amat piawai dalam menerapkan dan menempatkan syariat ini sebagaimana mestinya. Amat berbeda dengan manusia (baca: sebagian para da’i) sekarang, lebih banyak menyulitkan dibanding memberikan kemudahan, mengancam dibanding kabar gembira, menyempitkan dibanding toleransi, melarang-larang dibanding memberikan alternatif, menuduh dibanding berbaik sangka, memvonis dan menghakimi dibanding mengajak dengan lembut. Memanggilnya dengan panggilan yang mengerikan seperti mubtadi’ kabir (gembongnya pelaku bid’ah), mudhill (orang yang sesat), dan lain-lain, dibanding mendoakannya seperti hadanallahu wa iyyah (semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita dan dia) atau saddaddallahu khuthahu (semoga Allah meluruskan langkahnya). Mereka mencaci memaki kegelapan, dibanding menyalakan lilin.
Menguasai Hati Orang Lain
Objek da’wah, walau ia ahli maksiat dan pelaku kesesatan, adalah manusia yang memiliki hati sebagaimana lainnya. Hati adalah pintu pertama kegoncangan jiwa, sebagaimana menjadi pintu pertama terhadap petunjuk. Ia bisa berontak jika ditusuk, melawan jika disakiti, dan menjauh jika dikeraskan. Maka jagalah perasaan manusia, rebutlah hati mereka dengan lembutnya seruan, hikmahnya lisan, dan santunnya akhlak. Anda tidak bisa menguasai orang lain kecuali dengan senyuman, tutur kata yang sopan, kedermawanan, dan keteladanan. Berikan mereka harta yang banyak, namun dengan cara melempar, kasar dan di ungkit-ungkit, maka ia akan menolak harta tersebut walau amat membutuhkannya. Sekalipun menerima, ia amat terpaksa dan menerima dengan air mata dan hati yang perih.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya kalian tidak mampu menguasai manusia dengan harta kalian, namun mereka dapat dikuasai dengan manisnya wajah dan akhlak yang baik.” (HR. Abu Ya’la, Imam Hakim menshahihkannya. Bulughul Maram, Bab At Targhib min Musawi al Akhlaq. no. 1341)
Tidak sedikit mad’u yang lari meninggalkan da’i lantaran luka dihati, kekecewaan, dan kesempitan yang ditawarkan kepada mereka. Sehingga pertemuan dengan da’I bukan suatu yang dirindukan, namun bagaikan pertemuan dengan jaksa penuntut umum yang siap memberikannya tuntutan dan sanksi, atau reserse yang siap menginterogasi dan membawanya ke penjara, atau guru killer yang siap memberinya setumpuk Pekerjaan Rumah. Tidak demikian wahai ikhwah, jangan begitu wahai da’i ….. Apakah kita mau da’wah ini justru menjadi fitnah menyeramkan bagi mereka lantaran kegarangan para du’at?
Mengikuti Uslub (metode) Al Qur’an
Al Qur’an hendaknya menjadi pedoman utama para da’i. Uslub tarbiyah dan da’wahnya amat indah dan mempesona, dan memberika keberuntungan yang amat besar bagi da’wah. Al Qur’an mengajarkan kita kelembutan dan menjauhi kekasaran dalam menghadapi manusia, agar ia mau mendekat, menerima seruan, dan mengikuti ajakan. Simaklah.
Allah Jalla wa ‘ Ala berfirman:
“Oleh karena rahmat dari Allah engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Jadi, maafkanlah mereka dan memohonkan ampun bagi mereka.” (QS. Ali Imran: 154)
FirmanNya yang lain:
“Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Al Fushilat: 34-35)
Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun ‘Alaihimassalam untuk menggunakan kata-kata yang lembut (Qaulan layyinan) ketika menda’wahi manusia paling zalim, Fir’aun, sebagaimana yang dikisahkan dalam surat Thaha ayat 44.
Selain itu, Al Qur’an yang ada ditangan kita telah mengajarkan, jika ia mengharamkan sesuatu pastilah diberikan alternatifnya. Al Qur’an telah mengharamkan riba dengan pasti, tetapi ia menghalalkan jual beli. Al Qur’an telah mengharamkan zina dan menilainya sebagai perbuatan amat keji, tetapi ia menghalalkan pernikahan, Al Qur’an melarang dengan tegas membunuh manusia dengan cara tidak haq, tetapi ia memerintahkan jihad dan mengagungkannya. Demikianlah Al Qur’an, tidaklah ia melarang sesuatu dan mencelanya melainkan ia juga memberikan alternatif dan solusinya. Ambillah ini sebagai pelajaran.
Tidak dibenarkan da’i melarang-larang manusia dari ini dan itu, tetapi ia tidak mendorongnya kepada hal yang lebih baik dan selamat, yang tentunya tidak bertentangan dengan syariat. Tidak dibenarkan ia melarang-larang anak-anak band dari hobinya itu, tanpa memberikan alternatif hiburan yang dibenarkan syariat. Tidak benarkan da’i mencaci maki para peminat media jahiliyah, tanpa menyodorkan media Islami. Tidak dibenarkan pula menuding film atau sinetron murahan dan picisan, tanpa memberikan gantinya yang lebih baik.
Mengikuti Uslub Rasulullah
Petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah sebaik-baiknya petunjuk. Bahkan jika manusia dalam kondisi fatrah (baca: futur) namun tetap di atas sunnahnya, beliau katakan ‘faqadihtada’ ( ia telah di atas petunjuk). Maka wajib bagi para da’i mengikuti jejaknya yang mulia, dan meneladani uslub da’wahnya yang bersinar.
Terhadap kaum yang menolak da’wahnya, ia berkata, “Allahummaghfirli qaumi fainnahum laa ya’lamun” (Ya Allah, ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka kaum yang tidak mengetahui).
Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah itu lembut, menyukai kelembutan dalam segara urusan.” (HR. Muttafaq ‘Alaih. Riadhusshalihin. no. 631)
Dari ‘Aisyah pula, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya kelembutan itu tidaklah menjadikan sesuatu kecuali menambah indah, dan tidaklah dicabut dari sesuatu (kelembutan itu) kecuali menambah kejelekan.” (HR. Muslim. Ibid. no. 633)
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Siapa yang diharamkan dari sifat lembut, maka telah diharamkan dari semua kebaikan.” (HR. Muslim. Ibid. no. 636)
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda; “Sesungguhnya kalian tidak mampu menguasai manusia dengan harta kalian, tetapi mereka dapat dikuasai dengan manisnya wajah dan akhlak yang baik.” (HR. Abu Ya’la, Imam Hakim menshahihkannya. Bulughul Maram, bab. At Targhib min Musawi al Akhlaq. No. 1341)
Rasulullah pernah ditimpuki batu di Thaif ketika berda’wah kepada Bani Tsaqif, namun begitu beliau tetap tabah dapat mampu menahan diri, tidak emosional untuk membalas. Bahkan ketika malaikat penjaga gunung berkata kepadanya, “Apakah engkau meminta kepadaku agar membalikkan bumi tempat mereka tinggal ini?” Nabi menjawab, “Tidak, aku hanya memohon kepada Allah agar dari tulang sulbi mereka nanti akan lahir generasi yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukanNya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Bukhari meriwayatkan, pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ada seorang pemuda yang menjadi ‘pelanggan’ hukuman hudud lantaran hobinya meminum khamr. Acapkali orang ini diserahkan kepada nabi, beliau melaksanakan hudud atasnya.
Sebagian sahabat ada yang berkata, “Semoga Allah merendahkannya, selalu saja dia dilaporkan kepada Nabi karena kasus khamr.”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam marah seraya berkata, “Jangan berkata demikian, jangan menolong syetan lebih mudah memperdayakannya. Demi Zat yang jiwaku ada di tanganNya, aku tidak mengetahui dari orang ini kecuali bahwa dia mencintai Allah dan RasulNya.” (HR. Bukhari dari Umar radhiallahu ‘anhu dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Alangkah indahnya Rasulullah mendidik dan menyeru umatnya. Maka janganlah kita membuat manusia berputus asa dari rahmat Allah ‘Azza wa Jalla, walau sebesar apapun kesalahan dan dosa yang dilakukan. Hendaknya kita tetap menganggap mereka sebagai umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka memiliki potensi untuk berubah dan kembali kepada jalan yang benar. Bukankah dahulu kita pernah mengalami masa-masa jahiliyah sebagaimana mereka, atau mungkin kejahiliyahan yang melebihi mereka? Betapa sabar para pembimbing (murabbi) dan ustadz terhadap diri kta. Maka, jangan buat umat lari dari ampunan Allah Ta’ala yang teramat luas.
Mengikuti Uslub Para Sahabat
Para sahabat adalah bintang-bintang di antara manusia. Bintang, keberadaannya membuat indah langit di malam hari, begitu pula para sahabat Nabi di tengah-tengah umat. Adakah manusia yang membenci bintang? Petuah-petuah mereka adalah petunjuk yang lahir dari madrasah nabawiyah.
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Orang-orang yang benar-benar faqih itu adalah orang yang tidak membuat manusia berputus asa dari rahmat Allah, namun tidak juga memberi keringanan kepada mereka untuk melakukan maksiat kepada Allah.” (diriwayatkan oleh Imam Ad Darimi secara mauquf, secara marfu’-nya terdapat dalam Jami’ al Ahadits wal Marasil)
Umar bin al Khathab radhiallahu ‘anhu berkata, “Ada tiga hal yang bisa membuat saudaramu mencintaimu, yaitu: memanggilnya dengan nama yang paling dia sukai, melapangkan tempat duduk baginya dalam suatu majelis, dan memulai ucapan salam.”
Ikhwah …. tidak sedikit para da’i yang memboikot manusia lantaran maksiat kecil yang dibuatnya. Ia tidak menyapanya, apalagi salam, tidak mau duduk satu majelis dengannya, tidak memanggilnya dengan panggilan kesukaannya. Justru di belakang ia menggunjingnya dengan mengatakan, ia jahil, ahlul hawa, ahlul ma’shiyah, dan lainnya. Tentu ini bertantangan dengan sunah Umar radhiallahu ‘anhu, dan akan membuat manusia semakin menjauhinya.
Mengikuti Uslub Para Ulama Rabbani
Imam Abdullah bin Mubarak pernah membuat syair:
Pada saat engkau bergaul dengan masyarakat yang penuh cinta kasih
Bersikaplah kepada mereka seolah-olah engkau saudara mereka
Jangan mencela setiap kekurangan kaum,
Atau engkau tidak akan pernah memiliki teman
Menjelang wafatnya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dihadapkan ke kiblat dan berkata, “Aku bertobat dari perbuatanku yang mengkafirkan ahli kiblat (muslim).” Dia mengulanginya dua kali. Syaikh Aidh al Qarny berkata, “Ibnu Taimiyah adalah ulama yang sangat jarang mentakfir-kan orang walau ia sangat keras terhadap ahli bid’ah. Namun saat ini orang sangat gampang mentakfirkan karena dangkalnya ilmu fiqih mereka.“
Takfir memang ada dalam konsep Ahlus Sunnah, namun hanya boleh dilakukan jika syarat-syaratnya (dhawabith) terpenuhi, itu pun hanya dilakukan oleh ulama mumpuni atau sekelompok ulama yang melakukan ijtihad kolektif.
Imam Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqi’in-nya menyebutkan bahwa Imam Ahmad jika ditanya tentang masalah yang diharamkan dia berkata, “Aku tidak suka ini, aku takut ini diharamkan.”
Begitu pula ulama lainnya. Mereka lebih suka mengatakan ghairu masyru’ (tidak disyariatkan), lebih baik jangan, aku benci ini, mungkin engkau lupa. Dibanding mengatakan ini haram, sesat, kafir, Allah tidak menyelamatkanmu, kembalinya ke neraka, engkau pendusta, dan vonis menyeramkan lainnya. Namun demikian, mereka juga tidak segan akan mengatakan hal yang demikian itu jika permasalahannya jelas dan tidak samar keharamannya, kesesatannya, dan kekafirannya.
Dari Ibnul Junaid, dia berkata, bahwa Imam Yahya bin Ma’in mengatakan, “Pengharaman air anggur (nabidz) itu adalah shahih. Akan tetapi aku tidak mau berkomentar dan aku tidak mengharamkannya. Karena ada orang-orang shalih yang meminumnya dengan dalil hadits-hadits yang shahih. Dan ada orang shalih lainnya yang mengharamkannya, juga dengan hadits-hadits shahih.” (Siyar 11/87-88)
Imam Ahmad pernah ditanya tentang orang yang shalat sunah setelah ashar, ia menjawab, “Kami tidak melakukannya, namun kami tidak akan mencela orang yang melakukannya.”
‘Aisyah radhiallahu ‘anha pernah mengomentari ucapan Ibnu Umar yang melarang manusia menangisi mayit anggota keluarganya. Katanya, “Mudah-mudahan Allah mengampuni Ibnu Umar. Aku yakin ia tidak berdusta, tetapi dia lupa atau salah.” (HR. Malik dalam Muwatha’ Bab Al Janazah)
Demikianlah, manusia yang ilmunya luas akan mampu menahan lisan kotor dan kasar dalam mengomentari kesalahan manusia. Ada manusia yang amat keras terhadap saudaranya yang minum sambil berdiri, padahal manusia berselisih paham tentangnya. Ada yang menyebutnya makruh tahrim (makruh yang mendekati haram) seperti Syaikh al Albany dan Imam Ibnu Hazm, lantaran ada riwayat dari Anas bin Malik yang melarang minum sambil berdiri, katanya, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang manusia minum sambil berdiri.” Qatadah bertanya: “Kalau makan bagaimana?” Dijawab, “Kalau makan berdiri itu lebih busuk dan jahat.” (HR. Muslim)
Adapun jika terlanjur minum sambil berdiri hendaknya memuntahkannya. (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Namun ada pula yang menyebutnya mubah (boleh). Sebab dari Ibnu Umar ia berkata, “Dahulu kita di masa Rasulullah, adakalanya makan sambil berjalan, dan kita minum dengan berdiri.” (HR. At Tirmidzi, ia menshahihkannya) Amir bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, berkata: “Saya telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam minum sambil berdiri dan juga pernah melihatnya minum sambil duduk.” (HR. Tirmidzi). atau Imam Malik meriwayatkan bahwa Umar, Utsman, dan Ali pernah minum dengan berdiri. Ada pula yang mengatakan semuanya bisa benar, tergantung kondisi. Sedangkan Imam an Nawawi dalam kitabnya yang terkenal Riyadhushshalihin menulis Bab Bolehnya minum sambil berdiri, namun lebih sempurna (akmal) dan utama (afdhal) sambil duduk. (Lihat Riyadhusshalihin. Hal. 220. Maktabatul Iman – Al Manshurah. Tahqiq oleh Muhammad ‘Ishamuddin Amin)
Ada pula manusia yang keras dan melotot tajam terhadap saudaranya yang kencing sambil berdiri Abu Wail menceritakan bahwa Abu Musa al Asy’ary pernah bersikap keras dalam hal kencing berdiri. Dia berkata, “Sesungguhnya Bani Israel itu, apabila ada kencing yang mengenai baju mereka, maka mereka mengguntingnya.” Maka Hudzaifah berkata, “Sebaiknya engkau tidak berkata demikian, karena Rasulullah pernah datang ke sebuah kandang milik suatu kaum, dan beliau kencing sambil berdiri.” (HR. Bukhari dan Abu Daud)
Ucapan Hudzaifah,” Sebaiknya engkau tidak berkata demikian..”, ketika mengomentari ucapan Abu Musa mencerminkan bahwa Abu Musa telah berlebihan dalam menyikapi sesuatu yang dianggapnya salah, dan ternyata justru Rasulullah pernah melakukannya.
Sikap Imam Adz Dzahabi yang Amat Elegan dan Objektif
Imam Adz Dzahabi rahimahullah adalah salah satu murid Imam Ibnu Taimiyah. Ia amat piawai dalam ilmu hadits dan sirah. Hati manusia menjadi tenang, ketika membaca hadits riwayat Imam Hakim lalu setelah itu tercantum ‘Wafaqahu Adz Dzahabi” (Telah disepakati Adz Dzahabi) yaitu keshahihannya, lantaran Imam Hakim termasuk yang mutasahil (menggampangkan) dalam menshahihkan hadits, karena itulah Imam Adz Dzahabi merasa perlu untuk meninjau kembali.
Ia memiliki karya yang amat brilian dan monumental yakni Siyar A’lamin Nubala, karya yang berisi tentang biografi tokoh ulama, khalifah, satrawan, serta peristiwa-peristiwa yang melingkupinya. Sengaja kami kutipkan komentar-komentarnya yang objektif, khususnya komentarnya tentang kekeliruan yang dilakukan manusia dan tokoh ternama, sebab di dalamnya terdapat pelajaran yang amat berharga bagi orang yang menghargai ilmu, mencintai ulama, objektifitas dan menjunjung akhlak Islam. Berikut akan kami uraikan beberapa contoh dan simak baik-baik.
A. Sikap Imam Adz Dzahabi terhadap seorang ahli hadits terkenal, Imam Ibnu Hibban, yang pernah mengucapkan ucapan berbahaya, “Kenabian adalah ilmu dan amal.” Mendengar itu manusia menuduhnya zindik, karena ucapan seperti itu pernah diucapkan seorang filosof bahwa kenabian itu bisa diusahakan dengan ilmu dan amal, bukan karena pilihan Allah. Lalu manusia mengadukannya kepada khalifah, maka khalifah membuat keputusan untuk membunuhnya. Bagaimana komentar Imam Adz Dzahabi?
Ia berkata dalam Siyar A’lamin Nubala (16/92-104), “Ibnu Hibban merupakan salah seorang ulama besar. Namun demikian, kita tidak menilainya terpelihara dari kesalahan. Apa yang diucapkannya itu dapat saja dilakukan oleh seorang muslim atau oleh filosof zindik. Seorang muslim tentu tidak diperkenankan bicara demikian.. namun bila terlanjur, maka ia diamaafkan.”
Kemudian Adz Dzahabi menjelaskan bahwa Ibnu Hibban sebenarnya tidak bermaksud membatasi kenabian sebatas ilmu dan amal saja. Beliau hanya ingin menjelaskan bahwa keduanya merupakan sifat paling sempurna bagi seorang nabi. Adapun ucapan filosof, “Kenabian itu bisa diusahakan sebagai hasil dari ilmu pengetahuan dan amal.” Maka ucapan inilah yang disebut kekafiran, dan ini bukan sama sekali yang dimaksud Imam Abu Hatim Ibnu hibban. Tidak mungkin ia bermaksud seperti itu.”
Ikhwah … lihatlah komentar ini, begitu indah dan santun, tanpa mengurangi nilai kritiknya. Apa jadinya seandainya bukan Imam Adz Dzahabi yang memberikan komentar? Niscaya Imam Ibnu Hibban akan dituduh sebagai zindik, kafir, dan lain-lain.
B. Sikap Adz Dzahabi tentang Al Aswad bin Yazid yang telah melakukan puasa sepanjang tahun (shaum ad dahr). Padahal shaum ad dahr itu terlarang dalam syariat Islam. Imam Adz Dzahabi membenarkan kabar tersebut. Lalu ia mengomentari: “Sepertinya, larangan tentang shaum ad dahr belum sampai ke telinga Ibnu Yazid, atau ia bertakwil di dalamnya.” (Siyar 4/50-53). Seperti itulah Adz Dzahabi, ia mencarikan dalih bagi Al Aswad bin Yazid dengan mengatakan bahwa kemungkinan Al Aswad belum mendengar hadits yang melarangnya, atau sudah mendengar tetapi ia tidak memahami adanya keharaman di dalamnya.
C. Sikap Adz Dzahabi terhadap Ulama hadits, Salah seorang Imam Jarh wa Ta’dil, yakni Imam Yahya bin Ma’in. beliau adalah kawan dari Imam Ahmad bin Hambal. Dikutip dari Al Hushain bin Fahm, bahwa Yahya bin Ma’in pernah berkata: “Dulu aku pernah berada di Mesir, lalu akau lihat seorang budak wanita dijual dengan harga seribu dinar. Aku belum pernah melihat wanita secantik dia, semoga Allah memberinya keselamatan.” Lalu aku (Al Hushain ) berkata: “Wahai Abu Zakaria, orang sepertimu berbicara seperti itu? Beliau berkata: “Ya, semoga Allah memberinya keselamatan dan juga pada setiap orang yang cantik.”
Ikhwah …. Apa komentar Imam Adz Dzahabi? Ia berkata, “Cerita ini dapat diterima sebagai sebuah lelucon (gurauan) belaka dari Abu Zakaria (Yahya bin Ma’in).” Demikianlah, menurut Imam Adz Dzahabi itu hanyalah lelucannya Imam Yahya bin Ma’in. ia tidak benar-benar bermaksud mengatakan demikian terhadap wanita dalam keadaan serius. Jika bukan Adz dzahabi yang mengomentari, mungkin Imam Yahya bin Ma’in akan dituduh fasiq. Koq, ulama memuji-muji kecantikan wanita.
D. Sikap Adz Dzahabi terhadap Jarh (celaan) Imam Al Qadhy Abu Bakar bin al Araby al Maliki terhadap Imam Abu Muhammad bin Hazm azh Zhahiry dengan celaan yang amat merendahkan. Di dalam kitabnya, Al Qawashim wal Awashim, Ibnul Araby menyebut Ibnu Hazm sebagai orang tolol dari isybiliyah (sevila sekarang, Spanyol), tidak mengerti mazhab-mazhab, sesat dan ahli bid’ah. Nah, bagaimana komentar Imam Adz Dzahabi terhadap celaan Imam Ibnul ‘Araby ini?
Ia berkata, “Al Qadhy Abu Bakar rahimahullah kurang bersikap adil dalam menilai guru dari ayahnya (maksudnya Ibnu Hazm). Beliau juga tidak fair dalam membicarakannya, dan terlalu merendahkan. Padahal Al Qadhy Abu Bakar, walau kedudukannya tinggi dalam ilmu pengetahuan, ia belum mencapai derajat Abu Muhammad (Ibnu hazm), dan masih terlalu jauh. Semoga saja, Allah memberikan maghfirah kepada keduanya.”
Imam Izzuddin bin Abdussalam berkata, “Aku tidak pernah mendapatkan kitab-kitab Islam mengenai keilmuan yang lebih bagus daripada kitab Al Muhalla karya Ibnu Hazm dan Al Mughni karya Syaikh Muwafaqqud Din (Ibnu Qudamah).” Adz Dzahabi berkata, “Syaikh Izzuddin telah berkata benar. Kitab ketiga adalah As Sunan Al Kubra karya Al Baihaqi. Keempat , At Tamhid, karya Ibnu Abdul Barr. Maka siapa saja yang memperoleh karya-karya tersebut, dan ia seorang yang cerdas dan telah melakukan kajian mendalam terhadap kitab-kitab tersebut, maka dialah ulama yang sebenarnya.” (Siyar 18/188-192)
Ikhwah fillah …, sebenarnya masih banyak lagi keindahan akhlak Imam Adz Dzahabi dalam memberikan penilaian objektif terhadap orang dan tokoh yang keliru, seperti sikapnya yang adil terhadap Imam al Ghazaly antara yang merendahkannya dan mengkultuskannya, atau sikapnya yang adil terhadap Imam Waki’ (gurunya Imam Syafi’i) yang juga melakukan puasa dahr dan meminum air anggur.
Demikianlah seorang da’i, seharusnya mengajak manusia yang keliru menuju kearah kebaikan, serta memperhatikan kedudukan orang tersebut di hati masyarakat, agar bisa menyikapinya secara bijak dan bajik. Bukan menghakimi dan merendahkan kedudukannya di mata manusia, yang justru melahirkan perlawanan keras dan penyimpangan yang lebih jauh.
Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah
*)http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/42
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia