Dari Anatolia Hingga Aceh: Napak Tilas Jejak Turki Utsmani di Nusantara

Dari `Benua Ruhum' ke Nusantara (1)

Oleh Azyumardi Azra*

Jika orang-orang berbicara tentang hubungan erat dan penyebaran peJ ngaruh Timur Tengah di Indonesia, pastilah mereka ingat hanya Arab Saudi, Mesir, atau bahkan Iran, tetapi Turki hampir tidak singgah dalam ingatan. Padahal, hubungan antara Indonesia dan Turki memiliki distingsinya sendiri sejak masa awal sampai masa sekarang, baik dalam bidang politik maupun belakangan ini juga dalam bidang keagamaan, khususnya terkait dengan Islam Washatiyah.

Selain itu, hubungan antara kedua wilayah Muslim ini juga melewati masa sangat panjang tercatat dalam sebagian historiografi nusantara dan ada pula di dalam ingatan kolektif kalangan masyarakatnya. Dalam konteks itu, workshop internasional bertajuk “From Anatolia to Aceh: Ottomans, Turks, and Southeast Asia“ yang berlangsung di Banda Aceh, 11-12 Januari 2012 lalu, sangat penting.

Konferensi yang diselenggarakan British Academy, British Institute in Ankara, ASEASUK, ICAIOS, dan PPS IAIN Ar-Raniry ini tidak hanya menyegarkan kembali memori kolektif tentang hubungan antara Anatolia Turki dan Aceh, tetapi juga dengan nusantara secara keseluruhan.

Bagi saya yang berbicara sebagai pembicara kunci--selain Profesor Anthony Reid dari ANU Canberra--hubungan `Benua Ruhum' dengan nusantara lebih daripada sekadar biasa-biasa saja. Istilah `Benua Ruhum' atau `Rum' pasti bukan istilah populer di Indonesia karena sudah menjadi istilah kuno yang tersimpan dalam berbagai historiografi nusantara.

Dalam historiografi tradisional nusantara, seperti tambo, hikayat, dan babad, istilah `Benua Ruhum' atau `Rum' mengacu kepada Turki Usmani, yang mengalami puncak kejayaannya sepanjang abad ke-16 dan 17. Kejayaan Dinasti Turki Usmani yang praktis menguasai seluruh kawasan Timur Tengah, Laut Tengah, Eropa Timur, dan sebagian wilayah Asia Tengah mendorong para penguasa nusantara untuk mengafiliasikan genealogi mereka dengan para penguasa `Benua Ruhum'.


Hubungan antara kedua wilayah Muslim ini menempuh tiga fase panjang. Pertama, periode abad ke-16 sampai 18 yang terutama ditandai kemunculan berbagai mitos dan legenda tentang `Benua Ruhum'sebagai asal muasal penguasa-penguasa kerajaan tertentu di nusantara. Puncaknya adalah hubungan diplomatik-politik cukup intens.

Adalah Kesultanan Aceh yang sejak awal abad ke-16 berhubungan intens dengan Dinasti Turki Usmani. Kesultanan ini mengirim beberapa utusan ke Istanbul untuk menjalin hubungan diplomatik-politik dan sekaligus meminta bantuan dalam menghadapi Portugis yang menjarah kapal-kapal dagang Aceh yang berlayar di kawasan lautan India dan Laut Merah.

Periode kedua ditemukan momentum sejak perempatan terakhir abad ke19 dan dasawarsa-dasawarsa awal abad ke-20. Periode ini ditandai dengan kebangkitan gagasan pan-Islamisme, yang juga diusung pemikir cum-aktivis Jamal al-Din al-Afghani. Turki Usmani yang tengah melakukan reformasi (tanzimat) sejak akhir abad ke-19.

Bagi berbagai kekuatan kolonialisme Eropa, Dinasti Usmani merupakan bahaya karena tetap memiliki potensi besar untuk membangkitkan solidaritas Islam yang pada gilirannya dapat terwujud dalam pan-Islamisme yang selanjutnya menghasilkan gerakan politik dan perlawanan untuk menumbangkan kolonialisme Eropa.

Terdapat berbagai bukti, Turki Usmani secara diam-diam menggalang gerakan pan-Islamisme dari Indonesia, Singapura, sampai Filipina. Tetapi, Dinasti Usmani sendiri terancam gerakan Turki Muda dengan tokoh utama Ziya Gokalp dan Mustafa Kemal Ataturk yang ingin menghapus `khilafah'. Perkembangan ini menimbulkan solidaritas di Indonesia untuk membela eksistensi Turki Usmani yang terwujud dengan pembentukan `Komite Khilafat' yang melibatkan banyak pemimpin Islam modernis dan tradisionalis.

Periode ini juga ditandai perdebatan soal `khilafah' Usmani yang melibatkan tokoh semacam Haji Agus Salim. Bagi Salim, `khilafah' Usmani tidak relevan dengan nusantara, yang menurut dia tidak lebih daripada kekuasaan politik otokratik dan despotik. Tak kurang intensnya adalah perdebatan antara Mohammad Natsir dan Soekarno tentang gagasan dan praksis Turki Muda, khususnya menyangkut sekularisme.

Jika Bung Karno mendukung sekularisme, sebaliknya Natsir menolak pemisahan agama dengan negara dan menganjurkan Islam sebagai dasar negara. Tidak ragu lagi, wacana intelektual dan perdebatan di antara kedua tokoh pemikir cum-aktivis ini merupakan contoh terbaik pertukaran pemikiran secara berkeadaban di kalangan Muslim Indonesia. (bersambung) - REPUBLIKA 19/1/12


*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia
Baca juga :