Merebut Dunia

Oleh: Sholihin Amin*
Dalam sebuah diskusi mata kuliah tasawuf, seorang teman kampus yang masih dalam proses belajar mengatakan sebuah hadis Nabi, “dunia adalah kotoran busuk, dan orang yang mencarinya adalah anjing.”

Suasana ruang kelas sepi sejenak. Mungkin saat itu mereka merenung, berpikir, atau menghubung-hubungkan segala fenomena dunia dengan argumen sahih itu. Saya sendiri masih mencari tafsiran redaksi hadis itu. Hemat saya, tidaklah mungkin Nabi tercinta mengeluarkan perkataan seperti itu bila tidak sesuai dengan fitrah manusia. Pasti di balik perkataan itu, ada makna tersirat yang perlu dijabarkan dengan proporsional.

Beruntung, tidak lebih dari dua menit, seorang dosen ahli menerangkannya dengan amat detil. Penjabarannya saya salin di buku kampus, ingin saya bagi di sini:

Saya ulangi bunyi kalimat itu, seru sang dosen, “dunia adalah kotoran busuk, dan pencarinya adalah anjing.” Itu bukan hadis dari Nabi. Itu adalah perkataan orang-orang sufi dan ahli zuhud. Bagi kita orang biasa, bukan penekun tasawuf atau ahli zuhud, kesannya adalah sebuah nestapa, sebuah penderitaan yang terkesan menjijikkan dan harus dijauhi. Tapi di mata para penekun tasawuf atau ahli zuhud, kalimat itu adalah peringatan pengokoh iman. Kalimat yang tak bisa memperdaya dan menjerat mereka pada jebakan dunia.

Selanjutnya, masalah dunia adalah persoalan besar dalam agama. Dunia dengan segala hiasan dan kemewahannya memang begitu mempesona. Membuat lalai dan lupa. Sehingga kita menyangka bahwa perjalanan hidup kita hanya di sini dan saat ini saja. Oleh sebab itu banyak peringatan dalam Kitab Suci agar kita tidak boleh diperdaya oleh dunia. Tempo hidup manusia itu amat terbatas, sekiranya kita lalai, sedang kita dijerat dan dipesona oleh dunia, kemudian mati, bekal apa yang akan kita bawa ke akhirat?

Amat banyak yang dikelompokkan ke dalam masalah dunia. Bermegah-megah dengan harta dan kekayaan, berbagangga-bangga dengan darah dan keturunan, berebut-rebut mengejar pangkat dan kedudukan, dan saling menekan sesama. Kemudian, ingin berkuasa, ingin beristri, beristri lagi, kemudian bercerai lagi karena ingin istri yang lebih cantik, dan masih banyak lagi yang digolongkan dalam hal dunia.
Begitulah dunia. Banyak buktinya kita lihat. setiap hari setiap malam. Berapa banyak manusia yang telah habis seluruh waktunya mengejar harta benda, sehingga tidak dapat lagi membedakan lagi mana yang halal mana yang haram. Berapa banyak sahabat karib menjadi renggang, teman seperjuangan menjadi musuh besar karena perebutan kuasa politik yang bernama dunia.

Namun, ada lagi satu kenyataan yang tak boleh diabaikan. Bila kita abaikan dunia pada waktu kini tidaklah mungkin kita bisa mencapai maksud-maksud besar dan kehendak mulia di masa depan.

Akhir hidup kita memang maut. Sesudah maut adalah akhirat. Tapi sebelum mati, bukankah kita melalui hidup dunia ini lebih dulu? Sebelum ke akhirat bukankah melalui dunia? Adakah jalan ke akhirat yang tidak melalui dunia?

Tuhan memerintahkan kita sebagai kaum beriman untuk mengeluarkan harta, menafkahkan rezeki yang dianugerahkan Tuhan untuk maksud-maksud yang baik. Kita diwajibkan berzakat, dan zakat tak bisa dibayar bila kita miskin. Kita diwajibkan naik haji sekurang-kurangnya sekali seumur hidup. Syarat kewajiban ini harus cukup bekal pulang pergi, bekal di Mekkah dan belanja kelaurga yang ditinggalkan. Bila cuma zikir saja, tidaklah zakat bisa dibayar dan haji bisa dikerjakan.

Sebuah kaidah dari ahli ilmu ushul fikih, “segala syarat-syarat untuk mencukupkan yang wajib, menjadi wajib pula melengkapkannya.”

Sebab itu, kita wajib kaya, dan kekayaan adalah “dunia”, agar kita bisa melaksanakan rukun Islam ke lima. Hidup kita, sebagai bangsa yang pernah terjajah 350 tahun, tidaklah berubah sebelum kekuasaan atau kemerdekaan ada di tangan kita. Kekuasaan dan kemerdekaan adalah dunia.

Bendera sang merah putih yang kita punyai sekarang, batas negara dari Sabang sampai Merauke, perlengkapan negara dengan presidennya, mentri-mentrinya, dan angkatan bersenjatanya semuanya adalah dunia. Semua itu tidak dapat kita rasakan bila kita terus terjajah, tidak merebut dunia.

Dulu, saat kita masih terjajah, bangsa yang menjajah kita senang benar kalau kita tidak membicarakan “urusan-urusan dunia”. Kita disuruh mengaji sajalah, tidak perlu ambil pusing dengan urusan politik, karena telah ada yang mengurus. Tidak perlu pusing-pusing memikirkan perekonomian, karena masalah ekonomi pun sudah ada yang mengurus. Maka tidak sedikit “guru-guru agama” yang mendapat pujian, bahkan mendapat bintang-bintang kehormatan dari pemerintah kolonial. Padahal “bintang” yang mereka peroleh juga merupakan “dunia”, tapi mereka tidak keberatan menerimanya.

Nabi Musa as berjuang mencari kebebasan dan kemerdekaan bagi Bani Israil. Nabi Musa menentang kekuasaan diktator Firaun, semua itu adalah urusan dunia. Banyak sekali dunia yang wajib kita rebut untuk memperlancar kebahagiaan di akhirat.

Pada sisi Tuhan, semua manusia sama. Tetapi ada manusia yang diperbudak oleh sesamanya. Mereka tertindas, mereka wajib berjuang atas penindasan itu. Mereka wajib merebut dunia dengan memperkaya wawasan dan ilmu pengetahuan, mengangkat derajat dan martabatnya. Itu pun dunia. Sekali lagi, kita wajib merebut dunia, tetapi bukan untuk kepentingan diri sendiri melainkan untuk kebenaran Ilahi, untuk kepentingan fi sabilillah, ntuk melempangkan jalan di dunia dan kahirat. Oleh sebab itu, maka segala perbuatan dunia yang ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, untuk mengisi kantong sendiri, memanglah itu laksana “kotoran busuk yang dicari anjing”.


*dikutip dari sini: http://filsafat.kompasiana.com/2010/01/25/merebut-dunia/
---
posted by: pkspiyungan.blogspot.com
Baca juga :