Ijma’ Di Zaman Modern : Mungkinkah?

Oleh Ustadz Ahmad Sarwat, Lc*

Ketika para shahabat Nabi SAW pergi meninggalkan Madinah sepeninggal beliau SAW, dan tinggal berpencar-pencar di berbagai pusat peradaban Islam, maka sejak saat itu ijma’ di antara para ulama mengalami kesulitan secara teknis. Sebab di masa itu, peradaban Islam mengalami pemekaran yang sangat luas, hingga sampai meliputi tiga benua, yaitu Asia, Afrika dan Eropa. Bahkan sampai punya ke Indonesia (baca:nusantara) yang jaraknya sedemikian jauh.

Sehingga ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa nyaris mustahil terjadi ijma’ semenjak masa itu dan masa-masa sesudahnya. Alasannya tentu karena faktor teknis yang tidak memungkinkan mengumpulkan para ulama dari seluruh dunia di masa itu.

1. Kemajuan Teknologi

Namun kini kita hidup di masa yang amat modern, dimana teknologi yang kita punya di zaman ini tidak pernah terfikirkan dan tidak pernah terduga oleh orang-orang yang hidup di masa lalu. Dua ratusan tahun yang lalu kemajuan teknologi dan kehidupan manusia masih seperti zaman pra sejarah. Dan apa yang kita dapatkan dari kemajuan teknologi di hari ini, jangankan menduga, mimpi pun juga tidak pernah mereka alami.

a. Alat Tranportasi

Kalau di masa lalu dari Madinah ke Yaman atau ke Syam butuh waktu 2 minggu berjalan kaki, maka hari ini hanya butuh 2 jam saja dengan pesawat terbang. Karena kita sekarang ini hidup di zaman pesawat jet yang bisa terbang dengan kecepatan mendekati kecepatan suara.

Maka mengumpulkan para ulama dari berbagai negara untuk pertemuan beberapa hari untuk melakukan ijma’, secara teknis bisa dengan mudah dilakukan. Jangankan mengumpulkan ulama yang jumlahnya terbatas di dunia ini, setiap tahun tidak kurang dari 2 sampai 3 juta orang berkumpul di Arafah untuk melaksanakan ibadah haji.

Event-event untuk mengumpulkan orang sedunia di satu titik bukan hal yang aneh lagi di zaman sekarang. Perhelatan piala dunia adalah contohnya, yaitu bagaimana berjuta orang dari berbagai negara dalam waktu yang cepat bisa berkumpul di suatu negara, sekedar buat nonton orang mengejar-ngejar bola yang bundar.

Maka di masa sekarang ini, sudah mulai dirintis upaya untuk mempertemukan para ulama sedunia di dalam berbagai macam even pembahasan masalah-masalah fiqih sedunia. Beberapa majma’ fiqih secara rutin selalu mengadakan pertemuan di tingkat international, yang dihadiri oleh hampir seluruh ulama dan perwakilan dari berbagai negara.

Semua bisa terjadi dengan mudah berkat majunya teknologi tranportasi, khususnya mesin-mesin jet yang bisa membelah angkasa, dalam waktu sekejap berhasil mengantarkan orang ke negeri yang terjauh yang pernah ada.

b. Telekomunikasi

Teknologi komunikasi di zaman internet ini bahkan dapat membuat para ulama sedunia saling berkomunikasi dan berdiskusi panjang lebar tanpa harus menggeser pantatnya sedikit pun dari tempat duduknya. Telepon dan internet telah mengubah segala yang dahulu tidak mungkin dilakukan menjadi sangat mungkin, bahkan dengan nilai yang jauh lebih ekonomis dan terjangkau.

Dan dengan teknologi yang lebih maju, konferensi bisa dilakukan secara live yang diikuti oleh peserta yang secara fisik mereka tetap berada di negara masing-masing, tetapi dengan jelas bisa saling melihat dan mendengar serta bertukar pendapat.

Sudah banyak stasiun televisi yang melakukan wawancara jarak jauh lintas benua dengan beberapa nara sumber sekaligus. Hebatnya, acaranya itu disiarkan secara live. TV Aljazeera seringkali melakukan talk-show dengan banyak ulama yang tinggal berjauhan, tetapi dikemas dalam satu acara bersama.

Bukan hanya itu, tetapi tulisan ilmiyah yang mereka susun saat itu juga bisa langsung diupload ke internet dan langsung didownload oleh jutaan orang di permukaan planet bumi.

Para ulama bisa mengirim (memposting) tulisan mereka di suatu situs, untuk dijadikan kajian oleh sekian banyak ulama lain yang tersebar di berbagai belahan bumi. Tulisan itu bisa dikomentari, dikritisi dan juga diberikan masukan ini dan itu, sehingga hasilnya bisa menjadi sebuah fatwa bersama, dan pada akhirnya bisa menjadi ijma’ di zaman modern.

Penulis sendiri seringkali diminta menjadi nara sumber buat saudara-saudara kita yang ada di daratan Eropa, Amerika, Australia dan lainnya, hanya dengan menggunakan telepon genggam. Sehingga ceramah hukum-hukum syariah dan tanya jawabnya dilakukan antar negera, di belahan dunia sana para jamaah asyik berkumpul mendengarkan, sementara Penulis menjawab pertanyaan mereka satu per satu sambil menyetir mobil

2. Tantangan

Namun demikian, meski di zaman modern ini kita bersyukur memiliki alat-alat yang canggih, sehingga membuat apa-apa yang dahulu dianggap tidak mungkin, kini bisa kembali menjadi sangat mungkin dan juga dengan harga yang sangat murah, tetapi saja masih ada kekurangan disana-sini.

Kekurangan itu antara lain adalah :

a. Kurangnya Ulama

Kalau di masa lalu dengan mudah kita bisa menemukan ulama dengan segala persyaratannya, justru di masa sekarang ini kita malah kebingungan untuk menetapkan siapa sajakah para ulama itu hari ini.

Sebab terkadang penampilan mereka dengan segala atributnya sering membuat kita terpukau, apalagi kalau berbicara di depan publik, seolah-olah orang yang benar-benar ulama, karena kepandaiannya menyusun kata dan berorasi.

Tetapi semua itu belum tentu menjamin apakah mereka benar-benar ulama dalam arti yang sesungguhnya. Sebab kita masih seperti membeli kucing di dalam karung, yang belum jelas seperti jenis dan bentuknya. Ibarat kita membeli barang dalam bungkusannya yang disegel, tidak bisa dilakukan uji coba dan dilakukan pengetesan terhadap kualitasnya.

Memang benar ada hadits yang menyebutkan di akhir zaman nanti Allah SWT akan mencabut ilmu dengan meninggalnya para ulama.

إِنّ الله لا يقْبِضُ العِلْم اِنْتِزاعًا ينْتزِعُهُ مِن العِبادِ ولكِنْ يقْبِضُ العِلْم بِقبْضِ العُلماء حتىّ إِذالم يُبْقِ عالِمًا اِتّخذ النّاسُ رُءُوسًا جُهّالاً فسُئِلُوا فأفْتوْا بِغيْرِ عِلْمٍ فضلُّوا وأضلُّوا

Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba dari tengah manusia, tapi Allah mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama. Hingga ketika tidak tersisa satu pun dari ulama, orang-orang menjadikan orang-orang bodoh untuk menjadi pemimpin. Ketika orang-orang bodoh itu ditanya tentang masalah agama mereka berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun bukan berarti kita benar-benar tidak punya ulama. Dan hadits ini bukan memerintahkan kita untuk pasrah menerima takdir. Sebaliknya hadits ini justru merupakan tantangan besar buat kita yang hidup di akhir zaman ini untuk terus menerus mencetak, membina dan mengkader para ulama untuk zaman berikutnya.
Ada ungkapan yang konon disebutkan oleh Ali,”Didiklah dan persiapkanlah anak-anakmu untuk suatu zaman yang bukan zamanmu. Mereka akan hidup pada suatu zaman yang bukan zamanmu".

Seorang tentara tidak akan mendapatkan seragam dan senjata, kecuali setelah melewati beberapa tahun pendidikan yang panjang, keras dan berat. Hanya mereka yang dianggap memenuhi syarat saja yang diterima di akademi militer untuk bisa mengikuti pendidikan itu. Dan hanya mereka yang benar-benar lulus secara sempurna yang akhirnya berhak menyandang gelar sebagai tentara dengan berbagai macam level kepangkatannya. Kalau tentara saja harus lewat pendidikan, maka ulama seharusnya lebih diurus lagi dan tidak diserahkan kepada umat secara alami.

Seorang dokter tidak mungkin berpraktek sebelum mendapatkan izin praktek. Dan untuk itu dia harus menghabiskan waktu bertahun-tahun kuliah di fakultas kedokteran. Dan hanya mereka yang benar-benar anak pintar saja yang bisa lolos masuk seleksi menjadi mahasiswa di fakultas kedoteran itu. Tidak sedikit mahasiswa kedokteran yang putus kuliah di tengah jalan, karena otak mereka ternyata tidak punya kapasitas yang memadai dan akhirnya dropped out alias gagal. Kalau untuk berpraktek dokter harus melewati proses berlapis-lapis, maka untuk menjadi ulama pun juga harus sedemikian juga. Tidak mungkin ulama dilahirkan lewat program di televisi.

Maka yang kita butuhkan adalah sekolah para ulama dalam arti yang sesungguhnya. Intinya, mereka diberi bekal-bekal pengetahuan agama yang cukup selama bertahun-tahun, dengan level tertentu. Selesai itu mereka harus diuji sedemikian rupa untuk memastikan kualitas, kapasitas, kemampuan, dan kehandalan mereka, agar tidak terjadi penurunan di tengah masyarakat nanti. Tentu sangat wajar kalau para ulama ini harus distandarisasi secara profesional. Sebab profesi ini sangat berat dan mengandung resiko yang tidak kecil.

Jaksa, hakim dan berbagai jenis profesi itu ada standarisasi dan sertifikatnya. Bagaimana mungkin para ulama tidak perlu standarisasi itu?

b. Ulama Gaptek

Kalau kita sudah punya berlapis ulama yang memenuhi standar, masalah yang lain adalah urusan gagap teknologi. Meski teknologi berkembang sedemikian pesat di sekeliling kita, namun umat Islam nyaris hampir tidak pernah memanfaatkannya demi kepentingan agama dan ilmu syariah.

Apalagi di level para ulama sendiri, hanya segelintir kecil saja mereka yang melek teknologi dan memanfaatkan teknologi itu untuk kepentingan profesi mereka sebagai ulama.

Dari seribu ulama yang saya kenal, yang punya situs internet hanya beberapa orang saja. Itu pun kebanyakannya tidak terurus alias tidak ada update tulisan terbaru. Walau pun urusan ini bukan sebuah ukuran, tetapi secara tidak langsung kita bisa menilai bahwa teknologi walau pun tersedia dengan mudah dan murah, tetapi bukan berarti perkaranya selesai. Ternyata masih ada kendala gaptek yang menyelubungi para ulama dan umat Islam secara keseluruhan.

Ulama yang ilmunya tinggi sungguh sangat banyak, tapi sedikit dari mereka yang akrab dengan teknologi. Sebaliknya, umat Islam yang awam dan akrab dengan teknologi itu juga banyak, tetapi mereka adalah level orang awam yang ilmunya bukan level ulama.

Sebenarnya kalau kedua belah pihak bisa bekerja sama, kita akan mendapatkan dua keuntungan itu. Tapi sekali lagi, kerja-sama itu jarang-jarang terlihat.

*)sumber: http://www.facebook.com/ustsarwat/posts/358885000795495

---
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia
Baca juga :