Serial (7): "Durar As-Suluk fi Siyasat Al-Mulk"

KAJIAN KITAB DURAR AL-SULUK FI SIYASAT AL-MULUK
(Petuah-petuah Taujih Siyasi Untuk Para Raja dan Pemimpin)

Karya: Imam Abu al-Hasan ‘Ali bin Habib al-Mawardi

(Oleh: Musyafa Ahmad Rahim-Ketua Kaderisasi DPP PKS)



PETUAH_11

وَقَالَ بَعْضُ الْبُلَغَاءِ: اِلْزَمِ الصَّمْتَ، فَإِنَّهُ يَكْسِبُكَ صَفْوَ الْمَحَبَّةِ، وَيُؤَمِّنُكَ سُوْءَ الْمَغَبَّةِ، وَيُلْبِسُكَ ثَوْبَ الْوَقَارِ، وَيَكْفِيْكَ مُؤْنَةَ الِاعْتِذَارِ

Sebagian pakar balaghah berkata: “Tetaplah diam, sebab ia akan memberimu kecintaan yang bening, mengamankanmu dari kesudahan (akhir kehidupan) yang buruk, memberimu pakaian waqar dan membebaskanmu dari “ongkos” atau “biaya” mengemukakan alasan atau meminta permakluman.

وَتَكَلَّمَ أَرْبَعَةٌ مِنْ حُكَمَاءِ الْمُلُوْكِ بِأَرْبَعَةِ كَلِمَاتٍ كَأَنَّهَا رُمِيَتْ عَنْ قَوْسٍ

Ada empat raja yang bijak yang mengucapkan empat kalimat (yang substansinya sama), seakan meluncur dari dari satu busur;

فَقَالَ مَلِكُ الرُّوْمِ: أَفْضَلُ عِلْمِ الْعُلَمَاءِ اَلسُّكُوْتُ
وَقَالَ مَلِكُ الْفُرْسِ: إِذَا تَكَلَّمْتُ بِالْكَلِمَةِ مَلَكَتْنِيْ، وَلَمْ أَمْلِكْهَا
وَقَالَ مَلِكُ الْهِنْدِ: أَنَا عَلَى رَدِّ مَا لَمْ أَقُلْ أَقْدَرُ مِنِّيْ عَلَى رَدِّ مَا قُلْتُ
وَقَالَ مَلِكُ الصِّيْنِ: نَدِمْتُ عَلَى الْكَلَامِ وَلمْ أَنْدَمْ عَلَى السُّكُوْتِ

Raja Romawi berkata: “Sebaik-baik ilmu ulama’ adalah diam”.
Raja Persia berkata: “Jika aku mengucapkan satu kata, satu kata itu mengendalikan diriku dan aku tidak mampu mengendalikannya”.
Raja India berkata: “Aku lebih mampu membantah sesuatu yang belum aku ucapkan daripada membantah yang sudah aku ucapkan”.
Raja Cina berkata: “Saya menyesali perkataan yang terucap dan tidak menyesali diam”.

وَلْيَعْلَمْ أَنَّ الْحَاجَةَ إِلَى الصَّمْتِ أََكْثَرُ مِنَ الْحَاجَةِ إِلَى الْكَلَامِ، لِأَنَّ الْحَاجَةَ إِلَى الصَّمْتِ عَامَّةٌ، وَالْحَاجَةُ إِلَى الْكَلَامِ عَارِضَةٌ، فَلِذَلِكَ مَا وَجَبَ أَنْ يَكُوْنَ صَمْتُ الْعَاقِل فِي الْأَحْوَالِ أَكْثَرَ مِنْ كَلَامِهِ فِيْ كُلِّ حَالٍ

Dan hendaklah seseorang mengetahui bahwa kebutuhan kepada diam lebih banyak daripada kebutuhan kepada bicara, sebab kebutuhan kepada diam bersifat umum (sepanjang waktu), sedangkan kebutuhan kepada bicara bersifat temporer, oleh karena itu menjadi sebuah kewajiban agar seorang yang berakal lebih banyak diam dalam keadaan bagaimanapun dari pada berbicara yang sesuai dengan situasi dan kondisi.

حُكِيَ أَنَّ بَعْضَ الْحُكَمَاءِ رَأَى رَجُلاً يُكْثِرُ الْكَلَامَ وَيُقِلُّ السُّكُوْتَ، فَقَالَ لَهُ: إِِنَّ اللهَ تَعَالَى إِنَّمَا جَعَلَ لَكَ أُذُنَيْنِ وَلِسَانًا وَاحِدًا لِيَكُوْنَ مَا تَسْمَعُهُ ضِعْفَ مَا تَتَكَلَّمَ بِهِ، فَإِذَا دَعَتْهُ الْحَاجَةُ إِلَى الْكَلَاَمِ سَبَرَهُ

Diceritakan bahwa seorang bijak melihat seorang lelaki yang banyak berbicara dan sedikit diam, maka ia berkata kepadanya: “Sesungguhnya Allah SWT telah menjadikan untukmu dua telinga dan satu lidah, agar apa yang engkau dengar dua kali lipat dari apa yang engkau ucapkan, jika ada keperluan untuk berbicara, maka ia memilih-milihnya terlebih dahulu.

وَقِيْلَ: اللِّسَان وَزِِيْرُ الْإِنْسَانِ، فَإِذَا تَكَلَّمَ حَذِرَ مِنَ الْإِكْثَارِ، فَقَلَّ مَنْ كَثُرَ كَلَامُهُ إِلَّا وَكَثُرَ نَدَمُهُ

Dikatakan: Lidah adalah menterinya manusia, oleh karena itu, jika ia berbicara hendaklah hati-hati jangan sampai kebanyakan, sebab, sedikit sekali orang yang banyak berbicara kecuali akan banyak pula penyesalannya.

وَقَدْ قِيْلَ: مَنْ كَثُرَ كَلَامُهُ كَثُرَتْ آثَامُهُ

Dikatakan pula: Siapa yang banyak berbicara, banyak pula dosanya.

وَلَا يَنْبَغِيْ أَنْ يَعْجَبَ بِجِيْدٍ كَلَامِهِ وَلَا بِصَوَابِ مَنْطِقِهِ، فَإِنَّ الْإِعْجَابَ بِهِ سَبَبُ الْإِكْثَارِ مِنْهُ

Dan janganlah seseorang takjub kepada pembicaraannya yang baik dan logikanya yang benar, sebab rasa takjub ini menyebabkan ia banyak berbicara.

وَقَدْ قِيْلَ: مَنْ أُعْجِبَ بِقَوْلِهِ أُصِيْبَ بِعَقْلِهِ

Dikatakan pula: Siapa yang takjub dengan ucapannya, niscaya akalnya akan tertimpa sesuatu.


ULASAN:


Ada beberapa hal yang dapat digaris bawahi dan perlu sedikit mendapat ulasan dari PETUAH_11 ini, diantaranya:

1. PETUAH_11 ini sebenarnya masih kelanjutan dari PETUAH_10, namun karena panjang, maka pengirimannya saya buat dalam dua PETUAH. Oleh karena itu, PETUAH_11 ini masih berbicara tentang pentingnya seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi untuk lebih banyak diam dari pada berbicara. Oleh karena itu, dalam PETUAH_11 ini, Imam Mawardi masih menjelaskan tentang keuntungan-keuntungan diam bagi seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi.

2. Diantara keuntungan-keuntungan lain dari diam (selain yang telah disebutkan dalam PETUAH_10), termasuk di dalamnya adalah keuntungan-keuntungan diam secara siyasi adalah sebagai berikut:

a. Dengan diam, maka rasa cinta diantara dua orang, atau dua pihak, akan tetap terjaga kejernihan dan kebeningannya.

b. Engan diam, maka seseorang, khususnya seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi, akan aman dari akibat buruk.

c. Dengan diam, maka seseorang, khususnya seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi akan mendapatkan waqar (wibawa).

d. Dengan diam, maka seseorang, khususnya seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi, tidak perlu keluar ongkos atau biaya klarifikasi, atau meminta maaf, atau membuat bayanat untuk memperjelas dan meluruskan pernyataannya, dan untuk keperluan-keperluan semacam ini yang lainnya.
3. Ada hal menarik yang disebutkan Imam Mawardi dalam kitab-nya ini, yaitu tentang adanya kesamaan substansi dari pernyataan empat orang raja yang bijaksana, dari negeri yang berbeda-beda dan saling berjauhan. Hal ini menandakan bahwa “kesepakatan” mereka merupakan kesamaan pengalaman yang sangat perlu diperhatikan oleh semua raja, atau pemimpin, atau pejabat atau politisi. (silahkan dibaca dan direnungkan kembali ucapan empat raja yang bijaksana tersebut).

4. Kaidah umumnya adalah sebagai berikut:

a. Kebutuhan kepada diam bersifat asas, umum dan berlaku sepanjang waktu, sedangkan kebutuhan untuk berbicara bersifat temporer, yaitu manakala keadaan benar-benar menuntut seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi untuk berbicara.

b. Jika seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi, hendaklah ia melakukan proses as-sabr, yaitu menyiapkan berbagai opsi konten berbicara, lalu menyeleksinya satu persatu, dan baru setelah melakukan penyeleksian seksama, ia berbicara dengan yang terbaik.

c. Dan jika seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi sudah melakukan proses as-sabr tersebut, dan mengharuskannya berbicara, maka, hendaklah ia berhati-hati, jangan sampai berbicara kebanyakan.

d. Dan kalau seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi sudah berbicara, dan ternyata, pembicaraannya tepat dan benar, serta logikanya bagus, jangan sampai hal ini menjadikannya takjub, sebab, begitu dia takjub, maka ia akan terperosok untuk banyak berbicara, yang berarti ia akan terjerumus kepada situasi yang berpotensi besar mebahayakannya secara siyasi.

5. Kenapa seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi harus senantiasa komitmen dengan kaidah-kaidah umum ini? Sebab:

a. Mulut manusia hanya satu sedangkan telinganya dua, hal ini mengajarkan agar manusia, khususnya seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi, lebih banyak diam dari pada bicara.

b. Siapa yang banyak berbicara, niscaya akan banyak menyesal.

c. Siapa yang banyak berbicara, niscaya akan banyak dosanya.



PETUAH_12

وَمِمَّا هُوَ أَلْزَمُ فِيْ أَخْلَاقِ الْمَلِكِ وَأَلْيَقُ: اِعْتِمَادُ الصِّدْقِ وَاجْتِنَابُ الْكَذِبِ، فَإِنَّهُ سَهْلُ الْبَادِرَةِ، خَبِيْثُ الْعَاقِبَةِ، لِأَنَّهُ يَعْكِسُ الْأُمُوْرَ إِلَى أَضْدَادِهَا، وَيَسْتَبْدِلُ الْحَقَائِقَ بِأغْيَارِهَا، فَيَضَعُ الْبَاطِلَ مَوْضِعَ الْحَقِّ، وَيَتَخَيَّلُ أَنَّ الْكَذِبَ يَتَشَبَّهَ بِالصِّدْقِ

Termasuk akhlaq yang menjadi kemestian bagi seorang raja dan lebih layak: Selalu menjadikan kejujuran dan kebenaran sebagai pegangannya serta menjauhi kedustaan dan kebohongan, sebab kebohongan itu gagasan yang mudah, namun sangat buruk akibatnya, sebab ia merubah banyak urusan kepada kebalikannya, mengganti realita dengan selainnya, menempatkan kebatilan pada posisi kebenaran dan tampak dalam khayalan bahwa kebohongan itu mirip kejujuran.

كَلاَّ فَإِنَّ الزَّمَانَ يَكْشِفُ عَنْ خَبَايَاهُ، وَيَنُمُّ عَلَى خَفَايَاهُ.

Jangan demikian, sebab waktu akan mengungkap segala hal yang berada di balik tabir dan membongkar segala hal yang selama ini tersamar.

وَكَذَلِكَ قَالَ النَّبِي - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
(رَحِمَ اللهُ اِمْرَءًا أَصْلَحَ مِنْ لِسَانِهِ، وَأَقْصَرَ مِنْ عَنَانِهِ، وَأَلْزَمَ طَرِيْقَ الْحَقِّ مَقُوْلَهُ، وَلَمْ يُعَوِّدِ الْخَطَلَ مِفْصَلَهُ)

Dan demikianlah Rasulullah SAW bersabda: “Semoga Allah SWT merahmati seseorang yang memperbaiki lisannya, mengekang kendalinya dan memastikan ucapannya selalu berada di jalan kebenaran, serta tidak membiasakannya untuk salah ucap”.

ULASAN

Ada beberapa hal yang dapat digaris bawahi dan perlu sedikit mendapat ulasan dari PETUAH_12 ini, diantaranya:

1. PETUAH_12 ini sebenarnya masih terkait dengan pembahasan tentang Al-WAQAR yang mesti dimiliki oleh seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi.

2. Agar Seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi memiliki WAQAR (tenang penuh wibawa), maka hendaklah ia:

a. Menjadikan ash-shidq (kejujuran dan kebenaran) sebagai pegangan utama akhlaqnya.

b. Menghindari dan menjauhi al-kadzib (kedustaan dan kebohongan).

3. Selanjutnya, Imam Mawardi – rahimahullah – menjelaskan sisi negatif dari al-kadzib menurut sudung pandang akhlaq politik (akhlaq siyasiyah), maka beliau menjelaskan:

a. Al-kadzib itu sesuatu yang mudah terlintas dalam benak dan pikiran seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi. Maksudnya, mudah sekali gagasan untuk mengambil pilihan al-kadzib bagi mereka. Nas-aluLlaha al-‘afwa wal ‘afiyah (Semoga Allah SWT menghindarkan kita dari pilihan dusta dan bohong ini serta memaafkan kita).

b. Namun demikian, akibat dan kesudahan dari al-kadzib ini sangatlah buruk, dan bahkan busuk.

c. Al-kadzib mempunyai dampak-dampak negatif, termasuk menurut sudut pandang politik, yang sangat luar biasa, yaitu:

i. Merubah hakekat (kenyataan dan realita) menjadi sebaliknya.

ii. Tertukarnya posisi al-haq dan al-bathil. Maksudnya, yang semestinya dinyatakan sebagai al-haq, malah dinyatakan sebagai batil, dan semestinya dinyatakan sebagai batil malah dinyatakan sebagai al-haq.

iii. Segala hal yang dusta dan bohong, tampak dan terbayang sebagai kebenaran. Na’udzu billah min dzalik.

4. Yang harus diketahui dan diyakini oleh seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi adalah bahwa berjalannya waktu, segala hal yang tersembunyi dan tersamar, pada akhirnya akan terbuka dan terbongkar. Fakta ini hendaklah semakin mendorong mereka untuk selalu menjadikan ash-shidq sebagai pegangannya dan menghindari dan menjauhi al-kadzib.

5. Sebagai penutup terhadap PETUAH_12 ini, Imam Mawardi menutupnya dengan mengutip riwayat (dho’ifah) yang berisi ajaran sebagai berikut:

a. Hendaklah seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi selalu memperbaiki lisannya. Hal ini mencakup:

i. Perbaikan aspek kefasihan bicaranya.
ii. Perbaikan penyampaikannya (khithab)-nya.
iii. Perbaikan konten dan muatannya, dan terutama
iv. Jangan mengandung sisi kebohongan dan kedustaan.

b. Hendaklah seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi dapat mengendalikan lisannya, jangan mudah berkomentar, apalagi “kelepasan” berkomentar. Namun, komentar yang keluar darinya sudah diperhitungkan matang-matang.

c. Hendaklah seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi selalu memastikan kebenaran dalam ucapannya.

d. Hendaklah seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi melatih lidahnya yang tidak bertulang itu agar tidak mudah “keseliu” atau “terkilir” apalagi “keceklik”.

--------
*Baca Serial sebelumnya:
- Serial (6): "Durar As-Suluk fi Siyasat Al-Mulk"


*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Indonesia
Baca juga :