Saya memandang label halal ini lebih tepat kalau kita terapkan di negeri yang mayoritas bukan muslim dan makanan yang beredar umumnya adalah makanan yang secara syariah termasuk diharamakan. Misalnya di singapura, Hongkong, Bangkok, Kanton, New Delhi, Beijng dan lainnya.
Oleh Ust. Ahmad Sarwat, Lc
Label halal yang dikeluarkan lembaga dan institusi tertentu, sikap kita adalah bahwa niat baik institusi itu patut diacungi jempol. Sebab tujuannya pasti untuk melindungi umat Islam dari mengkonsumsi produk yang diharamkan. Lantaran masalah kehalalan produk sekarang ini sudah sangat mengkhawatirkan.
Dengan adanya pelabelan produk halal, masyarakat jadi sangat terbantu untuk lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi produk yang pasti kehalalannya. Tidak ada lagi keraguan di dalamnya, lantaran sudah ada lembaga yang menjamin kehalalannya.
Ini merupakan kemajuan pesat dan prestasi tersendiri dari kalangan umat Islam, lantaran ada kesadaran meluas untuk mengkonsumsi produk halal.
Pertama, bahwa dalam tata hukum Islam kita memiliki aturan bahwa dasar dari segala sesuatu adalah halal. Kalau kita meminjam logika label halal, akan tertanam di benak masyarakat bahwa yang halal hanya yang ada label halalnya saja, sedangkan yang tidak ada label halalnya hukumnya menjadi haram.
Ini yang perlu dicermati dengan teliti. Sebab tidak berarti segala produk makanan yang tidak ada label halalnya lantas hukumnya pasti haram. Hanya saja belum ada penelitian tentang kepastian halalnya. Kita tidak bisa mengubah suatu hukum hanya dengan asumsi, tetapi harus dengan penelitian yang pasti.
Kalau label halal itu tidak dipahami dengan benar, niscaya akan timbul cara pandang yang kurang tepat dari tengah masyarakat. Seolah-olah apabila sebuah produk makanan tidak berlabel halal, sebagaimana yang dikeluarkan oleh institusi itu, otomatis dianggap sebagai makanan haram.
Tentu saja cara pandang ini sangat keliru dan menyesatkan. Dan tentunya harus diklarifikasi dengan cara sebaik-baiknya.
Kasusnya mirip dengan santri lugu yang belum sempurna mengaji dan belajar ilmu hadits. Dia beranggapan mentang-mentang kitab Shahih Bukhari adalah kitab yang isinya hanya melulu hadits-hadits shahih, kemudian dengan lugunya dia menyimpulkan bahwa kalau sebuah hadits tidak berlabel Bukhari, berarti hadits itu lemah atau palsu.
Santri ini keliru besar, sebab kitab Shahih Bukhari bukan satu-satunya kitab hadits yang ada. Selain kitab itu ada sekian banyak kitab lain yang juga berisi hadits-hadits shahih. Dan selain hadits-hadits yang ada di dalam kitab Shahih Bukhari, ada ribuan hadits shahih lainnya.
Adalah cara pandang yang terlalu naif bila kita mengatakan bahwa makanan yang tidak ada label halalnya, berarti makanan itu hukumnya haram.
Padahal betapa banyak di pasaran makanan yang sudah sejak zaman nenek moyang dimakan oleh bangsa kita sebagai makanan halal, dan selama ini tidak pernah ada yang meributkan kehalalannya, padahal sama sekali tidak ada label halalnya.
Bukankah bangsa kita sejak dulu makan tahu dan tempe, padahal kita tidak pernah melihat tahu atau tempe yang berlabel halal. Apakah sekarang kita akan bilang bahwa tahu dan tempe haram hukumnya, lantaran si pembuat tahu tidak mendaftarkan produknya ke lembaga yang membuat label halal?
Lalu bagaimana dengan jutaan jenis makanan lainnya yang beredar di pasar, apakah semua akan kita vonis sebagai makanan haram, hanya gara-gara makanan itu tidak ada label halal dari institusi tertentu?
Jawabnya tentu tidak. Tidak seperti itu cara kita beragama dan tidak benar kalau keharaman suatu makanan disebabkan karena produsennya belum punya sertifikat halal.
Fungsi label halal itu justru harus dipahami dengan benar, agar tidak terjadi salah paham di tengah umat. Kira-kira makanan yang sudah diberi label halal itu harus dipahami seperti ini : makanan ini sudah diperiksa oleh institusi kami, dan kami menjadi penjamin bahwa makanan ini secara substansi tidak mengandung hal-hal yang sekiranya diharamkan agama.
Namun bukan berarti kalau kami belum memberi label halal pada sebuah produk makanan, makanan itu menjadi haram.
Sedangkan di negeri kita yang mayoritas muslim dan makanan yang beredar umumnya adalah makanan yang secara dzahirnya halal, yang lebih kita butuhkan justru bukan lebel halal, melainkan label haram. Fungsi label haram ini untuk memastikan keharaman suatu makanan. Agar masyarakat tidak mudah mengharamkan makanan yang belum dipastikan keharamannya.
Sebab mengharamkan yang halal itu sama besar dosanya dengan menghalalkan yang haram. Mungkin tidak salah kalau kita renungkan hadits shahih berikut ini :
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِيْن جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْألتِهِ
Sesungguhnya yang paling besar dosa dan kejahatannya dari kaum muslimin adalah orang yang bertanya tentang hal yang tidak diharamkan, lantas hal tersebut menjadi diharamkan karena pertanyaannya tadi.” (HR. Bukhari)
Dengan adanya pelabelan produk halal, masyarakat jadi sangat terbantu untuk lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi produk yang pasti kehalalannya. Tidak ada lagi keraguan di dalamnya, lantaran sudah ada lembaga yang menjamin kehalalannya.
Ini merupakan kemajuan pesat dan prestasi tersendiri dari kalangan umat Islam, lantaran ada kesadaran meluas untuk mengkonsumsi produk halal.
Namun kalau kita bicara tentang hukum dan aturan mainnya secara logika fiqih, memang agak sedikit berbeda pendekatannya.
Pertama, bahwa dalam tata hukum Islam kita memiliki aturan bahwa dasar dari segala sesuatu adalah halal. Kalau kita meminjam logika label halal, akan tertanam di benak masyarakat bahwa yang halal hanya yang ada label halalnya saja, sedangkan yang tidak ada label halalnya hukumnya menjadi haram.
Ini yang perlu dicermati dengan teliti. Sebab tidak berarti segala produk makanan yang tidak ada label halalnya lantas hukumnya pasti haram. Hanya saja belum ada penelitian tentang kepastian halalnya. Kita tidak bisa mengubah suatu hukum hanya dengan asumsi, tetapi harus dengan penelitian yang pasti.
Kalau label halal itu tidak dipahami dengan benar, niscaya akan timbul cara pandang yang kurang tepat dari tengah masyarakat. Seolah-olah apabila sebuah produk makanan tidak berlabel halal, sebagaimana yang dikeluarkan oleh institusi itu, otomatis dianggap sebagai makanan haram.
Tentu saja cara pandang ini sangat keliru dan menyesatkan. Dan tentunya harus diklarifikasi dengan cara sebaik-baiknya.
Kasusnya mirip dengan santri lugu yang belum sempurna mengaji dan belajar ilmu hadits. Dia beranggapan mentang-mentang kitab Shahih Bukhari adalah kitab yang isinya hanya melulu hadits-hadits shahih, kemudian dengan lugunya dia menyimpulkan bahwa kalau sebuah hadits tidak berlabel Bukhari, berarti hadits itu lemah atau palsu.
Santri ini keliru besar, sebab kitab Shahih Bukhari bukan satu-satunya kitab hadits yang ada. Selain kitab itu ada sekian banyak kitab lain yang juga berisi hadits-hadits shahih. Dan selain hadits-hadits yang ada di dalam kitab Shahih Bukhari, ada ribuan hadits shahih lainnya.
Adalah cara pandang yang terlalu naif bila kita mengatakan bahwa makanan yang tidak ada label halalnya, berarti makanan itu hukumnya haram.
Padahal betapa banyak di pasaran makanan yang sudah sejak zaman nenek moyang dimakan oleh bangsa kita sebagai makanan halal, dan selama ini tidak pernah ada yang meributkan kehalalannya, padahal sama sekali tidak ada label halalnya.
Bukankah bangsa kita sejak dulu makan tahu dan tempe, padahal kita tidak pernah melihat tahu atau tempe yang berlabel halal. Apakah sekarang kita akan bilang bahwa tahu dan tempe haram hukumnya, lantaran si pembuat tahu tidak mendaftarkan produknya ke lembaga yang membuat label halal?
Lalu bagaimana dengan jutaan jenis makanan lainnya yang beredar di pasar, apakah semua akan kita vonis sebagai makanan haram, hanya gara-gara makanan itu tidak ada label halal dari institusi tertentu?
Jawabnya tentu tidak. Tidak seperti itu cara kita beragama dan tidak benar kalau keharaman suatu makanan disebabkan karena produsennya belum punya sertifikat halal.
Fungsi label halal itu justru harus dipahami dengan benar, agar tidak terjadi salah paham di tengah umat. Kira-kira makanan yang sudah diberi label halal itu harus dipahami seperti ini : makanan ini sudah diperiksa oleh institusi kami, dan kami menjadi penjamin bahwa makanan ini secara substansi tidak mengandung hal-hal yang sekiranya diharamkan agama.
Namun bukan berarti kalau kami belum memberi label halal pada sebuah produk makanan, makanan itu menjadi haram.
Saya memandang label halal ini lebih tepat kalau kita terapkan di negeri yang mayoritas bukan muslim dan makanan yang beredar umumnya adalah makanan yang secara syariah termasuk diharamakan. Misalnya di singapura, Hongkong, Bangkok, Kanton, New Delhi, Beijng dan lainnya.
Sedangkan di negeri kita yang mayoritas muslim dan makanan yang beredar umumnya adalah makanan yang secara dzahirnya halal, yang lebih kita butuhkan justru bukan lebel halal, melainkan label haram. Fungsi label haram ini untuk memastikan keharaman suatu makanan. Agar masyarakat tidak mudah mengharamkan makanan yang belum dipastikan keharamannya.
Sebab mengharamkan yang halal itu sama besar dosanya dengan menghalalkan yang haram. Mungkin tidak salah kalau kita renungkan hadits shahih berikut ini :
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِيْن جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْألتِهِ
Sesungguhnya yang paling besar dosa dan kejahatannya dari kaum muslimin adalah orang yang bertanya tentang hal yang tidak diharamkan, lantas hal tersebut menjadi diharamkan karena pertanyaannya tadi.” (HR. Bukhari)
Wallahu 'alam bishshsawab
*)http://www.facebook.com/ustsarwat/posts/369642626386399
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia