Menteri Dalam Negeri (Mendagri) meminta pemerintah daerah mengevaluasi peraturan daerah (perda) yang mengatur peredaran minuman keras (miras). Dasar permintaan, menurut Mendagri, adalah desakan Komnas HAM yang menilai perda tersebut telah melanggar hak asasi manusia (HAM). Namun, Komisioner Johny Nelson Simanjuntak membantah bahwa Komnas HAM telah mendesak Mendagri secara spesifik tentang perda miras. Komnas HAM, menurut dia, hanya meminta peninjauan “perda-perda syariah“ dengan alasan dapat memicu konflik horizontal.
Siapa berbohong? Mendagri bergelagat lari dari isu utama upaya pencabutan perda miras dan mengalihkan persoalan pada masalah desakan Komnas HAM. Mendagri juga berupaya melunakkan isu ini dengan mengadu kata `etanol' pada Kepres No 3/1997 dengan kata `miras' pada perda-perda. Komnas HAM, di sisi lain, sadar tema hak asasi manusia dalam urusan menenggak minuman memabukkan tidak masuk akal sehat. Wajar, lembaga ini lebih memilih isu “perda syariah“ walaupun di dalamnya bisa saja mengatur masalah miras.
Kita sulit menerima pengaitan perda miras dengan isu terdahulu tentang “perda syariah“. Faktanya, pengaturan peredaran minuman keras muncul tidak hanya di daerah-daerah berpenduduk mayoritas Muslim. Manokwari dan Bali, misalnya, sama ketatnya dengan Tangerang atau Indramayu dalam mengatur masalah ini karena sadar akan dampak buruk minuman memabukkan itu.
Kita sadar ada upaya lama dan sistematis untuk memisahkan masalah moral dengan kehidupan sosial. Moralitas sedang dipromosikan sebagai hal privat yang tak seorang pun boleh menjadi ustaz atau pendeta bagi yang lain. Penentangan perda miras dan desakan tentang “perda syariah“ bisa kita pahami sebagai bagian dari upaya itu.
Miras dalam referensi manapun termasuk pemicu kriminalitas. Intinya, terletak pada kemampuan miras untuk menghilangkan kesadaran manusia. Ketika manusia kehilangan kesadaran, perbuatan bejat dan menyimpang dari norma hukum dapat dengan mudah terjadi. Itu sebabnya, pengaturan peredaran miras ada di semua kelompok masyarakat di seluruh dunia, di negara paling liberal sekalipun.
Kritik bahwa perda miras, misalnya, di Kabupaten Tangerang bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi sebenarnya juga keliru. Kendati mengandung frasa `pelarangan miras', substansi perda tersebut sesungguhnya mengatur, bukan melarang total. Jadi, persis sama dengan Keppres No 3/1997. Sebagaimana dalam keppres, Pemkot Tangerang mengatur penjualan pada tempat-tempat tertentu. Jelas pula ada pengecualian larangan, misalnya, pada toko-toko duty free atau hotel dan restoran berlabel tertentu.
Mendagri merasa difitnah dalam isu ini. Tapi, ia hanya mempersoalkan masalah kata `mencabut perda' dan `mengevaluasi perda'. Padahal, substansinya menyangkut masalah kekeliruan memahami perda-perda tersebut yang sangat mungkin terjadi karena ketidakcermatan dalam menerima masukan, sebagaimana halnya menyangkut perda miras di Tangerang. Tak ada gunanya memaksakan diri untuk hal yang sudah jelas begini, sebagaimana tak ada gunanya Kemendagri menuding bupati sebagai penggerak demonstrasi mendukung perda miras. [TAJUK REPUBLIKA - 17/1/12]
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia
Siapa berbohong? Mendagri bergelagat lari dari isu utama upaya pencabutan perda miras dan mengalihkan persoalan pada masalah desakan Komnas HAM. Mendagri juga berupaya melunakkan isu ini dengan mengadu kata `etanol' pada Kepres No 3/1997 dengan kata `miras' pada perda-perda. Komnas HAM, di sisi lain, sadar tema hak asasi manusia dalam urusan menenggak minuman memabukkan tidak masuk akal sehat. Wajar, lembaga ini lebih memilih isu “perda syariah“ walaupun di dalamnya bisa saja mengatur masalah miras.
Kita sulit menerima pengaitan perda miras dengan isu terdahulu tentang “perda syariah“. Faktanya, pengaturan peredaran minuman keras muncul tidak hanya di daerah-daerah berpenduduk mayoritas Muslim. Manokwari dan Bali, misalnya, sama ketatnya dengan Tangerang atau Indramayu dalam mengatur masalah ini karena sadar akan dampak buruk minuman memabukkan itu.
Kita sadar ada upaya lama dan sistematis untuk memisahkan masalah moral dengan kehidupan sosial. Moralitas sedang dipromosikan sebagai hal privat yang tak seorang pun boleh menjadi ustaz atau pendeta bagi yang lain. Penentangan perda miras dan desakan tentang “perda syariah“ bisa kita pahami sebagai bagian dari upaya itu.
Miras dalam referensi manapun termasuk pemicu kriminalitas. Intinya, terletak pada kemampuan miras untuk menghilangkan kesadaran manusia. Ketika manusia kehilangan kesadaran, perbuatan bejat dan menyimpang dari norma hukum dapat dengan mudah terjadi. Itu sebabnya, pengaturan peredaran miras ada di semua kelompok masyarakat di seluruh dunia, di negara paling liberal sekalipun.
Kritik bahwa perda miras, misalnya, di Kabupaten Tangerang bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi sebenarnya juga keliru. Kendati mengandung frasa `pelarangan miras', substansi perda tersebut sesungguhnya mengatur, bukan melarang total. Jadi, persis sama dengan Keppres No 3/1997. Sebagaimana dalam keppres, Pemkot Tangerang mengatur penjualan pada tempat-tempat tertentu. Jelas pula ada pengecualian larangan, misalnya, pada toko-toko duty free atau hotel dan restoran berlabel tertentu.
Mendagri merasa difitnah dalam isu ini. Tapi, ia hanya mempersoalkan masalah kata `mencabut perda' dan `mengevaluasi perda'. Padahal, substansinya menyangkut masalah kekeliruan memahami perda-perda tersebut yang sangat mungkin terjadi karena ketidakcermatan dalam menerima masukan, sebagaimana halnya menyangkut perda miras di Tangerang. Tak ada gunanya memaksakan diri untuk hal yang sudah jelas begini, sebagaimana tak ada gunanya Kemendagri menuding bupati sebagai penggerak demonstrasi mendukung perda miras. [TAJUK REPUBLIKA - 17/1/12]
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia