Oleh: Ust. Musyafa Ahmad Rahim, MA
Ketua Kaderisasi DPP PKS
Diantara kosa kata yang sangat populer, khususnya saat berbicara tentang taqdir, adalah kata ikhtiyar, yang sudah kadung dimaknai sebagai “usaha”, misalnya: “ada taqdir ada ikhtiyar”, maksudnya “ada takdir ada usaha”.
Menurut pamahaman saya yang dangkal, kata ikhtiyar sebenarnya ada hubungan erat dengan kata khair yang artinya adalah sesuatu yang terbaik. Dan ikhtiyar artinya memilih yang terbaik diantara sekian banyak pilihan yang ada atau pilihan yang tersedia. Dan dalam konteks pembahasan taqdir, maksud-nya adalah ada perbuatan atau sesuatu di mana manusia tidak dapat lagi berkehendak, memilih dan terlebih lagi menentukan, misalnya: seseorang dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan. Dia, sebagai sang lelaki atau sang perempuan, tidak ada kehendak, pilihan dan terlebih lagi kemampuan untuk menentukan pilihannya sendiri. Inilah yang biasa disebut takdir. Namun, ada banyak urusan, manusia itu mempunyai kehendak, pilihan dan diberi kemampuan oleh Allah SWT untuk “menentukan” apa yang terbaik bagi dirinya, terbaik menurut sudut pandang manusia, dan terbaik menurut sudut pandang Allah SWT.
Karena ada “pilihan” inilah maka urusan itu disebut ikhtiyar. Misalnya, seorang lelaki, kelahirannya sebagai lelaki, dia tidak ada pilihan, dan biasa disebut, sudah takdir. Namun, sikap dia terhadap kenyataan bahwa dia seorang lelaki, antara bersyukur dan kufur, dia diberi kehendak dan pilihan oleh Allah SWT untuk “menentukannya”, dan berdasar pada pilihan inilah dia “dinilai”, baik oleh sesama manusia, atau pun oleh Allah SWT. Jika dia bersyukur, maka sesama manusia (manusia lainnya, selain dirinya), akan mengatakan ikhtiyar-nya itu baik, dan Allah SWT berfirman: “Dan sungguh, jika kalian bersyukur, niscaya akan Aku tambahkan kepada kalian [kenikmatan-Ku]”. Sebaliknya, jika si lelaki tersebut kufur, maka manusia lainnya akan menilainya dengan cara mencelanya, mencacinya, menghukumnya dan bahkan bisa jadi membunuhnya. Dan Allah SWT memberi penilaian: “Dan sungguh jika kalian kufur, maka sesungguhnya adzab-Ku sangat keras”.
Begitu juga halnya bagi manusia yang “berhadapan” dengan “kelelaki-lakian” seseorang. Tentang keberadaan seseorang sebagai lelaki, kan sudah taqdir dari sononya. Namun ada hal yang bersifat ikhtiyari terkait dengan “kelelaki-lakian” seseorang. Misalnya, ia memujinya, atau mencelanya. Maka hal yang bersifat ikhtiyari ini, ada konsekwensi “penilaian” dari sesama manusia dan dari Allah SWT.
Singkatnya, jika urusannya taqdir, maka manusia tidak dinilai, baik dengan reward ataupun punishment, namun, jika urusannya ikhtiyar, maka manusia dinilai, baik dengan reward ataupun punishment.
Yang perlu juga ditegaskan adalah saat seseorang melakukan penilaian terhadap orang lain dan terhadap ikhtiyar-nya, baik atau pun buruk penilaiannya itu, maka penilaiannya itu adalah ikhtiyar seseorang tersebut yang juga berhak mendapatkan penilaian dari Allah SWT dan juga dari manusia-manusia lainnya lagi. Artinya, penilaian dia terhadap ikhtiyar orang lain juga berhak dinilai oleh Allah SWT dan oleh sesama manusia lainnya dengan diberikan reward atau punishment.
Misalnya, si bungsu yang suka tidur di saat belajar. Tidurnya si bungsu di saat belajar adalah ikhtiyar-nya yang berhak dinilai oleh bapak atau ibu guru yang mengajarnya, dan juga berhak dinilai oleh teman-teman di kelasnya. Misalnya saja, karena suka tidur di saat belajar ini, lalu si bungsu dinilai “ngaco” oleh salam seorang temannya yang duduknya terdekat dengannya. Karena dianggap “ngaco” inilah maka si bungsu dicubit oleh temannya tadi. Dalam hal ini, penilaian temannya bahwa si bungsu “ngaco” merupakan ikhtiyar darinya. Begitu juga “cubitan” yang dilakukannya, juga merupakan ikhtiyar darinya pula. Dua ikhtiyar dari sang teman ini juga berhak dinilai oleh bapak atau ibu guru yang mengajar di kelas itu, dan juga berhak dinilai oleh teman-teman sekelasnya, termasuk si bungsu itu. Dan tentunya, dua ikhtiyar ini juga berhak mendapatkan penilaian dari Allah SWT. end
Semoga bermanfaat, amin.
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Indonesia
Makna Ikhtiyar
Diantara kosa kata yang sangat populer, khususnya saat berbicara tentang taqdir, adalah kata ikhtiyar, yang sudah kadung dimaknai sebagai “usaha”, misalnya: “ada taqdir ada ikhtiyar”, maksudnya “ada takdir ada usaha”.
Menurut pamahaman saya yang dangkal, kata ikhtiyar sebenarnya ada hubungan erat dengan kata khair yang artinya adalah sesuatu yang terbaik. Dan ikhtiyar artinya memilih yang terbaik diantara sekian banyak pilihan yang ada atau pilihan yang tersedia. Dan dalam konteks pembahasan taqdir, maksud-nya adalah ada perbuatan atau sesuatu di mana manusia tidak dapat lagi berkehendak, memilih dan terlebih lagi menentukan, misalnya: seseorang dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan. Dia, sebagai sang lelaki atau sang perempuan, tidak ada kehendak, pilihan dan terlebih lagi kemampuan untuk menentukan pilihannya sendiri. Inilah yang biasa disebut takdir. Namun, ada banyak urusan, manusia itu mempunyai kehendak, pilihan dan diberi kemampuan oleh Allah SWT untuk “menentukan” apa yang terbaik bagi dirinya, terbaik menurut sudut pandang manusia, dan terbaik menurut sudut pandang Allah SWT.
Karena Ada Ikhtiyar, Maka Ada Penilaian Terhadapnya
Karena ada “pilihan” inilah maka urusan itu disebut ikhtiyar. Misalnya, seorang lelaki, kelahirannya sebagai lelaki, dia tidak ada pilihan, dan biasa disebut, sudah takdir. Namun, sikap dia terhadap kenyataan bahwa dia seorang lelaki, antara bersyukur dan kufur, dia diberi kehendak dan pilihan oleh Allah SWT untuk “menentukannya”, dan berdasar pada pilihan inilah dia “dinilai”, baik oleh sesama manusia, atau pun oleh Allah SWT. Jika dia bersyukur, maka sesama manusia (manusia lainnya, selain dirinya), akan mengatakan ikhtiyar-nya itu baik, dan Allah SWT berfirman: “Dan sungguh, jika kalian bersyukur, niscaya akan Aku tambahkan kepada kalian [kenikmatan-Ku]”. Sebaliknya, jika si lelaki tersebut kufur, maka manusia lainnya akan menilainya dengan cara mencelanya, mencacinya, menghukumnya dan bahkan bisa jadi membunuhnya. Dan Allah SWT memberi penilaian: “Dan sungguh jika kalian kufur, maka sesungguhnya adzab-Ku sangat keras”.
Begitu juga halnya bagi manusia yang “berhadapan” dengan “kelelaki-lakian” seseorang. Tentang keberadaan seseorang sebagai lelaki, kan sudah taqdir dari sononya. Namun ada hal yang bersifat ikhtiyari terkait dengan “kelelaki-lakian” seseorang. Misalnya, ia memujinya, atau mencelanya. Maka hal yang bersifat ikhtiyari ini, ada konsekwensi “penilaian” dari sesama manusia dan dari Allah SWT.
Singkatnya, jika urusannya taqdir, maka manusia tidak dinilai, baik dengan reward ataupun punishment, namun, jika urusannya ikhtiyar, maka manusia dinilai, baik dengan reward ataupun punishment.
Penilaian Manusia Terhadap Ikhtiyar Orang Lain, Adalah Bagian Dari Ikhtiyar Si Penilai
Yang perlu juga ditegaskan adalah saat seseorang melakukan penilaian terhadap orang lain dan terhadap ikhtiyar-nya, baik atau pun buruk penilaiannya itu, maka penilaiannya itu adalah ikhtiyar seseorang tersebut yang juga berhak mendapatkan penilaian dari Allah SWT dan juga dari manusia-manusia lainnya lagi. Artinya, penilaian dia terhadap ikhtiyar orang lain juga berhak dinilai oleh Allah SWT dan oleh sesama manusia lainnya dengan diberikan reward atau punishment.
Misalnya, si bungsu yang suka tidur di saat belajar. Tidurnya si bungsu di saat belajar adalah ikhtiyar-nya yang berhak dinilai oleh bapak atau ibu guru yang mengajarnya, dan juga berhak dinilai oleh teman-teman di kelasnya. Misalnya saja, karena suka tidur di saat belajar ini, lalu si bungsu dinilai “ngaco” oleh salam seorang temannya yang duduknya terdekat dengannya. Karena dianggap “ngaco” inilah maka si bungsu dicubit oleh temannya tadi. Dalam hal ini, penilaian temannya bahwa si bungsu “ngaco” merupakan ikhtiyar darinya. Begitu juga “cubitan” yang dilakukannya, juga merupakan ikhtiyar darinya pula. Dua ikhtiyar dari sang teman ini juga berhak dinilai oleh bapak atau ibu guru yang mengajar di kelas itu, dan juga berhak dinilai oleh teman-teman sekelasnya, termasuk si bungsu itu. Dan tentunya, dua ikhtiyar ini juga berhak mendapatkan penilaian dari Allah SWT. end
Semoga bermanfaat, amin.
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Indonesia