Kondisi keuangan Amerika Serikat (AS) dan Inggris cenat cenut karena harus mendanai aksi militer di Libya. Ahli keuangan kedua negara memperingatkan, sekutu erat itu tengah di ambang kebangkrutan jika nekat meneruskan aksi militer di negeri Moamar Khadafi.
Bayangkan, pada hari pertama operasi militer yang dinamakan Odyssey Dawn atau Perjalanan Fajar itu, AS sudah menghabiskan 100 juta dolar AS (sekitar Rp 850 miliar). Itu hanya digunakan untuk rudal. Diperkirakan, Negeri Paman Sam membutuhkan dana lebih dari 1 miliar dolar AS (sekitar Rp 8,5 triliun).
AS bisa dibilang nekat karena negeri yang masih dalam proses bangkit dari krisis finansial global yang melanda tiga tahun silam itu harus membiayai mesin-mesin perangnya di dua tempat lain, Irak dan Afghanistan. Di Afghanistan saja, per bulan si “Polisi Dunia” itu harus membelanjakan 9 miliar dolar AS (sekitar Rp 76,5 triliun).
Seorang pejabat senior di Bank Sentral AS mengingatkan, AS kini di ambang kebangkrutan. “Itu jika kita terus bertahan di jalur fiskal yang selama ini ditempuh para pemegang otoritas,” ujar Presiden Bank Sentral Cabang Dallas Richard Fisher.
Fisher menyampaikan peringatan itu melalui pidato di Universitas Frankfurt, Jerman, belum lama ini. Di kalangan Bank Sentral AS, Fisher dikenal sebagai bankir yang sangat hawkish alias konservatif.
Menurut Fisher, sekarang mulai terlihat lagi tanda-tanda ke arah krisis finansial. “Kita menyaksikan sekarang aktivitas yang sangat mungkin menggenjot harga komoditas kunci seperti minyak,” katanya.
Meski tidak langsung menyebut di Libya, jelas yang dia maksud adalah aktivitas militer di negeri Afrika Utara tersebut. Harga minyak makin meroket 24 persen sejak 14 Februari lalu atau sejak kondisi perpolitikan di Timur Tengah dan Afrika Utara semakin panas.
Peringatan Fisher itu didukung Todd Harrison, analis militer dari Center for Strategic and Budgetary Assessment. Menurut dia, sukses atau gagalnya operasi militer yang dilakukan koalisi, diperkirakan biaya yang dibutuhkan di atas 1 miliar dolar AS.
“Untuk menjaga pemberlakuan zona larangan terbang saja, kemungkinan dibutuhkan dana 30 juta dolar AS (Rp 255 miliar) hingga 100 juta dolar AS (sekitar Rp 850 miliar) per pekan,” tuturnya.
Padahal, sebelum konflik Libya meletus, Pentagon (Kementerian Pertahanan AS) sudah berkoar bakal melakukan penghematan besar-besaran. Yakni, mengirit pengeluaran, menunda program persenjataan baru dan mengurangi biaya pemeliharaan. Semua diperkirakan bisa menghemat dana hingga 78 juta dolar AS (sekitar Rp 663 miliar).
Anggota Kongres AS dari Partai Republik Richard Lugar juga heran dengan keputusan Washington terlibat di Libya.
“Aneh. Pada saat semua anggota Kongres berbicara tentang defisit anggaran, kita malah kembali terlibat dalam kegiatan yang sangat menguras uang,” katanya dalam acara Face the Nation di stasiun televisi CBS.
Inggris juga mengalami kesulitan finansial serupa. Perdana Menteri David Cameron bahkan menggelar rapat kabinet khusus membahas perkara tersebut, Rabu (22/3). Meski Downing Street (kediaman dan kantor PM Inggris) berupaya membantah, banyak pihak yakin, Inggris bakal kesulitan membiayai operasi militer di negeri minyak terbesar di Afrika itu.
Associated Press (AP) memperkirakan, setiap harinya Inggris harus mengeluarkan dana 3 juta pounds (sekitar Rp 42 miliar) untuk membiayai kegiatan mereka di Libya. Jumlah ini tergolong besar karena perekonomian Inggris tidak sekuat Amerika.
Pemerintahan Cameron bahkan tengah bekerja keras mengatasi defisit anggaran belanja. Padahal, menurut Menteri Angkatan Bersenjata Inggris Nick Harvey, perang di Libya bisa berlangsung sangat lama. “Kemungkinan bisa sampai 30 tahun,” kata Harvey kepada BBC.
Karena itulah, para anggota koalisi mulai terpecah tentang siapa yang harus memimpin operasi militer di Libya tersebut. Amerika dan Inggris meminta NATO yang mengambil alih. Tetapi, Prancis dan Jerman menolak. Prancis dan Jerman khawatir, kalau NATO yang memimpin, itu akan menguatkan kesan yang selama ini dikampanyekan Kadhafi bahwa ini perang antara Islam melawan Kristen.
Jerman bahkan secara resmi sudah menarik semua armada tempurnya. Langkah serupa juga dilakukan Turki yang menganggap serbuan udara ke Libya telah melampaui wewenang yang diberikan PBB kepada pasukan koalisi.
*sumber: Rayat Merdeka online
*posted: pkspiyungan.blogspot.com
Bayangkan, pada hari pertama operasi militer yang dinamakan Odyssey Dawn atau Perjalanan Fajar itu, AS sudah menghabiskan 100 juta dolar AS (sekitar Rp 850 miliar). Itu hanya digunakan untuk rudal. Diperkirakan, Negeri Paman Sam membutuhkan dana lebih dari 1 miliar dolar AS (sekitar Rp 8,5 triliun).
AS bisa dibilang nekat karena negeri yang masih dalam proses bangkit dari krisis finansial global yang melanda tiga tahun silam itu harus membiayai mesin-mesin perangnya di dua tempat lain, Irak dan Afghanistan. Di Afghanistan saja, per bulan si “Polisi Dunia” itu harus membelanjakan 9 miliar dolar AS (sekitar Rp 76,5 triliun).
Seorang pejabat senior di Bank Sentral AS mengingatkan, AS kini di ambang kebangkrutan. “Itu jika kita terus bertahan di jalur fiskal yang selama ini ditempuh para pemegang otoritas,” ujar Presiden Bank Sentral Cabang Dallas Richard Fisher.
Fisher menyampaikan peringatan itu melalui pidato di Universitas Frankfurt, Jerman, belum lama ini. Di kalangan Bank Sentral AS, Fisher dikenal sebagai bankir yang sangat hawkish alias konservatif.
Menurut Fisher, sekarang mulai terlihat lagi tanda-tanda ke arah krisis finansial. “Kita menyaksikan sekarang aktivitas yang sangat mungkin menggenjot harga komoditas kunci seperti minyak,” katanya.
Meski tidak langsung menyebut di Libya, jelas yang dia maksud adalah aktivitas militer di negeri Afrika Utara tersebut. Harga minyak makin meroket 24 persen sejak 14 Februari lalu atau sejak kondisi perpolitikan di Timur Tengah dan Afrika Utara semakin panas.
Peringatan Fisher itu didukung Todd Harrison, analis militer dari Center for Strategic and Budgetary Assessment. Menurut dia, sukses atau gagalnya operasi militer yang dilakukan koalisi, diperkirakan biaya yang dibutuhkan di atas 1 miliar dolar AS.
“Untuk menjaga pemberlakuan zona larangan terbang saja, kemungkinan dibutuhkan dana 30 juta dolar AS (Rp 255 miliar) hingga 100 juta dolar AS (sekitar Rp 850 miliar) per pekan,” tuturnya.
Padahal, sebelum konflik Libya meletus, Pentagon (Kementerian Pertahanan AS) sudah berkoar bakal melakukan penghematan besar-besaran. Yakni, mengirit pengeluaran, menunda program persenjataan baru dan mengurangi biaya pemeliharaan. Semua diperkirakan bisa menghemat dana hingga 78 juta dolar AS (sekitar Rp 663 miliar).
Anggota Kongres AS dari Partai Republik Richard Lugar juga heran dengan keputusan Washington terlibat di Libya.
“Aneh. Pada saat semua anggota Kongres berbicara tentang defisit anggaran, kita malah kembali terlibat dalam kegiatan yang sangat menguras uang,” katanya dalam acara Face the Nation di stasiun televisi CBS.
Inggris juga mengalami kesulitan finansial serupa. Perdana Menteri David Cameron bahkan menggelar rapat kabinet khusus membahas perkara tersebut, Rabu (22/3). Meski Downing Street (kediaman dan kantor PM Inggris) berupaya membantah, banyak pihak yakin, Inggris bakal kesulitan membiayai operasi militer di negeri minyak terbesar di Afrika itu.
Associated Press (AP) memperkirakan, setiap harinya Inggris harus mengeluarkan dana 3 juta pounds (sekitar Rp 42 miliar) untuk membiayai kegiatan mereka di Libya. Jumlah ini tergolong besar karena perekonomian Inggris tidak sekuat Amerika.
Pemerintahan Cameron bahkan tengah bekerja keras mengatasi defisit anggaran belanja. Padahal, menurut Menteri Angkatan Bersenjata Inggris Nick Harvey, perang di Libya bisa berlangsung sangat lama. “Kemungkinan bisa sampai 30 tahun,” kata Harvey kepada BBC.
Karena itulah, para anggota koalisi mulai terpecah tentang siapa yang harus memimpin operasi militer di Libya tersebut. Amerika dan Inggris meminta NATO yang mengambil alih. Tetapi, Prancis dan Jerman menolak. Prancis dan Jerman khawatir, kalau NATO yang memimpin, itu akan menguatkan kesan yang selama ini dikampanyekan Kadhafi bahwa ini perang antara Islam melawan Kristen.
Jerman bahkan secara resmi sudah menarik semua armada tempurnya. Langkah serupa juga dilakukan Turki yang menganggap serbuan udara ke Libya telah melampaui wewenang yang diberikan PBB kepada pasukan koalisi.
*sumber: Rayat Merdeka online
*posted: pkspiyungan.blogspot.com