Turki pada masa pemerintahan Erdogan barangkali memang bisa menjadi model buat pemerintahan baru negara-negara Arab pascarevolusi. Di bawah Partai Kesejahteraan dan Pembangunan pimpinan Erdogan, Turki menjadi negara maju dan sejahtera.
Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri*
Erdogan, tepatnya Recep Tayyip Erdogan, adalah perdana menteri Turki. Di beberapa negara Arab namanya sangat populer. Bahkan, lebih populer daripada para aktivis politik di negeri mereka sendiri. Oleh sebagian besar rakyat di negara-negara Arab pascarevolusi, ia dianggap pemimpin Islam yang seharusnya.
Mereka sangat berharap bisa mendapatkan pemimpin semacam Erdogan. Dalam kunjungannya ke Afrika Utara, Oktober lalu, ia disambut bak pahlawan. Di Kairo, Mesir, sejak keluar bandara hingga penginapannya, ribuan orang berjejer melambaikan tangan dan meneriakkan nama Erdogan. Sambutan yang sama meriah ia terima selama beberapa hari dalam lawatannya di Negeri Seribu Menara itu.
Demikian pula ketika Erdogan berkunjung ke Libya dan Tunisia. Berbagai lapisan masyarakat dari rakyat di jalanan hingga pejabat tinggi menyambut hangat tokoh yang berhasil membawa Islam ke arus utama politik Turki itu. Hal ini barangkali lantaran unjuk rasa dan revolusi di negara-negara Arab yang telah berhasil menggulingkan rezim otoriter merupakan gerakan rakyat murni.
Dalam arti, tak ada tokoh sentral ataupun pemimpin karismatik penggerak revolusi seperti Imam Khomeini ketika menggulingkan Shah Iran pada 1979. Keberhasilan revolusi ternyata juga menyisakan pekerjaan rumah (PR). Yaitu, membentuk undang-undang baru yang pas. UU yang sesuai dengan kehendak rakyat majemuk/plural yang bersama-sama telah menggulingkan rezim otoriter.
PR lainnya, menyelenggarakan pemilu parlemen dan presiden. Menarik disimak, semua pemilu di negara-negara Arab pascarevolusi dimenangkan partai Islam. Kemenangan yang barangkali akibat sikap represif rezim otoriter kepada para aktivis politik, terutama yang berhaluan Islam. Di Tunisia, rezim mantan presiden Zine Abidin bin Ali yang memerintah sekitar 21 tahun itu sangat sekuler.
Tokoh-tokoh pergerakan Islam dia penjarakan. Partai dan organisasi Islam dia berangus. Namun, pergerakan Islam ternyata tidak bisa dimatikan. Mereka tetap bergerak di bawah tanah. Karena itu, ketika diselenggarakan pemilu pasca tergulingnya Bin Ali, partai Islamlah yang paling siap, yakni Partai An-Nahdhah.
Hal yang sama terjadi di Mesir. Mantan presiden Husni Mubarak selama berkuasa 31 tahun terus menerapkan UU Darurat yang memungkinkan memberangus partai dan aktivis Islam. Dengan UU itu, ia juga menjebloskan tokohtokoh Islam vokal ke penjara tanpa proses pengadilan. Namun, pergerakan Islam ternyata tetap eksis, terutama Ikhwanul Muslimin.
Bahkan, merekalah yang paling siap, baik secara infrastruktur maupun kaderisasi, ketika mendirikan Partai Kebebasan dan Keadilan pascakejatuhan Mubarak. Hasilnya, dalam pemilu, partai Islam berhasil menguasai parlemen, yaitu Partai Kebebasan dan Keadilan (Ikhwanul Muslimin) 47 persen dan Partai An-Nur (kubu konservatif Salafi) 25 persen. Sisanya dibagi antara partai sekuler dan liberal. Di Maroko, Partai Keadilan dan Pembangunan merupakan partai Islam pertama yang memenangkan pemilu dalam sejarah negeri itu. Pemilu kali ini diselenggarakan satu tahun lebih awal dan menggunakan UU baru yang menyebutkan bahwa partai pemenang pemilu otomatis menjadi PM.
Sebelumnya, raja bisa suka-suka menunjuk PM dan dalam sejarah Maroko tidak pernah diberikan ke pimpinan partai Islam. Namun, meskipun partai Islam menang, mereka tidak serta-merta ingin mendirikan negara Islam dan membentuk konstitusi Islam. Bahkan, di Tunisia dan Maroko, partai Islam pemenang pemilu dengan suka rela berbagi kekuasaan dengan partai liberal dan sekuler.
Sedangkan, di Mesir, Partai Kebebasan dan Keadilan menegaskan akan mengedepankan kebijakan yang pragmatis dan moderat. Bahkan, mereka menjamin tidak akan ada perubahan dramatis guna menerapkan syariat Islam. Sejumlah media dan pengamat politik Timur Tengah berpandangan, sikap para pimpinan partai Islam yang moderat tersebut tampaknya merujuk pada Turki Erdogan.
Turki pada masa pemerintahan Erdogan barangkali memang bisa menjadi model buat pemerintahan baru negara-negara Arab pascarevolusi. Sebab, Erdogan yang menjadi PM sejak 2003 telah berhasil membawa partai Islam menjadi partai arus utama dalam negara sekuler. Erdogan pun terpilih beberapa kali sebagai PM dalam pemilu demokratis.
Di bawah Partai Kesejahteraan dan Pembangunan pimpinan Erdogan, Turki menjadi negara maju dan sejahtera. Selanjutnya, kehidupan yang lebih Islami akhirnya bisa diterima rakyat Turki secara luas. Tak aneh bila kemudian rakyat di beberapa negara Arab pascarevolusi mencari pemimpin sekaliber Erdogan.***
Mereka sangat berharap bisa mendapatkan pemimpin semacam Erdogan. Dalam kunjungannya ke Afrika Utara, Oktober lalu, ia disambut bak pahlawan. Di Kairo, Mesir, sejak keluar bandara hingga penginapannya, ribuan orang berjejer melambaikan tangan dan meneriakkan nama Erdogan. Sambutan yang sama meriah ia terima selama beberapa hari dalam lawatannya di Negeri Seribu Menara itu.
Demikian pula ketika Erdogan berkunjung ke Libya dan Tunisia. Berbagai lapisan masyarakat dari rakyat di jalanan hingga pejabat tinggi menyambut hangat tokoh yang berhasil membawa Islam ke arus utama politik Turki itu. Hal ini barangkali lantaran unjuk rasa dan revolusi di negara-negara Arab yang telah berhasil menggulingkan rezim otoriter merupakan gerakan rakyat murni.
Dalam arti, tak ada tokoh sentral ataupun pemimpin karismatik penggerak revolusi seperti Imam Khomeini ketika menggulingkan Shah Iran pada 1979. Keberhasilan revolusi ternyata juga menyisakan pekerjaan rumah (PR). Yaitu, membentuk undang-undang baru yang pas. UU yang sesuai dengan kehendak rakyat majemuk/plural yang bersama-sama telah menggulingkan rezim otoriter.
PR lainnya, menyelenggarakan pemilu parlemen dan presiden. Menarik disimak, semua pemilu di negara-negara Arab pascarevolusi dimenangkan partai Islam. Kemenangan yang barangkali akibat sikap represif rezim otoriter kepada para aktivis politik, terutama yang berhaluan Islam. Di Tunisia, rezim mantan presiden Zine Abidin bin Ali yang memerintah sekitar 21 tahun itu sangat sekuler.
Tokoh-tokoh pergerakan Islam dia penjarakan. Partai dan organisasi Islam dia berangus. Namun, pergerakan Islam ternyata tidak bisa dimatikan. Mereka tetap bergerak di bawah tanah. Karena itu, ketika diselenggarakan pemilu pasca tergulingnya Bin Ali, partai Islamlah yang paling siap, yakni Partai An-Nahdhah.
Hal yang sama terjadi di Mesir. Mantan presiden Husni Mubarak selama berkuasa 31 tahun terus menerapkan UU Darurat yang memungkinkan memberangus partai dan aktivis Islam. Dengan UU itu, ia juga menjebloskan tokohtokoh Islam vokal ke penjara tanpa proses pengadilan. Namun, pergerakan Islam ternyata tetap eksis, terutama Ikhwanul Muslimin.
Bahkan, merekalah yang paling siap, baik secara infrastruktur maupun kaderisasi, ketika mendirikan Partai Kebebasan dan Keadilan pascakejatuhan Mubarak. Hasilnya, dalam pemilu, partai Islam berhasil menguasai parlemen, yaitu Partai Kebebasan dan Keadilan (Ikhwanul Muslimin) 47 persen dan Partai An-Nur (kubu konservatif Salafi) 25 persen. Sisanya dibagi antara partai sekuler dan liberal. Di Maroko, Partai Keadilan dan Pembangunan merupakan partai Islam pertama yang memenangkan pemilu dalam sejarah negeri itu. Pemilu kali ini diselenggarakan satu tahun lebih awal dan menggunakan UU baru yang menyebutkan bahwa partai pemenang pemilu otomatis menjadi PM.
Sebelumnya, raja bisa suka-suka menunjuk PM dan dalam sejarah Maroko tidak pernah diberikan ke pimpinan partai Islam. Namun, meskipun partai Islam menang, mereka tidak serta-merta ingin mendirikan negara Islam dan membentuk konstitusi Islam. Bahkan, di Tunisia dan Maroko, partai Islam pemenang pemilu dengan suka rela berbagi kekuasaan dengan partai liberal dan sekuler.
Sedangkan, di Mesir, Partai Kebebasan dan Keadilan menegaskan akan mengedepankan kebijakan yang pragmatis dan moderat. Bahkan, mereka menjamin tidak akan ada perubahan dramatis guna menerapkan syariat Islam. Sejumlah media dan pengamat politik Timur Tengah berpandangan, sikap para pimpinan partai Islam yang moderat tersebut tampaknya merujuk pada Turki Erdogan.
Turki pada masa pemerintahan Erdogan barangkali memang bisa menjadi model buat pemerintahan baru negara-negara Arab pascarevolusi. Sebab, Erdogan yang menjadi PM sejak 2003 telah berhasil membawa partai Islam menjadi partai arus utama dalam negara sekuler. Erdogan pun terpilih beberapa kali sebagai PM dalam pemilu demokratis.
Di bawah Partai Kesejahteraan dan Pembangunan pimpinan Erdogan, Turki menjadi negara maju dan sejahtera. Selanjutnya, kehidupan yang lebih Islami akhirnya bisa diterima rakyat Turki secara luas. Tak aneh bila kemudian rakyat di beberapa negara Arab pascarevolusi mencari pemimpin sekaliber Erdogan.***
(REPUBLIKA - Kolom Resonansi 30/1/12)
*Tentang Penulis:
Ikhwanul Kiram Mashuri
Sejak lulus dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pria kelahiran Kediri, 5 August 1958 ini memutuskan menggeluti dunia jurnalistik. Kini ia menjadi wartawan senior Harian Republika. Di sela-sela tugasnya sehari-hari sebagai Direktur News dan Konten di Grup Republika, mantan pemred Harian Republika yang juga alumi Pondok Pesantren Modern Gontor ini kerap memberikan siraman rohani, baik di kalangan internal maupun masyarakat luar.
- baca juga tulisan Ikhwanul Kiram Mashuri "Timur Tengah 2012"
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia