"Jika engkau menghadapi dunia dengan jiwa lapang, engkau akan memperoleh banyak kegembiraan yang semakin lama semakin bertambah, semakin luas, duka yang makin mengecil dan menyempit. Engkau harus tahu bahwa bila duniamu terasa sempit, sebenarnya jiwamulah yang sempit, bukan dunianya.”
(Ar-Rafi’i)
---
Biduk kebersamaan kita terus berjalan. Dia telah menembus belukar, menaiki tebing, membelah laut. Adakah di antara kita yang tersayat atau terluka ? Sayatan luka, rasa sakit, air mata adalah bagian dari tabiat jalan yang sedang kita lalui. Dan kita tak pernah berhenti menyusurinya, mengikuti arus waktu yang juga tak pernah berhenti. Kita tak pernah berhenti karena menderita oleh keadaan seperti itu. Di jalan ini, "rasa sakit telah menjadi kenikmatan, pengorbanan menjadi indah dan jiwa menjadi tidak berharga." Kata itu yang pernah diucapkan seorang pejuang Palestina terkenal yang telah gugur, Mahmud Abu Hanud. Inilah perjalanan yang kita pilih untuk kita lalui bersama menuju keridhaan-Nya. Tujuan yang kita tetapkan dalam kebersamaan terbukti telah menjadikan kita lebih kuat, tabah, kokoh, menghadapi rintangan apapun juga.
Saudaraku,
Dalam perjalanan panjang seperti ini, kita memerlukan satu bekal, yaitu sikap lapang dada, nafas panjang dan mudah memaafkan. Seperti orang-orang shalih dahulu, yang tak peduli dengan suasana getir yang mereka terima dalam menjalankan ketaatan. Seperti para pejuang yang tak pernah tersengal-sengal oleh kejaran musuh-musuhnya di jalan Allah. Seperti Rasulullah saw yang tak merasa tertekan dengan penghinaan atau cacian orang-orang sekitarnya, dalam menjalani misi kenabiannya.
Saudaraku,
Sungguh luar biasa sikap orang-orang shalih dalam memandang dan mengukur penghinaan orang lain terhadap dirinya. Ibrahim An Nakh’i, suatu hari berjalan bersama sahabatnya, seorang buta. Setelah beberapa lama menyusuri jalan, orang buta itu mengatakan, "Ya Ibrahim, orangorang yang melihat kita mengatakan, "Itu orang buta dan orang pincang…itu orang buta dan orang pincang." Ibrahim dengan tenang lalu mengatakan, "Kenapa engkau begitu terbebani memikirkannya? Jika mereka berdosa karena menghina kita sedangkan kita mendapat pahala, lalu kenapa?"
Fudhail bin Iyadh, tokoh ulama yang terkenal ketakwaannya di zaman generasi tabi’in bercerita bahwa suatu ketika, saat berada di Masjidil Haram, ia didatangi seseorang yang menangis. Fudhail bertanya, "Kenapa engkau menangis?" Orang itu menjawab, "Aku kehilangan beberapa dinar dan aku tahu ternyata uangku dicuri." Fudhail mengatakan, "Apakah engkau menangis hanya karena dinar?" Sungguh mengejutkan jawaban orang itu. Ia menjawab, "Tidak, aku menangis karena aku tahu bahwa kelak aku akan berada di hadapan Allah, dengan pencuri itu. Aku kasihan dengan pencuri itu, itulah yang menyebabkan aku menangis…"
Saudaraku,
Banyak sekali kisah-kisah kelapangan dada dan kemudahan memaafkan yang dicatat dari perjalanan hidup para salafushalih. Misalnya saja, ketika Rabi’ bin Khaitsam kudanya dicuri, tapi Fudhail malah memberi uang dua puluh ribu dinar kepada Rabi’. Ia lalu mengatakan, "Berdo’alah kepada Allah untuk yang mencuri itu." Rabi’ kemudian berdo’a, "Ya Allah jika ia orang kaya maka ampunilah dosanya, dan jika ia orang miskin maka jadikanlah ia orang kaya."
Mereka yang dirahmati Allah itu, menyikapi berbagai persoalan dengan lapang dada. Mungkin saja mereka berduka, bersedih, kecewa, atau barangkali tersulut sedikit kemarahannya. Tetapi mereka berhasil menguasai hatinya kembali. Hati mereka tetap ridha, mata mereka tetap teduh, ketenangan mereka sama sekali tidak terusik. Betapa indahnya.
Kisah-kisah itu harusnya membuat kita mengerti bahwa, jika kita tidak lapang dada dan tidak mudah bersabar, kita pasti akan menjadi orang yang paling menderita di dunia ini. Sebab penderitaan terbesar adalah jiwa yang cepat goyah dan bimbang saat menghadapi sesuatu yang sebenarnya remeh. Penderitaan paling berbahaya adalah ketika tujuan hidup kita yang demikian agung, terbentur oleh keadaan hidup yang sesungguhnya sepele. Persoalan remeh, yang kita lihat secara keliru, kemudian mengakibatkan sempitnya dada, nafas tersengal, kesal hati, murung wajah, hati yang bergemuruh duka cita, bahkan air mata dan dendam. Hingga istirahat terganggu, pikiran tidak tentu arah.
Jika itu yang terjadi, takkan ada amal-amal besar yang bisa dilakukan. Lantaran amal-amal besar itu, hanya lahir dari jiwa yang tenang, hati yang lapang, penuh ridha, pikiran yang jernih.
Itu sebabnya, pendakwah Syaikh Mushtafa Masyhur mensyaratkan sifat ’nafasun thawiil” atau nafas panjang, yang harus ada dalam diri para pejuang Islam. Baginya, jalan perjuangan yang terjal dan panjang tak mungkin bisa dilewati oleh orang-orang yang ber ‘nafas pendek’ alias mudah goyah, dan tidak sabar.
Saudaraku,
Apa rahasia lapang dada yang dimiliki para salafushalih itu? Kenapa mereka tetap memiliki bashirah yang terang dalam menghadapi persoalan hidup? Salah satunya adalah karena wawasan ilmu mereka yang luas. Orang yang sempit wawasan adalah orang yang takut dengan perkara-perkara kecil, sangat takut dengan pristiwa yang remeh dan mudah marah dengan kata-kata yang tidak berkenan di hatinya. Seseorang bahkan bisa sampai terbakar puncak kemarahannya disebabkan peristiwa yang sebenarnya bisa dilewati dengan memejamkan mata. Bahkan bisa dilewati dengan senyum bila dibarengi dengan sedikit berpikir lapang dada.
Itulah yang dikatakan oleh Ar Rafi’i dalam Wahyul Qalam, "Jika engkau menghadapi dunia dengan jiwa lapang, engkau akan memperoleh banyak kegembiraan yang semakin lama semakin bertambah, semakin luas, duka yang makin mengecil dan menyempit. Engkau harus tahu bahwa bila duniamu terasa sempit, sebenarnya jiwa mulah yang sempit, bukan dunianya." (Wahyul Qalam, 1/50)
Saudaraku dalam perjalanan,
Kita bisa seperti mereka. Jika kita tahu dan sadar, ada sasaran besar dan tujuan maha agung yang akan kita capai bersama di ujung jalan ini. Ada yang maha penting dari peristiwa-peristiwa apapun di jalan ini. Ada yang maha mulia dari berbagai kejadian-kejadian apapun di jalan ini.
Saudaraku,
Tak ada artinya aral apapun di jalan ini. Karena, kita sedang berjuang menuju Allah.
*)sumber: http://beranda.blogsome.com
*posted: pkspiyungan.blogspot.com
(Ar-Rafi’i)
---
Biduk kebersamaan kita terus berjalan. Dia telah menembus belukar, menaiki tebing, membelah laut. Adakah di antara kita yang tersayat atau terluka ? Sayatan luka, rasa sakit, air mata adalah bagian dari tabiat jalan yang sedang kita lalui. Dan kita tak pernah berhenti menyusurinya, mengikuti arus waktu yang juga tak pernah berhenti. Kita tak pernah berhenti karena menderita oleh keadaan seperti itu. Di jalan ini, "rasa sakit telah menjadi kenikmatan, pengorbanan menjadi indah dan jiwa menjadi tidak berharga." Kata itu yang pernah diucapkan seorang pejuang Palestina terkenal yang telah gugur, Mahmud Abu Hanud. Inilah perjalanan yang kita pilih untuk kita lalui bersama menuju keridhaan-Nya. Tujuan yang kita tetapkan dalam kebersamaan terbukti telah menjadikan kita lebih kuat, tabah, kokoh, menghadapi rintangan apapun juga.
Saudaraku,
Dalam perjalanan panjang seperti ini, kita memerlukan satu bekal, yaitu sikap lapang dada, nafas panjang dan mudah memaafkan. Seperti orang-orang shalih dahulu, yang tak peduli dengan suasana getir yang mereka terima dalam menjalankan ketaatan. Seperti para pejuang yang tak pernah tersengal-sengal oleh kejaran musuh-musuhnya di jalan Allah. Seperti Rasulullah saw yang tak merasa tertekan dengan penghinaan atau cacian orang-orang sekitarnya, dalam menjalani misi kenabiannya.
Saudaraku,
Sungguh luar biasa sikap orang-orang shalih dalam memandang dan mengukur penghinaan orang lain terhadap dirinya. Ibrahim An Nakh’i, suatu hari berjalan bersama sahabatnya, seorang buta. Setelah beberapa lama menyusuri jalan, orang buta itu mengatakan, "Ya Ibrahim, orangorang yang melihat kita mengatakan, "Itu orang buta dan orang pincang…itu orang buta dan orang pincang." Ibrahim dengan tenang lalu mengatakan, "Kenapa engkau begitu terbebani memikirkannya? Jika mereka berdosa karena menghina kita sedangkan kita mendapat pahala, lalu kenapa?"
Fudhail bin Iyadh, tokoh ulama yang terkenal ketakwaannya di zaman generasi tabi’in bercerita bahwa suatu ketika, saat berada di Masjidil Haram, ia didatangi seseorang yang menangis. Fudhail bertanya, "Kenapa engkau menangis?" Orang itu menjawab, "Aku kehilangan beberapa dinar dan aku tahu ternyata uangku dicuri." Fudhail mengatakan, "Apakah engkau menangis hanya karena dinar?" Sungguh mengejutkan jawaban orang itu. Ia menjawab, "Tidak, aku menangis karena aku tahu bahwa kelak aku akan berada di hadapan Allah, dengan pencuri itu. Aku kasihan dengan pencuri itu, itulah yang menyebabkan aku menangis…"
Saudaraku,
Banyak sekali kisah-kisah kelapangan dada dan kemudahan memaafkan yang dicatat dari perjalanan hidup para salafushalih. Misalnya saja, ketika Rabi’ bin Khaitsam kudanya dicuri, tapi Fudhail malah memberi uang dua puluh ribu dinar kepada Rabi’. Ia lalu mengatakan, "Berdo’alah kepada Allah untuk yang mencuri itu." Rabi’ kemudian berdo’a, "Ya Allah jika ia orang kaya maka ampunilah dosanya, dan jika ia orang miskin maka jadikanlah ia orang kaya."
Mereka yang dirahmati Allah itu, menyikapi berbagai persoalan dengan lapang dada. Mungkin saja mereka berduka, bersedih, kecewa, atau barangkali tersulut sedikit kemarahannya. Tetapi mereka berhasil menguasai hatinya kembali. Hati mereka tetap ridha, mata mereka tetap teduh, ketenangan mereka sama sekali tidak terusik. Betapa indahnya.
Kisah-kisah itu harusnya membuat kita mengerti bahwa, jika kita tidak lapang dada dan tidak mudah bersabar, kita pasti akan menjadi orang yang paling menderita di dunia ini. Sebab penderitaan terbesar adalah jiwa yang cepat goyah dan bimbang saat menghadapi sesuatu yang sebenarnya remeh. Penderitaan paling berbahaya adalah ketika tujuan hidup kita yang demikian agung, terbentur oleh keadaan hidup yang sesungguhnya sepele. Persoalan remeh, yang kita lihat secara keliru, kemudian mengakibatkan sempitnya dada, nafas tersengal, kesal hati, murung wajah, hati yang bergemuruh duka cita, bahkan air mata dan dendam. Hingga istirahat terganggu, pikiran tidak tentu arah.
Jika itu yang terjadi, takkan ada amal-amal besar yang bisa dilakukan. Lantaran amal-amal besar itu, hanya lahir dari jiwa yang tenang, hati yang lapang, penuh ridha, pikiran yang jernih.
Itu sebabnya, pendakwah Syaikh Mushtafa Masyhur mensyaratkan sifat ’nafasun thawiil” atau nafas panjang, yang harus ada dalam diri para pejuang Islam. Baginya, jalan perjuangan yang terjal dan panjang tak mungkin bisa dilewati oleh orang-orang yang ber ‘nafas pendek’ alias mudah goyah, dan tidak sabar.
Saudaraku,
Apa rahasia lapang dada yang dimiliki para salafushalih itu? Kenapa mereka tetap memiliki bashirah yang terang dalam menghadapi persoalan hidup? Salah satunya adalah karena wawasan ilmu mereka yang luas. Orang yang sempit wawasan adalah orang yang takut dengan perkara-perkara kecil, sangat takut dengan pristiwa yang remeh dan mudah marah dengan kata-kata yang tidak berkenan di hatinya. Seseorang bahkan bisa sampai terbakar puncak kemarahannya disebabkan peristiwa yang sebenarnya bisa dilewati dengan memejamkan mata. Bahkan bisa dilewati dengan senyum bila dibarengi dengan sedikit berpikir lapang dada.
Itulah yang dikatakan oleh Ar Rafi’i dalam Wahyul Qalam, "Jika engkau menghadapi dunia dengan jiwa lapang, engkau akan memperoleh banyak kegembiraan yang semakin lama semakin bertambah, semakin luas, duka yang makin mengecil dan menyempit. Engkau harus tahu bahwa bila duniamu terasa sempit, sebenarnya jiwa mulah yang sempit, bukan dunianya." (Wahyul Qalam, 1/50)
Saudaraku dalam perjalanan,
Kita bisa seperti mereka. Jika kita tahu dan sadar, ada sasaran besar dan tujuan maha agung yang akan kita capai bersama di ujung jalan ini. Ada yang maha penting dari peristiwa-peristiwa apapun di jalan ini. Ada yang maha mulia dari berbagai kejadian-kejadian apapun di jalan ini.
Saudaraku,
Tak ada artinya aral apapun di jalan ini. Karena, kita sedang berjuang menuju Allah.
*)sumber: http://beranda.blogsome.com
*posted: pkspiyungan.blogspot.com