Oleh: Rico Marbun*
(Kolom detik.com)
KPK dibubarkan? Sebagian orang yang sangat marah dengan Fahri Hamzah sepekan belakangan ini, memang menjadikan dua kata itu sebagai kesimpulan singkat atas gugatan panjang politisi asal NTB itu terhadap KPK. Namun, selain teguran dan kritik pedas yang dituai Fahri akibat statementnya pekan lalu, ada satu nuansa yang menarik dimati.
Pembelaan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi saat ini tidak lagi 'sebombastis' seperti yang terjadi pada episode 'cicak versus buaya' beberapa tahun lalu. Kini tidak ada lagi gerakan sejuta Facebooker tolak pembubaran KPK misalnya. Tak ada pula demonstrasi besar mendukung KPK seperti yang pernah tejadi di berbagai pelosok tanah air.
Apakah arti fenomena ini? Menurut saya, kenyataan ini menunjukkan dua hal. Pertama, inilah potret riil menurunnya dukungan publik terhadap KPK seperti yang telah dirilis oleh Lingkaran Survei Indonesia beberapa waktu lalu. Dan kedua, saat ini telah tumbuh bagian dari publik yang secara signifikan meragukan kredibilitas serta kecewa terhadap kiprah KPK dalam membabat korupsi. Hanya saja, Fahri menjadi simbol paling ekstrim dari gerakan kekecewaan terhadap KPK.
Pro kontra yang terjadi mengantarkan kita kepada dua pertanyaan besar. Apakah seluruh gugatan terhadap KPK hanyalah 'cercaan' tanpa dasar? Apakah kritik terhadap KPK, sebenarnya merupakan ilusi yang sengaja diciptakan untuk menutupi gerakan pelemahan terhadap lembaga KPK? Daripada terjebak pada debat kusir berkepanjangan, jawaban atas pertanyaan itu haruslah diperoleh melalui evaluasi dengan indikator yang objektif.
Dua Indikator
Di antara banyak indikator, ada dua indikator utama yang dapat dijadikan bahan evaluasi objektif terhadap KPK. Nilai strategis kasus yang ditangani dan deterrent effect yang dihasilkan, serta rasio pengembalian aset negara yang berhasil dilakukan. Indikator pertama menunjukkan bahwa KPK sebagai lembaga superbody haruslah menangani kasus-kasus yang besar dari sisi kuantitas kerugian yang ditimbulkan, serta rumit dari sisi kualitas dan pelaku kejahatan.
Bila KPK berhasil membongkar kasus besar, rumit, serta menghukum mereka yang terlibat di dalamnya tanpa pandang bulu, tentu ini akan menimbulkan gelombang efek jera yang luar biasa besar. Selanjutnya, sebagai lembaga yang diberi kewenangan lebih, KPK harus mampu menyelamatkan asset negara lebih banyak dibandingkan jumlah anggaran yang diterima, dan dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lainnya.
Data menunjukkan bahwa hampir separuh kasus yang ditangani KPK merupakan kasus pengadaan barang dan jasa dan 34 % di antaranya merupakan kasus penyuapan. Ini berarti KPK masih menangani jenis kasus korupsi konvensional. Dari sisi besaran kasus korupsi yang ditangani, separuh lebih berada pada kisaran kerugian negara 1 sampai dengan 30 miliar rupiah.
Data ini menggambarkan bahwa KPK masih saja berkutat pada kasus korupsi biasa yang sebenarnya juga dapat ditangani oleh Kepolisian atau Kejaksaan. Tingkat keberhasilan penanganan 100% yang sering dibanggakan sebenarnya mudah dicapai, karena kasus yang ditangani KPK bukanlah kasus yang sulit. Sayangnya, KPK justru sering terlihat lamban menangani kasus-kasus big fish.
Mega skandal bail out Century dan mafia pajak seakan menjadi kasus yang tidak tersentuh oleh tangan KPK. Padahal kerugian negara yang ditimbulkan oleh dua kasus tersebut tidaklah kecil. Audit BPK menyebutkan dengan clear adanya penyimpangan dalam pengucuran 6,7 triliun rupiah uang negara dalam bail out Bank Century. Sementara kasus mafia pajak juga tak kalah dahsyat.
Anggota DPR komisi III Bambang Soesatyo pernah menaksir bahwa kerugian negara yang ditimbulkan bisa berkisar 200 sampai dengan 300 trilliun rupiah setahun. Jika manuver Gayus yang pegawai rendahan saja, bisa menyebabkan kerugian negara sampai 1,3 triliun rupiah dari 19 perusahaan yang ditangani. Kalikan saja angka itu dengan 151 perusahaan besar yang pernah ditangani Gayus. Nah, ini baru Gayus sendirian. Sehingga, angka kerugian 300 triliun rupiah menjadi tidak mustahil.
Triliunan rupiah kerugian negara pada dua kasus itu, tentu membuat data kasus yang ditangani oleh KPK yang 'hanya' miliaran rupiah menjadi kecil. Apalagi KPK masih saja menangani kasus yang menimpa oknum jaksa dengan besaran barang bukti 10 juta rupiah. Ini tidak lantas berarti kita menutup mata, sambil mengatakan bahwa korupsi kecil-kecilan itu sah-sah saja.
Hanya saja KPK sebagai lembaga dengan kewenangan super, harusnya mampu menangani kasus yang super pula. Kasus besar seperti kasus perbankan yang jelas nilai kerugiannya berlipat-lipat harus menjadi prioritas dibanding kasus korupsi konvensional yang secara tradisional telah ditangani oleh penegak hukum lainnya. Akibatnya, efek deterrent atau shock terapy yang dihasilkan KPK tidaklah sebesar yang diharapkan.
Imbas lainnya, jumlah uang negara yang berhasil diselamatkan KPK (asset recovery) menjadi lebih kecil dengan anggaran yang diterima KPK. Dengan 800 personel SDM dan kucuran dana 458,8 miliar rupiah pada 2010 lalu, KPK baru mampu menyelamatkan 175 miliar rupiah uang negara.
Buat saya, angka ini memberikan legitimasi atas gelombang frustasi terhadap KPK yang lantang terdengar akhir akhir ini. Tidak bijak rasanya bila petinggi KPK lantas menggeneralisir, kritik sebagai 'serangan' terhadap eksistensi KPK. Apalagi memberi stigma, bahwa kritik pedas, sama dengan mendukung koruptor. Karena toh, predikat lembaga superbody bukan dimaksud menjadikan KPK imun dari evaluasi. Selama KPK mampu menunjukkan kinerja terbaik, tak usah khawatir. Pasti rakyat akan membela. Jadi, siapa berani kritik KPK?
*) Rico Marbun adalah peneliti The Future Institute dan Dosen Universitas Paramadina. Email: ricoui@yahoo.com
*)http://www.detiknews.com/read/2011/10/10/104736/1740314/103/siapa-berani-kritik-kpk
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Indonesia
KPK dibubarkan? Sebagian orang yang sangat marah dengan Fahri Hamzah sepekan belakangan ini, memang menjadikan dua kata itu sebagai kesimpulan singkat atas gugatan panjang politisi asal NTB itu terhadap KPK. Namun, selain teguran dan kritik pedas yang dituai Fahri akibat statementnya pekan lalu, ada satu nuansa yang menarik dimati.
Pembelaan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi saat ini tidak lagi 'sebombastis' seperti yang terjadi pada episode 'cicak versus buaya' beberapa tahun lalu. Kini tidak ada lagi gerakan sejuta Facebooker tolak pembubaran KPK misalnya. Tak ada pula demonstrasi besar mendukung KPK seperti yang pernah tejadi di berbagai pelosok tanah air.
Apakah arti fenomena ini? Menurut saya, kenyataan ini menunjukkan dua hal. Pertama, inilah potret riil menurunnya dukungan publik terhadap KPK seperti yang telah dirilis oleh Lingkaran Survei Indonesia beberapa waktu lalu. Dan kedua, saat ini telah tumbuh bagian dari publik yang secara signifikan meragukan kredibilitas serta kecewa terhadap kiprah KPK dalam membabat korupsi. Hanya saja, Fahri menjadi simbol paling ekstrim dari gerakan kekecewaan terhadap KPK.
Pro kontra yang terjadi mengantarkan kita kepada dua pertanyaan besar. Apakah seluruh gugatan terhadap KPK hanyalah 'cercaan' tanpa dasar? Apakah kritik terhadap KPK, sebenarnya merupakan ilusi yang sengaja diciptakan untuk menutupi gerakan pelemahan terhadap lembaga KPK? Daripada terjebak pada debat kusir berkepanjangan, jawaban atas pertanyaan itu haruslah diperoleh melalui evaluasi dengan indikator yang objektif.
Dua Indikator
Di antara banyak indikator, ada dua indikator utama yang dapat dijadikan bahan evaluasi objektif terhadap KPK. Nilai strategis kasus yang ditangani dan deterrent effect yang dihasilkan, serta rasio pengembalian aset negara yang berhasil dilakukan. Indikator pertama menunjukkan bahwa KPK sebagai lembaga superbody haruslah menangani kasus-kasus yang besar dari sisi kuantitas kerugian yang ditimbulkan, serta rumit dari sisi kualitas dan pelaku kejahatan.
Bila KPK berhasil membongkar kasus besar, rumit, serta menghukum mereka yang terlibat di dalamnya tanpa pandang bulu, tentu ini akan menimbulkan gelombang efek jera yang luar biasa besar. Selanjutnya, sebagai lembaga yang diberi kewenangan lebih, KPK harus mampu menyelamatkan asset negara lebih banyak dibandingkan jumlah anggaran yang diterima, dan dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lainnya.
Data menunjukkan bahwa hampir separuh kasus yang ditangani KPK merupakan kasus pengadaan barang dan jasa dan 34 % di antaranya merupakan kasus penyuapan. Ini berarti KPK masih menangani jenis kasus korupsi konvensional. Dari sisi besaran kasus korupsi yang ditangani, separuh lebih berada pada kisaran kerugian negara 1 sampai dengan 30 miliar rupiah.
Data ini menggambarkan bahwa KPK masih saja berkutat pada kasus korupsi biasa yang sebenarnya juga dapat ditangani oleh Kepolisian atau Kejaksaan. Tingkat keberhasilan penanganan 100% yang sering dibanggakan sebenarnya mudah dicapai, karena kasus yang ditangani KPK bukanlah kasus yang sulit. Sayangnya, KPK justru sering terlihat lamban menangani kasus-kasus big fish.
Mega skandal bail out Century dan mafia pajak seakan menjadi kasus yang tidak tersentuh oleh tangan KPK. Padahal kerugian negara yang ditimbulkan oleh dua kasus tersebut tidaklah kecil. Audit BPK menyebutkan dengan clear adanya penyimpangan dalam pengucuran 6,7 triliun rupiah uang negara dalam bail out Bank Century. Sementara kasus mafia pajak juga tak kalah dahsyat.
Anggota DPR komisi III Bambang Soesatyo pernah menaksir bahwa kerugian negara yang ditimbulkan bisa berkisar 200 sampai dengan 300 trilliun rupiah setahun. Jika manuver Gayus yang pegawai rendahan saja, bisa menyebabkan kerugian negara sampai 1,3 triliun rupiah dari 19 perusahaan yang ditangani. Kalikan saja angka itu dengan 151 perusahaan besar yang pernah ditangani Gayus. Nah, ini baru Gayus sendirian. Sehingga, angka kerugian 300 triliun rupiah menjadi tidak mustahil.
Triliunan rupiah kerugian negara pada dua kasus itu, tentu membuat data kasus yang ditangani oleh KPK yang 'hanya' miliaran rupiah menjadi kecil. Apalagi KPK masih saja menangani kasus yang menimpa oknum jaksa dengan besaran barang bukti 10 juta rupiah. Ini tidak lantas berarti kita menutup mata, sambil mengatakan bahwa korupsi kecil-kecilan itu sah-sah saja.
Hanya saja KPK sebagai lembaga dengan kewenangan super, harusnya mampu menangani kasus yang super pula. Kasus besar seperti kasus perbankan yang jelas nilai kerugiannya berlipat-lipat harus menjadi prioritas dibanding kasus korupsi konvensional yang secara tradisional telah ditangani oleh penegak hukum lainnya. Akibatnya, efek deterrent atau shock terapy yang dihasilkan KPK tidaklah sebesar yang diharapkan.
Imbas lainnya, jumlah uang negara yang berhasil diselamatkan KPK (asset recovery) menjadi lebih kecil dengan anggaran yang diterima KPK. Dengan 800 personel SDM dan kucuran dana 458,8 miliar rupiah pada 2010 lalu, KPK baru mampu menyelamatkan 175 miliar rupiah uang negara.
Buat saya, angka ini memberikan legitimasi atas gelombang frustasi terhadap KPK yang lantang terdengar akhir akhir ini. Tidak bijak rasanya bila petinggi KPK lantas menggeneralisir, kritik sebagai 'serangan' terhadap eksistensi KPK. Apalagi memberi stigma, bahwa kritik pedas, sama dengan mendukung koruptor. Karena toh, predikat lembaga superbody bukan dimaksud menjadikan KPK imun dari evaluasi. Selama KPK mampu menunjukkan kinerja terbaik, tak usah khawatir. Pasti rakyat akan membela. Jadi, siapa berani kritik KPK?
*) Rico Marbun adalah peneliti The Future Institute dan Dosen Universitas Paramadina. Email: ricoui@yahoo.com
*)http://www.detiknews.com/read/2011/10/10/104736/1740314/103/siapa-berani-kritik-kpk
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Indonesia