by: Herlia Annisa*
---
---
Aku tak tahan, aku mau mati saja! Sepertinya hidup sudah tak lagi punya muatan, kosong dan hampa. Kiri, kanan, depan, belakang yang terlihat hanya tembok-tembok yang menjulang tinggi. Menghalangi pandanganku, gelapkan mataku akan hayal, angan, dan nyata.
“Arghhhh,, aku ingin matiiii…!!!” jeritku.
“Benarkah?” tanya seseorang tiba-tiba.
Aku terperanjat, seorang laki-laki berjubah kelabu terduduk di sampingku. kepalanya ditutupi oleh tudung jubah yang juga kelabu. Yang terlihat hanyalah sebagian rambut yang terjuntai hingga menutupi pelipisnya.
“Siapa kamu? Kenapa kamu tiba-tiba ada disampingku? Bagaimana kamu bisa masuk ke kamarku?”
Aku memberondong pria misterius itu dengan pertanyaan bertubi. Tentu saja aku heran. Bagaimana orang ini bisa masuk kedalam kamar lalu duduk disampingku tanpa aku sadari. Sementara pintu kamar semenjak tadi siang telah kukunci rapat-rapat.
“Hey, tenang! Pelanlah sedikit, tak usah terburu-buru seperti itu. Perkenalkan.... aku Izrail.” jawabnya sambil berdiri lalu membuka tudung kepalanya.
Aku melompat karena kaget. Bukan hanya karena dia menyebut nama Izrail tapi lebih karena melihat seraut wajah mempesona yang sempat tersembunyi dibalik jubah kelabunya tadi. Ya Tuhan, siapakah makhluk misterius ini? Benarkah dia Izrail sang malaikat maut? Aku tak percaya! Makhluk ini adalah seorang laki-laki yang terlalu tampan untuk menyandang predikat sebagai pencabut nyawa.
“Heh!!! Jangan ngarang kamu. Mustahil kamu Izrail!” cibirku sinis.
“Kenapa! Kamu tidak percaya?”
“Tentu saja tidak. Selama ini aku selalu dijejali cerita tentang sosok Izrail yang menyeramkan.”
“Hey, hey, kamu pikir malaikat maut itu harus seram dan buruk rupa ya? Sungguh sebuah pemikiran yang dangkal.” ujarnya sambil tersenyum simpul penuh misteri.
Aku terkesiap menatap senyumnya. Ah, tidak! Terpesona lebih tepatnya.
“Tentu saja harus menyeramkan. Izrail itu kan berprofesi sebagai pencabut nyawa. Melihat sosokmu yang menawan seperti ini bagaimana mungkin manusia takut menghadapi kematian.” aku terkekeh.
“Bagaimana bila kubuktikan kalau aku memang sang pencabut nyawa!” dia menantangku.
“Oh, silahkan, silahkan, aku tak percaya.” jawabku sambil tertawa lepas.
“Arghhhh,, aku ingin matiiii…!!!” jeritku.
“Benarkah?” tanya seseorang tiba-tiba.
Aku terperanjat, seorang laki-laki berjubah kelabu terduduk di sampingku. kepalanya ditutupi oleh tudung jubah yang juga kelabu. Yang terlihat hanyalah sebagian rambut yang terjuntai hingga menutupi pelipisnya.
“Siapa kamu? Kenapa kamu tiba-tiba ada disampingku? Bagaimana kamu bisa masuk ke kamarku?”
Aku memberondong pria misterius itu dengan pertanyaan bertubi. Tentu saja aku heran. Bagaimana orang ini bisa masuk kedalam kamar lalu duduk disampingku tanpa aku sadari. Sementara pintu kamar semenjak tadi siang telah kukunci rapat-rapat.
“Hey, tenang! Pelanlah sedikit, tak usah terburu-buru seperti itu. Perkenalkan.... aku Izrail.” jawabnya sambil berdiri lalu membuka tudung kepalanya.
Aku melompat karena kaget. Bukan hanya karena dia menyebut nama Izrail tapi lebih karena melihat seraut wajah mempesona yang sempat tersembunyi dibalik jubah kelabunya tadi. Ya Tuhan, siapakah makhluk misterius ini? Benarkah dia Izrail sang malaikat maut? Aku tak percaya! Makhluk ini adalah seorang laki-laki yang terlalu tampan untuk menyandang predikat sebagai pencabut nyawa.
“Heh!!! Jangan ngarang kamu. Mustahil kamu Izrail!” cibirku sinis.
“Kenapa! Kamu tidak percaya?”
“Tentu saja tidak. Selama ini aku selalu dijejali cerita tentang sosok Izrail yang menyeramkan.”
“Hey, hey, kamu pikir malaikat maut itu harus seram dan buruk rupa ya? Sungguh sebuah pemikiran yang dangkal.” ujarnya sambil tersenyum simpul penuh misteri.
Aku terkesiap menatap senyumnya. Ah, tidak! Terpesona lebih tepatnya.
“Tentu saja harus menyeramkan. Izrail itu kan berprofesi sebagai pencabut nyawa. Melihat sosokmu yang menawan seperti ini bagaimana mungkin manusia takut menghadapi kematian.” aku terkekeh.
“Bagaimana bila kubuktikan kalau aku memang sang pencabut nyawa!” dia menantangku.
“Oh, silahkan, silahkan, aku tak percaya.” jawabku sambil tertawa lepas.
“Lihatlah kemari. Sesungguhnya bukan wujudku yang membuat kalian -para manusia- ketakutan menghadapi mati, tapi ini!” makhluk itu berbicara dan lalu merentangkan kedua tangannya yang tertutupi jubah.
Susana berubah mencekam seketika. Angin dingin serta merta menghadirkan perasaan tak menentu dalam diriku. Lalu tiba-tiba kamarku dipenuhi kabut putih yang tebal, entah darimana kabut itu berasal. Aku tak mengerti! Tak berapa lama kabut pun memudar berganti merah. Tampak api yang tengah menyala-nyala menjilati sesosok tubuh perempuan yang menggeliat-geliat bagai daun kering yang terbakar. Dia tampak begitu kesakitan, jeritannya membahana memenuhi rongga kepalaku.
“Itu, itu seperti aku?” tanyaku sambil menunjuk ketengah kobaran api.
“Iya, itu kamu yang sedang terpanggang di neraka karena dosa-dosamu.”
“Dosa-dosaku?”
“Tentu saja. Dosa-dosamu yang bertumpuk hingga melebihi tingginya gunung. Kamu tentunya belum lupa kan apa saja dosa-dosamu itu?” setengah berbisik dia bertanya padaku.
“Bersiaplah! Aku akan mengambil nyawamu sekarang!” makhluk itu berujar seraya mendekatkan wajahnya padaku.
Aku bergidik, tak lagi terpesona. Berbagai perasaan bercampur aduk menjadi satu. Antara takut, seram, ngeri, heran, dan tak percaya. Entah rasa seperti apa yang menjadi penguasa dalam hatiku sekarang ini. Ya Tuhan! Ternyata dia memang benar Izrail.
“Bagaimana, kamu sudah siap?” Izrail sekali lagi mengajukan pertanyaan kepadaku.
“Aku..., aku...”
Aku tak sempat menjawab, Izrail telah lebih dulu mencengkeram leherku. Mencekiknya dengan erat sembari mengangkat tubuhku hingga tak menapaki bumi. Aku sesak, tak mampu bernafas. Sekuat tenaga kaki dan tanganku meronta berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Izrail.
“Stop..., hentikan..., sakit...!!!”
Aku berusaha tuk berkata-kata, tapi suaraku tercekat ditenggorokan. Diantara keremangan malam dan kesadaran yang mulai menurun kulihat Izrail tertawa-tawa penuh rasa puas. Tiba-tiba Izrail melonggarkan cengkeramannya dan lalu melepaskan tangannya dari leherku. Aku megap-megap bagai ikan yang kekeringan. Dengan napas tersenggal aku berusaha menghirup sebanyak mungkin oksigen untuk memenuhi rongga paruku yang tadi sempat kehilangan udara.
“Kenapa kamu minta berhenti? Bukankah tadi kamu menjerit-jerit inginkan mati.” Izrail bertanya padaku.
“Aku.., aku belum siap. Aku tak sanggup menahan rasa sakitnya.” jawabku.
“Itu belum seberapa. Mati jauh lebih sakit. Lain kali jangan sesumbar ingin mati. Kamu pikir bercengkrama denganku itu enak ya?” cibir Izrail penuh kemenangan.
“Dan satu lagi! Jangan pernah memanggil-manggil kematian sebelum waktunya. Aku tidak suka!” lanjut Izrail.
Kemudian perlahan Izrail dan segala kengerian yang tadi sempat ditimbulkannya menghilang dari hadapanku. Meninggalkan berbagai pertanyaan yang mungkin tak kan pernah terjawab.
*dicuplik dari: cerita fiksi kompasiana.com
*posted by: pkspiyungan.blogspot.com
Susana berubah mencekam seketika. Angin dingin serta merta menghadirkan perasaan tak menentu dalam diriku. Lalu tiba-tiba kamarku dipenuhi kabut putih yang tebal, entah darimana kabut itu berasal. Aku tak mengerti! Tak berapa lama kabut pun memudar berganti merah. Tampak api yang tengah menyala-nyala menjilati sesosok tubuh perempuan yang menggeliat-geliat bagai daun kering yang terbakar. Dia tampak begitu kesakitan, jeritannya membahana memenuhi rongga kepalaku.
“Itu, itu seperti aku?” tanyaku sambil menunjuk ketengah kobaran api.
“Iya, itu kamu yang sedang terpanggang di neraka karena dosa-dosamu.”
“Dosa-dosaku?”
“Tentu saja. Dosa-dosamu yang bertumpuk hingga melebihi tingginya gunung. Kamu tentunya belum lupa kan apa saja dosa-dosamu itu?” setengah berbisik dia bertanya padaku.
“Bersiaplah! Aku akan mengambil nyawamu sekarang!” makhluk itu berujar seraya mendekatkan wajahnya padaku.
Aku bergidik, tak lagi terpesona. Berbagai perasaan bercampur aduk menjadi satu. Antara takut, seram, ngeri, heran, dan tak percaya. Entah rasa seperti apa yang menjadi penguasa dalam hatiku sekarang ini. Ya Tuhan! Ternyata dia memang benar Izrail.
“Bagaimana, kamu sudah siap?” Izrail sekali lagi mengajukan pertanyaan kepadaku.
“Aku..., aku...”
Aku tak sempat menjawab, Izrail telah lebih dulu mencengkeram leherku. Mencekiknya dengan erat sembari mengangkat tubuhku hingga tak menapaki bumi. Aku sesak, tak mampu bernafas. Sekuat tenaga kaki dan tanganku meronta berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Izrail.
“Stop..., hentikan..., sakit...!!!”
Aku berusaha tuk berkata-kata, tapi suaraku tercekat ditenggorokan. Diantara keremangan malam dan kesadaran yang mulai menurun kulihat Izrail tertawa-tawa penuh rasa puas. Tiba-tiba Izrail melonggarkan cengkeramannya dan lalu melepaskan tangannya dari leherku. Aku megap-megap bagai ikan yang kekeringan. Dengan napas tersenggal aku berusaha menghirup sebanyak mungkin oksigen untuk memenuhi rongga paruku yang tadi sempat kehilangan udara.
“Kenapa kamu minta berhenti? Bukankah tadi kamu menjerit-jerit inginkan mati.” Izrail bertanya padaku.
“Aku.., aku belum siap. Aku tak sanggup menahan rasa sakitnya.” jawabku.
“Itu belum seberapa. Mati jauh lebih sakit. Lain kali jangan sesumbar ingin mati. Kamu pikir bercengkrama denganku itu enak ya?” cibir Izrail penuh kemenangan.
“Dan satu lagi! Jangan pernah memanggil-manggil kematian sebelum waktunya. Aku tidak suka!” lanjut Izrail.
Kemudian perlahan Izrail dan segala kengerian yang tadi sempat ditimbulkannya menghilang dari hadapanku. Meninggalkan berbagai pertanyaan yang mungkin tak kan pernah terjawab.
*dicuplik dari: cerita fiksi kompasiana.com
*posted by: pkspiyungan.blogspot.com