Partai Islam moderat Tunisia, Partai Ennahda, mengklaim kemenangan dalam pemilu demokratis pertama di negeri itu, Senin 24 Oktober 2011, setelah hasil penghitungan pendahuluan menunjukkan partai itu memenangkan bagian suara terbesar.
Hasil penghitungan resmi diperkirakan baru akan diumumkan hari ini (Selasa 25/10) waktu setempat, namun hasil penghitungan suara terpisah menunjukkan Ennahda menang dengan suara terbanyak dan berpeluang menang mutlak.
Pejabat Partai Ennahda memperkirakan partainya memperoleh paling sedikit 30 persen dari 217 kursi dalam konstitusi baru. Perkiraan lainnya menempatkan suara partai itu mendekati 50 persen.
Saingan utamanya, partai sekuler kiri tengah, PDP, telah menyatakan menerima kekalahan.
Pengamat internasional memuji pemilihan tersebut sebagai pemilihan yang bebas dan adil. Mereka menekankan partai-partai dalam pemerintahan baru harus bekerja sama dan menjaga hak-hak perempuan.
Menurut Sekjen Komisi Pemilihan Boubaker Bethabet, lebih dari 90% dari 4,1 juta pemilih terdaftar memberikan suaranya.
Pemilu kali ini diikuti lebih dari 100 partai, belum termasuk calon independen.
Jalannya pemilu ini disambut gembira warga yang dengan bangga menunjukkan jari mereka yang kehitaman bekas tercelup tinta pemilu.
Ibu Mohamed Bouazizi, laki-laki yang membakar diri bulan Desember lalu sehingga memicu revolusi dunia Arab dan Tunisia, mengatakan bahwa pemilu ini adalah kemenangan untuk martabat dan kebebasan warga setempat.
"Sekarang saya senang karena kematian anak saya telah memberi jalan untuk mengatasi rasa takut dan ketidakadilan," kata Manoubia Bouazizi.
Dalam setengah abad sejak kemerdekaannya dari Prancis tahun 1956, Tunisia praktis menjadi negara satu partai hingga rakyat Tunisia mengusir Presiden Zine El Abidine Ben Ali pada Januari setelah sebulan pemberontakan rakyat. Sembilan bulan dilanda kerusuhan, demonstrasi, dan perdebatan politik di negara berpenduduk 10 juta itu, mendahului pemilu yang baru digelar.
Pemimpin Ennahda menjanjikan nantinya akan membentuk Tunisia menjadi negara dengan banyak partai, demokrasi, bukan negara Islam.
"Warga Tunisia memberi suara pada partai yang dianggap konsisten menyuarakan perlawanan menuju demokrasi dan menentang kediktatoran Ben Ali," kata seorang juru bicara partai ini, Yusra Ghannouchi.
Sebagian besar rakyat Tunisia gembira menyambut pemilu setelah rezim Ben Ali usai.
Ghannouchi mengatakan partai Ennahda berada di barisan depan rakyat, dan karena itu sejak awal mereka yakin akan mendapat banyak suara.
Anggota dewan terpilih (217 anggota) akan memiliki peran sangat penting dalam membangun demokrasi yang baru di Tunisia. Mereka tidak hanya akan menunjuk pemerintah sementara (presiden sementara) yang baru, tapi juga menulis konstitusi yang akan menentukan bagaimana negara itu akan berjalan.***
*)dari berbagai sumber
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Indonesia
Hasil penghitungan resmi diperkirakan baru akan diumumkan hari ini (Selasa 25/10) waktu setempat, namun hasil penghitungan suara terpisah menunjukkan Ennahda menang dengan suara terbanyak dan berpeluang menang mutlak.
Pejabat Partai Ennahda memperkirakan partainya memperoleh paling sedikit 30 persen dari 217 kursi dalam konstitusi baru. Perkiraan lainnya menempatkan suara partai itu mendekati 50 persen.
Saingan utamanya, partai sekuler kiri tengah, PDP, telah menyatakan menerima kekalahan.
Pengamat internasional memuji pemilihan tersebut sebagai pemilihan yang bebas dan adil. Mereka menekankan partai-partai dalam pemerintahan baru harus bekerja sama dan menjaga hak-hak perempuan.
Menurut Sekjen Komisi Pemilihan Boubaker Bethabet, lebih dari 90% dari 4,1 juta pemilih terdaftar memberikan suaranya.
Pemilu kali ini diikuti lebih dari 100 partai, belum termasuk calon independen.
Jalannya pemilu ini disambut gembira warga yang dengan bangga menunjukkan jari mereka yang kehitaman bekas tercelup tinta pemilu.
Ibu Mohamed Bouazizi, laki-laki yang membakar diri bulan Desember lalu sehingga memicu revolusi dunia Arab dan Tunisia, mengatakan bahwa pemilu ini adalah kemenangan untuk martabat dan kebebasan warga setempat.
"Sekarang saya senang karena kematian anak saya telah memberi jalan untuk mengatasi rasa takut dan ketidakadilan," kata Manoubia Bouazizi.
Dalam setengah abad sejak kemerdekaannya dari Prancis tahun 1956, Tunisia praktis menjadi negara satu partai hingga rakyat Tunisia mengusir Presiden Zine El Abidine Ben Ali pada Januari setelah sebulan pemberontakan rakyat. Sembilan bulan dilanda kerusuhan, demonstrasi, dan perdebatan politik di negara berpenduduk 10 juta itu, mendahului pemilu yang baru digelar.
Pemimpin Ennahda menjanjikan nantinya akan membentuk Tunisia menjadi negara dengan banyak partai, demokrasi, bukan negara Islam.
"Warga Tunisia memberi suara pada partai yang dianggap konsisten menyuarakan perlawanan menuju demokrasi dan menentang kediktatoran Ben Ali," kata seorang juru bicara partai ini, Yusra Ghannouchi.
Sebagian besar rakyat Tunisia gembira menyambut pemilu setelah rezim Ben Ali usai.
Ghannouchi mengatakan partai Ennahda berada di barisan depan rakyat, dan karena itu sejak awal mereka yakin akan mendapat banyak suara.
Anggota dewan terpilih (217 anggota) akan memiliki peran sangat penting dalam membangun demokrasi yang baru di Tunisia. Mereka tidak hanya akan menunjuk pemerintah sementara (presiden sementara) yang baru, tapi juga menulis konstitusi yang akan menentukan bagaimana negara itu akan berjalan.***
*)dari berbagai sumber
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Indonesia