Silap Mata Merana Hati

Bismillaahirrohmaanirrohiim..

Sedulur kabeh, pribe kabare?
Apik ora? Iya oh, kudune kaya kuwe.
Kyeh, ana maning crita sing wong tegal asli ^_^
Weh, aja klalen nggawa slampe, mbokatan ndlewer macane!



"SILAP MATA MERANA HATI"
oleh: Irzi Gunawan Azzahra*

“Rina, Ibu tinggal ke dalam dulu yah. Bincang-bincanglah sama Amin!” Ibu meninggalkan kami berdua di ruang tamu.

Hfft, rasanya ingin pergi jauh sejauh-jauhnya jika harus berhadapan dengan yang namanya perjodohan. Apalagi kriteria ibu bapakku lebih pada bibit bebet bobot tanpa menganalisa lebih jauh kepribadiannya, prinsip dan tujuan hidupnya. Sementara ustadzahku yang saat ini sangat aku andalan tak kunjung jua membawakanku calon suami.

“Dik Rina, kok melamun saja..” sapanya membuyarkan lamunanku.

Eh, hmm..enggak kok. Silahkan, dicicipi kuenya!” aku mengelak.

Mas Amin yang duduk tepat di depanku yang hanya terhalang meja tamu, membuatku risih dan mencoba bergeser. Ahh, kenapa sih harus sama Mas Amin, Bu? Tubuhnya kecil hitam dengan rambut lurus yang lepek oleh minyak rambut semakin membuat tak berkesan. “Astaghfirullah, Rina sadar! Kenapa jadi tak berbeda pandanganmu dengan orangtuamu? Bukankah fisik itu bukan ukuran untuk menentukan kesesuaian seorang pasangan?” aku mencoba lari dari pikiran buruk yang melayang-layang di kepalaku.

“Dik, maaf. Mungkin saya hanya seorang guru, tapi insya Allah saya akan mencoba menjadi imam bagi Dik Rina.” Kurasa dia menangkap kegamanganku meskipun salah duga.

Hmm, bagi saya tidak masalah profesi Mas Amin itu apa, yang penting halal. Namun Mas Amin bersedia kan memberi saya waktu untuk berpikir, berdiskusi sama Allah dalam istikharah, agar apa yang saya putuskan kelak menjadi suatu keikhlasan dan tidak menjadi beban bagi kita?” Aku mencoba mendewasakan diri.

“Ya, tidak Masalah Dik, sambil jalan kita kan masih bisa berkomunikasi mecoba mensinergikan visi kita sembari mengenal lebih dekat lagi..”

Hmm, gigih juga dia.” Batinku mulai terusik. “Semoga, Mas…”

Satu jam lebih aku melewati perbincangan bersamanya. Hingga beberapa saat kemudian, nampak dari kaca jendela, sahabatku, Aya, bersama seorang laki-laki tampan bak artis korea dengan setelan kemeja kotak dan jean yang begitu serasi melekat di tubuh atletisnya, membuat dia terlihat sangat macho, keluar dari mobil silver.

“Masya Allah, itu kan Mas Pandu, kakak Aya. Ada apa gerangan mereka kemari?” tebak batinku yang tak sengaja membuat wajahku yang sedari dingin berubah *sumringah.

“Ada apa Dik?” Tanya Mas Amin yang spontan turut menengok ke arah jendela.
“Oh, ada tamu. Yah sudah, saya pamit saja. Tidak enak juga berlama-lama. Lain hari saya main lagi.” Sambungnya tanpa menunggu jawabanku.

Hmm, oh, *monggo. Sebentar saya panggilkan Ibu dulu” jawabku tanpa basa basi sembari masuk ke dalam mencari ibu.

Beberapa menit kemudian, aku bersama ibu keluar ke ruang tamu, pas sekali Aya dan Mas Pandu berdiri di depan pintu. Dan Mas Amin pun berpamitan. “Ya ampun, ada perbedaan yang sangat jelas ketika Mas Amin dan Mas Pandu berdiri berjajar” pekik batinku. “Astaghfiurullah, kenapa aku jadi terperangkap dalam jebakan setan? Sadar Rina!” Mencoba menepis perasaan salahku.

*****

Sore begitu cerah, nampak indah ketika sang surya beranjak ke peraduan menyisakan cahaya nan merona, menghibur hati nan gundah.

“Bu, coba yah yang datang duluan Mas Pandu” keluhku dalam sandaran pundak ibu di beranda.

“*Lah kepriben, kamu suka Pandu? Kenapa tidak bilang dari dulu?” Tanya Ibu kaget.

“Rina juga baru melihatnya sekarang, Bu. Aya sering cerita tentang Mas Pandu dan berharap Rina menjadi *garwane Mas Pandu. Kata Aya juga, kakaknya itu baru putus sama pacarnya. Namun ketika Rina berharap, dia tak kunjung datang, dan tiba-tiba, tadi pagi datang ke rumah di saat ada Mas Amin..” Mungkin jika aku bercermin, wajahku terlihat kusut dan tertekuk-tekuk. Ya Allah, kenapa aku jadi begini, tidak mencerminkan seorang akhwat yang sholeha. Aku mencoba berontak, tapi nampaknya setan begitu kencang menutup mata hatiku.

“Ya sudah, semuanya tergantung padamu, *Nok Ayu. Kalau kamu lebih sreg* sama Pandu, biar nanti ibu yang membantu menjelaskan pada Amin.” Ujar Ibu yang begitu bijak.

“Ahh, benar Bu? *Matursuwun, Ibu pancen laka-laka..*” kupeluk ibu erat.

*****
Sebulan, dua bulan, hingga hampir setengah tahun aku menjalin hubungan dengan Mas Pandu layaknya orang pacaran meski hubungan jarak jauh antara Tegal dan Bandung. Hanya via ponsel kami bersua. Aku maklum, tugasnya sebagai seorang Geodesi sangat menyita waktunya. Berbunga-bunga rasa hati ini ketika menerima telepon darinya. Namun demikian, sebenarnya aku tak pernah mengharapkan hubungan seperti ini, karena sungguh menyiksa dan memperpanjang deretan dosa karena hunbungan yang tak jelas. Aku berharap ada kata pasti darinya, yaitu menikahiku. Apalagi beberapa hari yang lalu Ustadzah hendak memperkenalkanku dengan seorang ikhwan.

Di ujung dermaga Pantai Alam Indah Tegal, aku duduk sendiri sembari menyaksikan ombak yang berkejaran seolah tak pernah ada masalah. Tak kuhiraukan riuh anak-anak kecil berlarian di tepian pantai atau pun keramaian yang mulai nampak di *Beach Resto. Kucoba merenungi yang sedang kuhadapi. Perasaan bersalahku pada Allah begitu semakin menyesakkan dada. Tak sadar, beberapa butiran bening menetes di jilbab merahku. Kusapu airmata lalu bangkit, “yah aku harus segera menyelesaikan masalah ini, tak peduli kebersamaan atau kesudahan jawaban finalnya. Yang penting tak berlarut-larut menodai cintaku pada sang Khalik”

Kukayuh sepeda meninggalkan ruas dermaga dan pantai nan cantik. Hingga deburan ombak pun semakin jauh terdengar. Kayuhanku semakin kencang melintasi Balaikota Lama dan lurus ke arah jalan Gajahmada, arah rumahku.

*****
Pagi harinya selepas subuh, kuberanikan diri menekan sembilan angka pada tut telepon. Namun sayang, yang terdengar dari gagang telepon bukan suaranya melainkan suara temannya,”Pandu nya masih tidur, *Teh! Mau dibangunkan?”

“Oh, nggak usah…terimakasih…assalamu’alaikum”

Aku masih mematung di depan meja telepon. Mencoba berpikir, langkah apa yang harus kuambil selanjutnya. “Yah, aku harus menulis surat!”

Langsung kupergi ke kamar dan menempatkan diri depan meja tulis. Kuraih secarik kertas dan pena, lalu mulai mengukir kata-kata. Aku berharap jalan ini akan menemukan kepastian.

Dua minggu sudah menunggu balasan Mas Pandu yang tak kunjung jua. Hingga suatu hari aku iseng main ke rumah Aya.

“Ay, Mas Pandu sibuk banget yah?” tanyaku penasaran.

“Katanya sih iya. Rina, maaf yah, aku mau cerita tapi jangan kaget yah. Kemarin aku baru tahu kalau Nadia masih berhubungan dengan Mas Pandu.”

Bagai berdiri tepat di depan kereta yang melintasi relnya, ”gejrugg..gejrugg..gejrugg..” Berita yang disampaikan Aya begitu menohok jantungku. Namun aku berusaha tidak menampakkan di hadapan Aya.

“Oh jadi Mas Pandu masih berhubungan dengan mantannya?” ucapku lirih.

“Yah, aku sih lebih mendukung kamu menjadi istri Mas Pandu, karena Nadia itu kan tidak berjilbab dan *ganjen, suka nyamperin ke kostnya.”

“Mungkin Mas Pandu lebih suka tipe seperti dia, Ay. Langsing tinggi semampai berambut panjang. Tidak seperti aku.” kataku pasrah.

Yee, jangan menyerah begitu dong, tunggu yang sabar. Aja kuatir, aku akan bantu buat kelanggengan hubungan kalian.” Aya memelukku.

“Terlambat, Ay. Aku sudah memutuskan untuk meminta kepastiannya akan hubungan kami” batinku dengan pandangan kosong.

*****

Tiba-tiba pak pos hadir mengejutkanku yang sedang asik membaca di beranda. Dag dig dug menerima surat yang ternyata dari Mas Pandu. Kubuka amplop putih sembari melangkah menuju kamar. Bismillah..

“Dik Rina, maaf jika keterlambatan balasanku membuatmu tak nyaman, namun banyaknya tugas begitu menyita waktuku dan akhirnya baru sempat membalasmu. Aku mengerti akan kegelisahan Dik Rina, namun sepertinya kita memang tidak digariskan untuk bersama. Jalan kita berbeda, aku sendiri sebenarnya masih ingin lebih jauh menjajaki hubungan ini, namun jika Dik Rina mungkin mempunyai pandangan lain tentang pernikahan, aku setuju dengan pendapat Dik Rina, akan lebih baik untuk kita jalan masing-masing. Maaf, Dik.”

Jemariku bergetar, dada tersengal, pelupuk mata terasa panas. Aku telah menduga sebelumnya seperti itulah yang akan terjadi, meski selalu berharap sebaliknya. Namun akhirnya aku harus menerima kehendak Ilahi karena jalanku telah tertera di lauhilmahfudz. “Ya Robb, aku sadar bahwa siapa yang menanam pasti kan menuai dan Engkau telah membangunkanku dari kekeliruan besar. Tidak semestinya kuturuti bisikan si laknat setan yang memalingkanku pada aturanMu, aku gelap mata dan abaikan kata hati hingga tak mampu menangkap kebenaran. Terimakasih ya, Robb..”

Pelupuk mataku tak mampu lagi membendung cairan hangat dan membiarkan meluap di pipi. Terdengar sayup-sayup di tape recorderku yang sedari tadi menyala, menyenandungkan nasyid syahdu.

Pandangan mata selalu menimpa
Pandangan akal selalu tersalah
Pandangan nafsu selalu meluluh
Pandangan hati itu yang hakiki
Kalau hati itu bersih

Hati bila selalu bersih, pandangannya akan menembus hijab
Hati kalau sudah bersih, pandangan tepat kehendak Allah
Tapi hati bila dikotori, bisikannya bukan lagi kebenaran


***

Catatan kaki:
*Sumringah :berwajah cerah
*Monggo : silahkan
*Lah kepriben : bagamaimana sih
*Garwane: istrinya
*Nok Ayu: panggilan kepada anak perempuan khas Tegal yang artinya anak cantik
*Matursuwun: terimakasih
*Ibu pancen laka-laka: Ibu memang tiada duanya
*Beach Resto: restoran kapal
*Teh: panggilan khas bandung yang berarti kakak atau saudara perempuan
*ganjen: centil
*Aja kuatir: jangan kuatir

*Irzi Gunawan Azzahra, aseli Tegal alumni SMAN 2 Tegal Akzi Depkes Yogyakarta sekarang tinggal di Jawa Barat
*sumber: http://www.facebook.com
*posted: pkspiyungan.blogspot.com
Baca juga :