Geopolitik Global dan AS Satu Dekade Pasca 9/11

Oleh: Jusman Dalle*
Ada perbedaan secara signifikan pada peringatan satu dekade peristiwa 9/11 (baca: nine eleven) di Amerika Serikat (AS) kali ini, yaitu Osama bin Laden telah tewas.

Kita ketahui bahwa bencana 9/11 sepulu tahun silam, menjadi gerbang awal babak baru bagi politik luar negeri AS, yaitu menggalang kekuatan dalam rangka war on terror (perang melawan teror).

Sebagai pimpinan Al Qaeda dan orang yang diklaim oleh AS mengarsiteki serangan yang meruntuhkan dua menara kembar World Trade Centre (WTC) dan jantung pertahanan-keamanan AS di Pentagon pada 11 September 2001, tewasnya Osama bin Laden merupakan hadiah terbesar bagi Paman Sam dan dunia. Khususnya dalam agenda perang melawan terorisme.

Empat bulan lalu, tewasnya Osama bin Laden diumumkan langsung oleh Presiden Barack Husein Obama pada Ahad (1/5/2011). Osama tewas setelah diberondong oleh serangan SEAL Team 6 (ST6), yaitu pasukan elit kontra teroris yang anggotanya disaring dari pasukan elit angkatan laut AS (Navy) SEAL.

Tokoh yang oleh sebagian besar umat Islam tersebut sebagai simbol perlawanan terhadap hegemoni Barat tersebut, diserbu di kediamannya di sebuah mansion di pinggiran kota Abbottabad, 50 km (30 mil) barat laut ibu kota Pakistan, Islamabad.

Pertanyaan masyarakat dunia yang turut merasakan dampak perang melawan terorisme tersebut, setelah Osama tewas berakhirkan agenda AS dalam perang melawan terorisme yang selama ini dijadikan alasan menginvasi dan mengintervensi sejumlah negara, termasuk intervensi terhadap Indonesia? Bagaimana geopolitik global di masa mendatang dalam kaitannya dengan war on terror ini.

Tentu terlalu simplistis jika secara spontan kita menjawab "iya" atau "tidak", mengingat perang melawan terorisme berhasil menciptakan multiple effect. Desain propaganda media Barat yang disetting oleh kepentingan AS, menjadikan terorisme sebagai momok bagi penduduk bumi.

Bahwa kini dunia dihantui oleh terorisme yang tidak ada matinya, dan bahkan semakin menggurita. Pintu fobia ini menjadi panggung indah bagi AS untuk melancarkan berbagai agenda war on terrornya.

Pada kesempatan ini, penulis akan mengulas lebih jauh dampak politik peristiwa teror paling mematikan (menewaskan tidak kurang dari 3000 orang) sepanjang sejarah AS.

Belum termasuk yang tewas akibat perang yang digelar AS dan sekutunya dalam pengejaran terhadap Osama bin Laden dan Al Qaeda, tak terhitung lagi jumlahnya. Sepuluh tahun terakhir, bagi AS sebagai pioner, motor dan panglima war on terror, peristiwa 9/11 memberi keuntungan politik.

Akhirnya war on terror bukan saja berakibat terhadap renggang atau bahkan retaknya relasi Islam (yang distigmatisasi menjadi ideologi katalis teror) dan Barat (berkat penggiringan opini publik, seolah menjadi korban). Akan tetapi, lebih jauh telah menciptakan efek pada perkembangan politik, sosial dan ekonomi global.

Pertama, yaitu terbangunnya aliansi politik baru yang dikomandoi AS. Agenda war on terror berhasil merekatkan AS dengan sekutu-sekutunya dari lintas bangsa dan benua.

Khususnya bagi sesama negara Barat dan negara-negara Arab (yang kaya akan minyak) yang masuk dalam shaf perang tersebut. Hal ini memungkinkan AS memberi pengaruh lebih jauh pada kebijakan-kebijakan politik dalam dan luar negeri negara sekutunya, termasuk memobilisasi sumberdaya modal dan militer dalam memuluskan agenda war on terror.

Kedua, beberapa negara yang selama ini menjadi ancaman bagi pengaruh AS dapat direduksi atau bahkan dimatikan. Sebutlah misalnya Irak Pra Invasi 2003 yang menjadi salah satu rival AS dan sekutunya di kawasan Timur Tengah.

Namun setelah George W. Bush mengomandoi perang yang digelar sejak 9 April 2003, karena menuduh rezim Saddam Husein mengembangkan senjata pemusnah massal yang menjadi teror terhadap keamanan dunia khususnya di kawasan Timur Tengah (walau kemudian tidak terbukti), Irak menjadi lemah (kalau tidak mau dikatakan hancur) akibat terfragmentasi oleh perang saudara antar suku karena desain kepentingan politik.

Bahkan Fakta politik di Irak tersebut tidak hanya memberi manfaat politik bagi AS akan tetapi manfaat ekonomi. Khususnya dalam proyek-proyek recovery infrastruktur pasca perang dan pengelolaan minyak Irak sebagai penghasil minyak tersbesar ke-2 di dunia setelah Arab Saudi.

Di Timur Tengah pasca Irak dihancurkan, Arab Saudi tampil sebagai anak emas AS. Rezim Saud bahkan menyiapkan pangkalan militer bagi AS yang menjadi pusat kontrol untuk kawasan Timur Tengah. Berbagai kemitraan dibangun oleh kedua negara baik ekonomi, maupun militer.

Di Asia Tengah, Afganistan yang sedari awal diidentifikasi sebagai tempat pelarian Osama bin Laden dan menjadi pusat komando jaringan Al Qaeda, AS dan sekutunya berhasil menempatkan militer dan menggelar mesin perangnya di kawasan. Di bawah komando Fakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), bersama Pakistan, negara kayak minyak tersebut porak poranda akibat perang.

Akan tetapi, nahas karena AS dan sekutunya sebagaimana di Irak justru terjebak hingga mengerahkan sumberdaya militer dan modal yang tidak sedikit. Sebagaimana dilansir oleh Reuters (10/9/2011) hasil perhitungan dari Brown University di AS memperkirakan di tiga negara tersebut As merugi hingga 4,4 trilun dollar atau sepertiga dari nilai beban utang AS saat ini sebesar 14,7 triliun dollar.

Tak sampai di situ, mitra politik AS juga rekat meluas hingga ke Asia Timur yaitu Jepang, Asia tenggara yaitu Singapura dan juga Australia di benua Australia.

Akhirnya secara geopolitik, AS sukses menghegemoni dunia tapi dengan harga yang mahal karena setiap negara sekutu tersebut harus dikucuri dana untuk melancarkan agenda war on terror nya.

Bahkan Indonesia yang menjadi mitra strategis kedua di Asia Tenggara setelah Singapura, untuk pembentukan pasukan elit anti teror Polri atau Detasemen Khusus (Densus) 88, pada tahun 2002 Washington merogoh kocek sebesar 16 juta dollar sebagaimana dilansir Human Rights Watch. Ini baru untuk satu negara, yaitu Indonesia.

Bagaimana dengan negara lain? Sejumlah data menunjukkan jika setiap tahun dana untuk perang war on terror terus mengalami peningkatan.

Tahun 2007 Paman Sam merogoh kocek sebesar 93 miliar dollar, tahun berikutnya 2008, bertambah menjadi 141 miliar dollar untuk seluruh sekutunya. Padahal saat itu, krisis telah memporak porandakan ekonomi Paman Sam. Tak heran jika krisis ekonomi AS terus berlanjut. Apalagi di Libya, AS berperan sentral dalam mendanai "perang" melawan rezim Muammar Qadhdhafi.

Tak dapat dipungkiri bahwa kucuran danalah yang selama ini memuluskan langkah AS dalam membangun kekuatan politik (sekutu) dengan berbagai negara lintas benua untuk agenda war on terorror.

Tapi kini AS tengah menderita dan ngos-ngosan akibat defisit anggaran karena besarnya beban utang. Bahkan saat ini rasio utang AS terhadap produk domestik bruto (PDB) lebih dari 100 persen. Tahun 2010 lalu, total utang AS yaitu U$ 14,58 triliun, sementara PDB tahun anggaran yang sama hanya U$ 14,53 triliun.

Karena dengan besarnya utang tersebut, maka porsi pembayaran utang dalam APBN akan menyandera kebijakan anggaran negara untuk diprioritaskan melayani kreditor asing dan para investor pemilik surat berharga negara.

Pada sisi efektifitasnya, secara internal, beban pembayaran utang akan menjadi pemicu terjadinya kontraksi belanja sosial, merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan.

Beban pembayaran utang telah mengurangi kemampuan negara untuk menstimulus perekonomian dengan dukungan pendanaan bagi pembangunan. Besarnya beban pembayaran utang setiap tahun mengakibatkan berkurangnya alokasi anggaran pembangunan dan pengurangan subsidi bagi rakyat yang menjadi tanggung jawab negara.

Adalah tindakan bodoh jika AS terus menumpuk utang untuk politik luar negerinya sementara krisis di dalam negeri menimbulkan gejolak politik dan rentan instabilitas. Dengan memangkas atau bahkan menghentikan kucuran dana bagi sekutunya, maka pengaruh politik AS akan berkurang.

Akhirnya krisis ekonomi AS yang turut dipengaruhi oleh agenda war on terror pasca 9/11 ini, menjadi babak baru dalam pergeseran geoekonomi dan geopolitik yang siap di-takeover oleh sejumlah negara emerging market, khususnya yang tergabung di dalam BRIC (Brazil, Rusia, India dan China).

Adalah sunnatullah dan fitrah peradaban jika suatu peradaban (hegemoni : dalam kasus Amerika) layu, maka peradaban lain akan muncul. Tegantung siapa yang paling siap.***






Jusman Dalle
Jl. Urip Sumoharjo Km. 05 Makassar
jusmandalle@rocketmail.com
085299430323


*Penulis adalah Analis Ekonomi Politik SERUM Institute dan Pengurus Pusat KAMMI dan Telah menulis ratusan artikel yang dipublikasikan oleh media massa nasional –cetak & online- seperti Media Indonesia, Koran Tempo, Harian Republika, Detik.com, OkeZone.com, dll



*sumber: http://www.detiknews.com/read/2011/09/11/190228/1719857/471/geopolitik-global-dan-as-satu-dekade-pasca-9-11?nd992203605
*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Indonesia
Baca juga :